Minggu, 31 Januari 2016

PROSES PENERAPAN HUKUM KEHARAMAN MIRAS

Meminum arak adalah satu budaya yang mengakar pada masyarakat arab, sampai salah seorang paman Rasul sendiri, yakni Sayyidina Hamzah merupakan seorang pemabuk berat, hingga onta Sayyidina Ali pernah menjadi korban ketika ia teler, punuk onta milik Sayyidina Ali itu dipenggal olehnya, lantas isi perutnya di cabik-cabik. Padahal onta itulah yang akan menjadi mahar Sayyidina Ali meminang Sayyidah Fatimah. Namun melalui proses yang dijalankan Rasulullah, kala ada pengharaman khomr, mereka akhirnya menyambut seruan itu dengan begitu antusias sampai gentong-gentong yang berisi minuman keras itu ditumpahkan seluruhnya oleh mereka dimuka rumah. Mereka bahkan menjauhi minuman keras sedemikian jauh, mereka demikian takut untuk kembali menjadi seorang peminum. Keberhasilan seperti ini juga dialami Rasul dalam masalah yang berkaitan dengan bagaimana membuat orang terlepas dari kesyirikan secara total, berhala yang banyak bertebaran di masjidil haram yang jumlahnya sekitar 300 buah akhirnya mampu disingkirkan. Hingga pada akhirnya segala bentuk kesyirikan itu habis sama sekali pada titik nol. Dan katakanlah “Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap”, sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” (QS. al-Isro’:81)

Ada proses saddan liddzariah (tindakan preventif) yang dilakukan Rasul dalam melakukan perubahan secara mengakar. Sebuah hikmatuttasyri’ yang semestinya kita pelajari untuk menjadi dai yang tidak berlaku pokoke. Bagaimana disaat Sayyidina Abu Musa dan Sayyidina Muadz bin Jabal akan diutus untuk berdakwah mendapat wejangan yang mendalam dari Rasul, senangkan jangan membebani, sampaikan yang mudah jangan mempersulit.

Ada tiga proses yang di ikhtiarkan oleh Rasulullah yang perlu kita pahami dan kita contoh untuk menyadarkan dan mengentaskan seseorang dari satu hal yang semula merupakan budaya yang mengakar pada dirinya sampai pada akhirnya menjadi hal yang dijauhi dan di benci. Mula-mula adalah usaha kita memuncul sifat khosyah pada diri mereka, sebab dikala sifat satu ini ada maka perubahan akan berjalan dengan mudah.

Proses pertama diisyaratkan pada firman Allah, surat al-Baqarah ayar 219 yang artinya:

Mereka bertanya kepadamu tentang khomr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya... (al-Baqarah:219)

Dalam ayat diatas, al-Qur’an tidak secara langsung mengklaim haram minuman keras, tapi al-Qur'an justru menjelaskan bahwa disana memang ada manfaat yang didapat, tapi dibalik itu ternyata minuman keras memiliki dampak negatif dan dosa yang lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh.

Kemudian proses selanjutnya tercermin dalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 43 yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan... (QS. an-Nisa’:43)

Dengan ayat ini mereka berusaha mengurangi konsumsi miras, sebab jika mereka meminum miras selepas dzuhur, kala masuk waktu ashar mereka masih dalam kondisi teler, jika mereka meminum selepas waktu maghrib, masuk waktu Isya’ mereka juga masih mabuk. Akhirnya mereka hanya mengkonsumsi miras pada selepas Isya’ sehingga tiba waktu shalat shubuh mereka sudah tidak dalam kondisi mabuk dan teler. Proses minimalisasi juga terjadi dengan aturan tidak diperkenankannya memakai alat-alat dan wadah tertentu dalam pembuatan khomr sebab pemakaian alat dan wadah itu mampu mempercepat proses pembuatannya.

Lalu proses terakhir yakni pada surat al-Maidah ayat 90 yang artinya:

Hai-orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khomr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. al-Maidah: 90)

INTERPRETASI SEBUAH DOA TERKAIT KHOSYAH

Jika kita amati dan renungi secara seksama, doa-doa yang diajarkan al-Qur'an dan hadits demikian memiliki makna tersirat yang luar biasa, seperti pada doa berikut ini:

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ (8) رَبَّنَا إِنَّكَ جَامِعُ النَّاسِ لِيَوْمٍ لَّا رَيْبَ فِيهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ (9)

Artinya: Mereka berdoa: “ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petujuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia). (QS.Ali Imron:8-9)

Sebuah doa yang menginsyaratkan bahwa dengan berbekal istiqamah (konsisten) akan memunculkan istizadah (penambahan) sehingga pada akhirnya akan timbul tajammu’ (terkumpul). Meski berjalan tertatih dan bak keong seseorang pada akhirnya akan mendulang kesuksesan yang gemilang jika ia mau konsisten. Rasulullah sendiri memulai dakwahnya hanya dengan enam orang, namun beliau terus menerus berjuang tanpa letih selama 13 tahun sehingga berhasil membuat Islam menjadi satu agama yang mendunia.

Begitu juga kala kita mau merenungkan salah satu doa yang di ajarkan Rasulullah dalam satu sabdanya, yang juga memiliki makna tersirat yang amat mendalam. Yakni sebuah doa yang berbunyi:

اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُولُ بِهِ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا، اللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا، وَأَبْصَارِنَا، وَقُوَّاتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا، وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا

Ya Allah, bagikan padaku sebagian rasa khosyah yang dengannya terhalang antara aku dan kemaksiatan pada-Mu, sebagian ketaatan yang dengannya mampu mengantarkanku ke surga-Mu, dan sebagian rasa yakin yang dengannya aku anggap enteng dan kecil segala musibah dan ujian dunia, panjangkan usiaku dengan (kenikmatan) pendengaran, penglihatan, dan kekuatan selama aku hidup, dan jadikan hal itu sebagai sebuah warisan dariku.

Allohummaqsimlana min khosyatika ma tahulu bihi baynana wa bayna ma’ashik, Ya Allah, bagikan padaku sebagian rasa khosyah yang dengannya terhalang antara aku dan kemaksiatan pada-Mu, mula-mula kita meminta diberikan rasa khosyah, sebab dengannya perbaikan akan berjalan mudah. Wamin tho’atika matuballighuna bihi jannatak , sebagian ketaatan yang dengannya mampu mengantarkanku menuju surga-Mu, lalu kala khosyah sudah tumbuh maka ketaatan juga akan muncul seraya mengharap ridlo Allah. Tanda seseorang mendapatkan ridlo dari Allah adalah keberhasilan masuk surga. Waminal yaqini ma tuhawwinu bihi ‘alaina mashoibaddunya, dan sebagian rasa yakin yang dengannya aku anggap enteng dan kecil segala musibah dan ujian dunia.

Disatu sisi hidup adalah ujian. Satu masalah selesai datang masalah selanjutnya, sampai ia menjumpai kotak kematian seperti yang pernah di ilustrasikan Rasul. Menerima semua itu adalah sebuah keniscayaan meskipun berat. Hanya saja jika kita sudah memiliki modal khosyah dan ketaatan, ditambah keyakinan bahwa semua itu kehendak Allah, semua akan terasa ringan. Yakin bahwa semua itu dari Allah seraya meminta keringanan menghadapinya. Sebab jika saja dunia dan seisinya memiliki nilai disisi Allah, Allah pasti tidak akan sudi memberikan seteguk airpun kepada orang kafir, nyatanya semuanya dicukupi meski orang kafir. Kita yang biasanya tidak pernah diuji selalu saja dicukupi oleh-Nya, maka jika pada suatu saat kita mendapatkan ujian dari Allah saja berarti bisa jadi akan ada kejutan pemberian yang besar dan lebih baik dari Allah, namun syarat pokok hal itu adalah sabar. Semua memang tidak sesederhana yang dipikirkan, butuh proses yang panjang dan latihan yang banyak untuk menjadi pribadi muslim yang penyabar.

Semua musibah yang menghampiri kita pada dasarnya semuanya telah tertulis, semuanya telah diketahui oleh Allah, sebab begitu Maha luasnya ilmu yang dimiliki Allah. Dialah Allah yang menjadi Tuhan dan kekasih kita, maka menerima dan bertawakkal adalah solusi yang tepat kala ujian datang menghampiri kita. Namun, kala kita mendapatkan musibah sikap yang lebih baik yang perlu kita lakukan adalah intropeksi diri. Kesalahan apa yang telah kita lakukan yang akhirnya membuat Allah menurunkan musibah. Jangan terlalu pede mengklaim diri akan mendapatkan kenaikan derajat. Bisa jadi ujian datang sebab salah ucap yang pernah kita lakukan. Dulu ada seorang yang kaya raya, ditanya kenapa tidak pernah berdoa, ia menjawab: “Kenapa juga berdoa orang saya sudah kaya?”. Setelah itu akhirnya satu demi satu ujian datang sampai akhirnya kekayaan yang ia miliki habis bahkan ia sampai menjadi seorang pengemis. Seorang anak yang cerdas namun ia tidak pernah belajar, kala ditanya alasan kenapa ia tidak belajar, ia menjawab “Kenapa juga belajar ?, orang cuma seperti ini saja!”, akhirnya ia gagal. Cerita tentang Qarun juga semestinya menjadi pelajaran besar bagi kita bahwa hanya sebab ucapannya, "semua ini adalah sebab ilmu yang aku miliki", akhirnya Allah ta'ala melenyapkannya beserta seluruh kekayaan yang ia miliki.

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu). (QS. Assyuro: 30)

Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: “ Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Katakanlah: “ Maka kenapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?”...( QS. al Maidah: 18).

Ganti yang lebih baik dari Allah dialami oleh Nabi-nabi kala diuji datang secara langsung, Nabi Ibrahim yang selamat dari api, Nabi Isma'il yang akan disembelih diganti domba, Nabi Musa yang akhirnya selamat dengan cara terbelahnya lautan, Rasulullah yang akan menjadi target pembunuhan keluar dengan tenang dari rumah namun justru si pembunuh tak mampu melihat beliau. Hanya saja bagi kita semestinya bermodalkan sabar yang besar. Semua ada masanya, entah itu ujian ataupun nikmat pada akhirnya akan habis juga. Maka bersabar sampai Allah memberikan kejutan yang besar pada kita adalah sikap yang semestinya kita ikhtiarkan. Meski barangkali untuk itu kita harus menunggu sampai 20 tahun, bisa jadi setelah itu kita tinggal meraih derajat yang tinggi di sisi Allah.

Memproses kepasrahan sangat tepat kala dimulai dari pembiasaan dzikir lisan. Hasbanah, masyaAllah laquwwata illa billah, dan kalimat dzikir lain semestinya kita istiqamahkan. Karena semua itu akan memunculkan pengaruh yang positif terhadap perbaikan sikap kita.

Akhirnya kalau kita sudah memiliki rasa khosyah, ketaatan, dan keyakinan, kita akan merasa nyaman, wa matthi’na bi asma’ina wa abshorina wa quwwatina ma ahyaytana waj’alhul waritsa minna. berilah aku kenikmatan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan selama aku hidup, dan jadikan hal itu sebagai sebuah warisan dariku.

Doa ini jika dihayati dengan sebenarnya dan mengamalkannya dalam ranah nyata, hidup kita insyaAllah akan mendulang kesuksesan yang besar.

Wallahu yatawallal jami'a biri'ayatih

Taklim Abi
Shohih Muslim, 1 Februari 2016

Jumat, 08 Januari 2016

Kalam Hikmah Abi #33

"Hasud kenapa menghabiskan amal? Sebab itu merupakan bentuk protes sama Allah" (Abi Ihya).

Hasad adalah satu sikap yang biasanya muncul dari seseorang yang tidak ridlo dengan ketentuan Allah subhanahu wata'ala. Jika saja seseorang qona'ah, nriman dengan pemberian-Nya, ridlo dengan ketentuan-Nya bisa dipastikan ia ridak akan iri terhadap nikmat yang dimiliki oleh orang lain.

Biasanya semakin seseorang mendapat banyak kenikmatan dari Allah, semakin banyak pula ia menemukan orang yang iri dengannya, dan semakin kecil kenikmatan seseorang dapatkan semakin kecil pula jumlah orang yang iri dengannya.

Secara umum, biasanya hasad terjadi dalam satu wilayah yang sama, biasanya seorang penjual bakso iri tidak lain dengan penjual bakso juga, seorang pedagang sayur hasad dengan sama-sama pedagang sayur, bahkan pada tingkat seorang kyai dengki juga kepada kyai yang lain.

Hasad adalah satu perbuatan maksiat kepada Allah yang dilakukan pertama kali oleh Iblis kepada Nabi Adam, dan lalu oleh Qobil kepada Habil. Dan melalui sikap ini, seseorang bisa mengalami gelap mata sehingga melakukan apapun agar kenikmatan yang dimiliki oleh pihak lain itu lenyap tak bersisa. Sehingga jangan heran jika kemudian pendengki itu sampai berani mengambil jalan gaib untuk menghancurkan pihak yang tidak ia sukai itu.

Ada satu tips yang disarankan Nabi dikala kita mendapatkan nikmat, yakni dengan serapat mungkin menutupinya, tidak perlu kemudian nikmat itu dikoar-koarkan karena sejatinya pasti akan ada pihak yang tidak terima dengan itu semua dan lalu melancarkan kedengkian kepada kita. Tutupi serapat mungkin maka kita akan selamat.

Benar saja jika hasad sampai menghancurkan amal kebaikan, karena sikap itu adalah simbol ketidakterimaan seorang manusia terhadap ketentuan Allah, secara tidak langsung seorang yang hasad berarti telah melancarkan sebentuk protes terhadap Allah.

Terkait rizqi, sebenarnya kita tidak lagi perlu hasad menghasad, sebab Allahlah penjamin rizqi seluruh makhluqnya, tinggal bagaimana kita berusaha menjemput rizqi itu dengan melakukan berbagai amal positif. Rizqi sudah ada jatahnya masing-masing, ini bisa dibuktikan dengan semisal berjualan satu produk yang sama persis dengan harga yang sama, dilokasi yang bersebelahan, maka kita bisa melihat bagaimana Allah ta'ala membagi rizqi kepada dua pihak tadi dengan jumlah yang kemungkinan besar tidak sama.

Hasad bukan tentang seberapa dalam dan luar biasa tingkat keilmuan dan kealiman seseorang, meski kyai jika tidak waspada terhadap satu hal ini, bisa saja kemudian setan masuk menggoda membisikkan kedengkian terhadap pihak lain, maka alangkah baiknya jika kita kuatkan doa istiadzah kita dari dampak negatif sikap ini dengan memperbanyak membaca surat al-Falaq.

Wallahu a'lam

Rabu, 06 Januari 2016

Kalam Hikmah Abi #32

"Jadilah istri yang sholihah, qonitah, hafizhoh, karena suksesnya anak dimulai dari kualitas ibu.
Jadilah suami yang qowwamun: bijak, tanggung jawab, lemah lembut, tidak sok menjadi suami, tidak menzholimi istri. " (Abi Ihya)

Dalam rajutan pernikahan, termasuk satu tujuan darinya yaitu mendapatkan keturunan yang saleh salehah, keturunan yang dapat membanggakan agama dan bangsa. Seseorang dinilai telah melakukan kezhaliman kepada anak, jika saat akan menikah ia sembarangan dalam memilih sosok calon ibu bagi anak-anaknya, kemudian anaknya besar dalam pendidikan yang salah, maka pihak yang awal kali dinilai melakukan kezhaliman kepada anak adalah pihak suami, sehingga memilih dan menemukan calon pendamping tidak boleh secara sembarangan dan serampangan, sebab yang paling berpengaruh terhadap karakter dan kepribadian anak adalah sosok ibu, bukan ayah.

Memilih calon kekasih yang perlu menjadi pertimbangan paling penting adalah sisi keshalehahannya, shalihah berarti wanita yang baik-baik, istiqamah dalam menjalankan agama, memiliki rasa malu yang besar, tidak neko-neko dan nriman dengan pemberian, tidak banyak menuntut sesuatu yang diluar kemampuan, patuh terhadap Allah dan suami, mampu menjaga kehormatan dirinya dan keluarga, mengelola harta suami dengan bijaksana, serta pintar membahagiakan suami.

Seorang lelaki adalah qowwamun, yakni menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam mendidik akhlaq istri, tentu saja dengan kelembutan dan kasih sayang, bukan malah tidak berani dan takut dalam meluruskan watak dan sikap istri yang salah. Tidak sok berarti tidak otoriter dalam membangun hubungan apalagi sampai pada tingkat menzhalimi. Pada kondisi tertentu, memang sebagai suami dibenarkan mendidik istri sampai pada tingkat memukul, tentu saja dengan runtutan cara pendidikan istri yang berlaku.

Seorang lelaki ibarat menteri luar negeri sementara istri sebagai menteri dalam negeri. Maka harus tercipta harmoni yang indah dan ekselen. Semua mesti dijalankan atas dasar cinta, tidak hanya saling menuntut hak masing-masing. Pada akhirnya keluarga bisa terbentuk menjadi keluarga yang harmonis. Kita mengerti bahwa, tidak ada ibadah kasih sayang yang lebih indah ketimbang rajutan pernikahan. Maka beribadahlah melalui jalur ini demi meraih ridlo-Nya azza wajalla.

Akhir catatan bahwa, kesuksesan seorang lelaki amat dipengaruhi oleh peran wanita shalihah dibelakangnya, dan sebaliknya, kehancurannya amat sangat dipengaruhi oleh peran wanita tholihah dibelakangnya. Maka jika kita menginginkan kesuksesan dalam hidup, awal kali hal yang harus kita lakukan adalah menimbang secara matang siapa wanita yang akan menemani hidupmu.


Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #31

"Kon iso seneng sopo wae, nek gak wekmu yo gak wekmu!." (Abi Ihya)
Maknanya: Anda bisa cinta sama siapa saja, tapi kalau bukan jodohmu, ya bukan jodohmu.

Siapa manusia didunia ini yang tak memiliki cinta? Rasa-rasanya semua makhluk yang ada dimuka bumi ini dikaruniai cinta oleh Sang Pemilik Sejati Cinta, terlebih kita sebagai manusia.

Cinta adalah fitrah yang dimiliki oleh tiap manusia, dengan cinta semua yang berantakan akan menjadi rapi tertata, yang nelangsa akan dirasakan bahagia, yang panas akan dirasa teduh, yang keasinan akan berasa nikmat dan lezat, yang membuat capek akan dilakukan dengan enteng dan bahagia.

Cinta bisa mengubah logika, cinta mampu merubah kondisi. Seseorang jika telah benar-benar mencintai Allah akan sulit membedakan antara nikmat dan coba. Seseorang yang sungguh-sungguh mencintai Rasulullah, akan tanpa terasa membayangkan sosoknya dimana-mana, sampai menitikkan air mata kerinduan yang menyala.

Segala makhluk secara pasti dicipta dua-dua, yang satu hanyalah Ia azza wajalla, tentu saja manusia pun diciptakan dua, yakni lelaki dan wanita, yang kemudian mereka diberi modal besar yakni kasih sayang, cinta dan ketenangan, yang lalu mereka proses itu semua dalam rajutan suci pernikahan, bukan untuk apa-apa, hanya demi tujuan ibadah dan mengikuti Kinasih pilihan.

Sejatinya, seseorang tidak perlu mencemaskan siapa nanti yang akan menjadi permaisuri atau kekasih idaman, hanya saja selalu mesti ada ikhtiar dalam proses menemukan. Namun, tak perlu risau jika ia yang bagimu akan menjadi kekasih idaman, ada cara yang indah dan mengaggumkan bagi kalian berdua untuk dipertemukan, jika tidak, maka simpel saja bahwa ia bukan jodoh bagimu wahai kawan.

Kita bisa tetiba merasakan cinta kepada siapa saja, tapi jodoh adalah urusan Tuhan. Meski tentu saja harus dibarengi usaha dan ikhtiar dalam menemukan jodoh kita.

Jodoh adalah penyatuan dua hal dengan kriteria yang sangat bertolak belakang, satu lelaki satu wanita, dengan karakternya sendiri-sendiri, maka hal ini adalah Kuasa Tuhan yang demikian menawan.

Satu hal yang pasti bahwa, kita tidak akan pernah rugi dalam memasang kriteria kesalehan bagi calon pendamping kehidupan kita, satu kelompok menikah tersebab harta, satu kelompok menikah gegara nasab, satu kelompok menikah karena parasnya yang menawan, namun Sang Kinasih lebih memprioritaskan sisi kesalehan ketimbang itu semua, jika orang seperti itu ada disekitarmu semoga saja dia adalah jodohmu. Namun, fokuslah pada perbaikan dan pemantasan diri ketimbang fokus dalam pencarian yang tak henti-henti, sebab katanya, lelaki yang saleh teruntuk wanita salehah dan wanita salehah teruntuk lelaki yang saleh.

Wallahu a'lam.

Selasa, 05 Januari 2016

Kalam Hikmah Abi #30

"Jangan kita tertipu, maka istikhoroho, opo maneh masalah bojo, ojo kok malah pecine thok seng sholeh" (Abi Ihya).

Suatu hal yang kita sukai, tidak mesti baik dimata Allah. Sebaliknya suatu hal yang tidak kita sukai, belum tentu jelek dimata Allah. Maka menyukai apa yang menurut Allah baik meski awalnya kita tak suka adalah proses yang mesti kita lakukan. Dan tidak menyukai apa yang menurut Allah jelek meski pada mulanya kita sukai, juga hal yang mesti kita usahakan.

Kadang kita bingung menentukan satu opsi kehidupan, apakah satu hal itu perlu kita eksekusi lebih lanjut, atau justru ada hal lain yang mesti kita eksekusi. Maka mengusahakan hal terbaik disertai dengan kondisi hati yang 'sumeleh' plus istikharah kepada Allah sepertinya perlu kita lakukan.

Jika pada satu saat kita dihadapkan pada sebuah opsi hidup yang kita sukai, seperti terkait dengan pekerjaan, studi, atau jodoh, maka selayaknya kita tidak serta merta memandang hal itu hanya menurut kacamata kita, namun semestinya kita libatkan Allah disana, dengan cara melakukan shalat istikharah, yakni shalat dua rakaat supaya Allah memilihkan untuk kita satu hal yang terbaik. Nabi pernah berujar: "Termasuk dari kebahagiaan anak Adam adalah istikharahnya kepada Allah dan kerelaan hati dengan ketentuan-Nya. Dan termasuk dari kesengsaraan anak Adam ialah meninggalkan istikharah dan murka dengan ketentuan-Nya."

Istikharah sebenarnya tidak dilakukan hanya pada urusan jodoh semata, tapi alangkah baiknya disetiap urusan yang kita jalani kita libatkan Allah disana dengan jalan istikharah. Sang Kinasih mengajarkan untuk melakukannya disetiap urusan, melakukannya pun tidak berkait waktu, dan bisa juga niatnya digabung dengan semisal shalat sunnah rawatib.

Melakukan shalat Istikharah bukan berarti menafikan usaha, analisa, dan observasi lahir terhadap urusan yang akan kita eksekusi, kita tetap harus melakukan itu semua ditambah shalat istikharah yang akan menguatkan opsi yang akan kita jatuhkan.

Selepas beristikharah, yang perlu kemudian kita ikhtiarkan adalah kepasrahan dan kerelaan dengan apa yang nantinya menjadi ketentuan Allah. Jangan lantas malah keluar ungkapan ketidakrelaan dari mulut kita terhadap ketentuan-Nya. Yakini bahwa apa yang menjadi ketentuan-Nya adalah proses yang mesti kita jalani dalam kehidupan yang pasti menyimpan satu hikmah yang tidak sederhana. Entah hal itu baik dan menyenangkan atau tidak menurut kita.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #29

"Ngajiyo supoyo aji." (Abi Ihya).

Ngaji adalah satu bukti syukur seorang hamba terhadap nikmat akal yang telah dikurniakan Allah kepada manusia. Ngaji dalam wilayah yang lebih luas tidak hanya berkaitan dengan keilmuan agama semata, namun semua ragam keilmuan yang bermanfaat dan mampu menimbulkan rasa khasyah yang besar kepada Allah hendaknya juga menjadi tujuan pencarian keilmuan manusia beriman. Dengan mengerti betapa besarnya kehebatan dan kekuasaan Allah terhadap alam raya kita bisa semakin cinta dan takut kepada-Nya. Semakin seseorang menyadari akan keterbatasannya menyelami satu macam ilmu, semakin ia sadar akan kelemahan dirinya dan betapa kekuatan Allah demikian dahsyat.

Harga diri seseorang sangat erat kaitannya dengan seberapa besar pengetahuan dan keilmuan yang ia miliki. Meski memang mendapatkan kedudukan ditengah masyarakat bukan menjadi satu tujuan dalam pencarian ilmu. Tapi seberapa manfaat seseorang untuk masyarakat bergantung pada seberapa banyak keilmuan dan kecakapan yang ia miliki.

Ngaji berarti relasi antara dua orang yang saling mempengaruhi, satu sebagai pihak yang memberikan ilmunya, satu lagi sebagai pihak yang menyerap ilmu tersebut. Berarti sangat mengherankan jika dalam proses mengaji, seorang santri tak memiliki guru yang mengarahkan. Saking pentingnya guru dalam menjalankan proses ini, Kinasih sampai menganggap bahwa seseorang yang tak memiliki guru berarti gurunya setan.

Membaca buku memang dinilai penting, tapi mengaji satu ilmu hanya dengan membaca buku tanpa ada arahan dari sang guru justru akan membawa kesalahpahaman yang fatal. Buku tidak bisa kita ajak bicara, sebab ia tiada memiliki ruh, namun guru adalah sosok yang memiliki ruh yang akan membimbing ruh dan pikiran kita secara langsung maupun tidak untuk memahami apa yang sedang kita pelajari.

Ngaji adalah kegiatan manusia berakal, ngaji tidak dibatasi oleh usia, siapapun kita jika kita masih mendapatkan kurnia akal semestinya tidak menghentikan proses ini, sampai kapanpun, sampai kita dimasukkan ke liang kubur. Ngaji bukan milik anak-anak saja, yang orang tua hanya bisa marah-marah jika anaknya tidak berangkat TPQ tapi ia sendiri bandel dan asyik menonton televisi. Ngaji bukan hanya milik ibu-ibu, seorang suami justru semestinya memiliki kesemangatan ngaji lebih ketimbang si istri meski badan capek seharian bekerja, insyaAllah masih bisa disiasati untuk menghadiri majlis taklim seminggu sekali.

Masyarakat kita, sangat semangat kala diajak menyemarakkan majlis dzikir, majlis shalawat, majlis yasin dan tahlil tapi sangat lesu diajak meramaikan majlis-majlis taklim. Seseorang mampu mengikuti majlis dzikir hingga tengah malam, bahkan sampai berada diluar kota sekalipun, tapi demikian malas jika diajak untuk mengaji. Majlis taklim dimana-mana sepi peminat, hanya segelintir orang yang mau memakmurkannya, mereka merasa proses ini bukan lagi menjadi kewajibannya selepas mereka dahulu menamatkan pendidikan TPQnya. Masyarakat harus dicerdaskan dengan banyaknya kajian di berbagai majlis taklim. Jangan cuma tahlilan yang aktif tapi bagaimana mengikuti ngaji lebih aktif. Akhirnya mereka akan tercerahkan dan menjadi muslim yang cerdas yang mengerti bagaimana ia bersikap, bagaimana halal haram, bagaimana menjadi muslim yang terbina, sehingga Islam menjadi agama yang besar dalam kuantitas, kuat dalam kualitas, sehingga mendapatkan aji ditengah masyarakat luas.

Wallahu a'lam.

Senin, 04 Januari 2016

Kalam Hikmah Abi #28

"Ojo melu seng ngeslong." (Abi Ihya).

Pada jaman Rasulullah, keimanan demikian terjaga, mereka pasrahkan segala hal yang memang bukan link dan urusan mereka kepada Allah. Tidak pernah dijumpai satu orang pun yang ikut campur dengan urusan yang bukan menjadi hak makhluk. Jika Allah melarang sesuatu, mereka adalah orang-orang yang sangat menjauhinya. Dan jika Allah memerintah sesuatu, mereka adalah orang-orang yang tekun mengerjakannya. Inti tauhid yang merupakan kepasrahan berhasil mereka aplikasikan dengan sempurna.

Setelah beberapa masa kemudian, muncul kelompok yang hobi mengurusi Allah ta'ala, mempertanyakan apa saja yang terbenak pada pikiran mereka tentang eksistensi Allah sedetail mungkin. Sehingga pada tingkat menolak segala ajaran ketuhanan yang tidak logis. Sehingga menganggap bahwa Allah memiliki tangan layaknya manusia, Allah bersemayam diatas arasy layaknya manusia kala duduk dikursi, alqur'an adalah makhluk bukan kalam qadim, dan pendapat-pendapat nyleneh lainnya yang keluar dari apa yang diajarkan Rasulullah.

Pada zaman ini, orang-orang justru sampai pada tingkat mempermasalahkan Allah ta'ala. Banyak kemudian pemikiran-pemikiran yang keluar dari pakem semestinya. Sehingga muncul ide nikah sesama jenis, nikah poliandri, haji diluar bulan yang ditentukan, semua agama sama, dan ide-ide frontal lain yang bermuara kepada mempermasalahkan Allah dan ajarannya.

Ngeslong itu berarti ekstrim, baik ekstrim ke kanan maupun ekstrim kekiri. Jangan sampai kita terjebak mengikuti kelompok yang ngeslong, pastikan bahwa kelompok yang kita ikuti adalah kelompok berbasis wasathiyah atau moderat, atau yang sering disebut sebagai ahlusunnah waljamaah original, bukan yang abal-abal.

Rasulullah telah memprediksi bahwa umat Islam akan terpecah dalam sekian puluh kelompok dan kelompok yang dipastikan selamat adalah yang konsisten mengikuti ajaran Rasulullah, para sahabat, tabiin, dan orang-orang shalih hingga zaman ini. Yakni tiada lain adalah kelompok wasathiyah yang mendudukan perkara secara proporsional. Ia ibarat susu yang keluar diantara darah dan kotoran, bersih suci dan menyegarkan.

Ngeslong itu berarti keterlaluan, terlalu kaku dalam berfikir sehingga dengan mudahnya mengharamkan, atau terlalu bebas dalam berfikir sehingga sangat mudah menghalalkan atau memperbolehkan. Moderat berarti proporsional, tidak mudah menyalahkan pun tidak begitu saja membenarkan. Semua dipikirkan secara matang dan dicari kesesuaiannya dengan azaz pokok beragama, yakni seperti alqur'an, hadits, ijma, qiyas.

Tidak ngeslong berarti tidak mudah menyalahkan seseorang yang berbeda dengan kita, namun pendapatnya masih dibenarkan oleh salah satu dari madzhab empat.

Tidak ngeslong berarti pula menghindari fanatisme berlebihan terhadap satu organisasi, sehingga merasa diri paling benar, paling baik dan paling pintar sehingga yang lain diklaim salah, jelek dan goblok.

Tidak ngeslong berarti, mau membuka cakrawala berfikir yang lebih luas, tidak gampang menuduh orang lain salah, sebelum benar-benar memahami akar permasalahan, dan menelaah pendapat dari madzhab empat, pula asy'ariyah atau maturidiyah.

Tidak ngeslong itu, tidak terjebak dalam fanatisme baru setelah menghindar dari fanatisme. Mau mengambil dan belajar dari kebaikan kelompok lain dan mau menyadari kekurangan kelompoknya sendiri.

Tidak ngeslong itu, bukannya benci yang luar biasa kepada kelompok lain didalam Islam sementara bergandengan tangan dengan hangat dan akrab dengan non Islam, tapi justru memandang mereka semua dengan pandangan kasih sayang dan keinginan meluruskan sikap dan pemikiran mereka yang keluar dari pakem semestinya.

Wallahu a'lam.
Jika, ada yang salah, mohon dikoreksi..

Kalam Hikmah Abi #27

"Meski itu hal kecil, jika mampu menyenangkan Allah, maka itu suatu hal yang sangat istimewa." (Abi Ihya).

Suatu amal, yang dinilai sebenarnya bukan tentang besarnya amal tersebut. Namun bagaimana mempersembahkan amal itu hanya untuk Allah demi menyenangkan-Nya. Aspek yang paling dilihat Allah adalah kemurnian amal itu, keikhlasan untuk-Nya tanpa tercampur spirit yang bersifat duniawi. Maka sebenarnya aspek inilah yang menjadi pokok yang mampu membuat Allah ta'ala senang.

Kita mesti berusaha supaya amal yang kita lakukan kita dedikasikan sepenuhnya khusus untuk Allah ta'ala, tak menggubris komentar orang lain, tak berharap pujian datang menghampiri, kita bahagia dan enjoy kala melakukannya sebab berharap semoga Allah ta'ala bahagia dan ridla dengan amal yang kita lakukan. Kala ada orang lain mulai melancarkan pujian, kita kembalikan semua itu hanya pada satu-satunya zat yang patut mendapatkannya, yakni Allah azza wajalla.

Kita tidak pernah tahu, amalan mana yang akhirnya membuat Allah gembira dan ridla, maka melakukan seluruh ragam amalan dari mulai yang remeh temeh sampai yang dianggap besar, seharusnya penuh dengan keseriusan dan dedikasi yang besar. Jangan-jangan yang dipandang Allah bukan shalat dan haji berkali-kali yang kita lakukan, melainkan hanya uang seribu yang kita kasihkan kepada anak kecil. Jangan-jangan bukan khidmah besar yang kita usahakan yang membahagiakan-Nya, melainkan sekedar membalikkan sandal tamu yang datang kepada kita. Jangan-jangan bukan sedekah kita yang melimpah yang dilihat oleh-Nya melainkan hanya memberi makan seekor kucing.

Roti bukan sekedar roti, seorang ahli ibadah yang selama puluhan tahun tak pernah bermaksiat, lalu pada satu saat digoda setan dan akhirnya berzina, ia bisa selamat dari jilatan api neraka hanya sebab sepotong roti yang sempat ia sedekahkan kepada seseorang yang kelaparan sebelum ia berzina. Padahal pahala amal yang ia lakukan puluhan tahun itu tak sebanding dengan besaran dosa sekali zina yang ia lakukan.

Air bukan sekedar air, seorang wanita pezina berhasil lolos dari hotel prodeo neraka hanya gegara memberi minum seekor anjing yang nyaris mati kehausan.

Dan sebaliknya, kadang seseorang masuk ke liang neraka hanya gegara kesalahan yang remeh temeh, seperti membiarkan seekor kucing dalam kandangnya sampai mati tanpa diberi makan dan minum, gegara melihat ahli maksiat dengan pandangan merendahkan. Atau hal-hal remeh lain yang bisa membuat Allah murka.

Maka sekecil apapun jika itu kebaikan semestinya tidak boleh kita remehkan. Dan sekecil apapun jika itu keburukan semestinya tidak kita lakukan.


Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #26

"Jalan untuk meraih rizqi yang penting usaha." (Abi Ihya).

Mengenai rizqi, yang mesti kita sadari adalah, ia murni sebuah pemberian Allah, bukan sebab usaha dan ikhtiar yang kita lakukan. Betapapun kita menambah intensitas usaha kita jika jatah rizqi yang diberikan Allah hanya sejumlah itu, maka intensitas usaha kita sama sekali tidak akan pernah bisa menambah jumlah ketentuan rizqi dari Allah. Kecuali jika memang Allah berkeinginan untuk menambahnya jika kita melakukan kesemangatan dalam usaha.

Rizqi itu tidak hanya berkaitan dengan materi semata, bahkan iman dan islam adalah rizqi yang nilainya tidak bisa dihitung dengan bilangan sejumlah apapun, kesehatan jiwa dan raga, teman dan relasi yang banyak, ketenangan berfikir, kekuatan, kebahagiaan, waktu luang, adalah rizqi yang nilainya tidak bisa dikurs dengan sejumlah uang.

Sebuah hal yang kadang dialami oleh banyak orang adalah dicapainya satu rizqi baru tapi mengharuskan kehilangan rizqi yang lain, disaat muda kala kekuatan dan kecakapan dalam bertindak demikian maksimal, kita seringkali tidak memiliki materi yang banyak untuk menunjang aktivitas dan usaha kita, setelah usia mulai menua dikala materi sudah terkumpul banyak, justru kekuatan fisik dan kesehatan mulai mengalami gangguan. Seseorang disaat miskin, makan hanya dengan nasi plus tempe penyet merasakan kebahagiaan hidup yang besar. Namun kala ia menjadi kaya, meski ia bisa makan ikan dan daging setiap saat ternyata ia tak banyak menemukan kebahagiaan.

Memaksimalkan pemberian-Nya yang telah dikurniakan kepada kita, apapun itu adalah satu hal yang mesti kita lakukan. Berkaitan dengan hal ini, tentu saja semestinya masing-masing dari kita bisa saling menutupi kurnia yang tidak dimiliki satu sama lain, yang muda dengan kekuatan fisik dan kegesitannya, orang tua dengan sokongan dananya, dan pihak-pihak lain yang akhirnya akan membentuk satu kekuatan besar yang mampu menggulirkan program dan usaha yang bermanfaat bagi masyarakat.

Rizqi memang urusan Allah, tapi mengikhtiarkannya adalah kewajiban yang mesti kita jalankan. Mengikhtiarkannya pun tidak hanya melalui usaha bekerja. Ya, namanya rizqi yang penting adalah usaha. Usaha memupuk ketaqwaan dengan maksimal, usaha menjalin silaturrahim dan silatul ikhwan, kontinu dalam membaca surat al-waqi'ah, dan aktivitas positif lainnya. Semua itu akan melancarkan rizqi fisik dan non fisik yang insyaAllah penuh dengan keberkahan.

Gerakkan tanganmu, Aku akan turunkan rizqi atasmu. Menggerakkan tangan disini tidak bisa dipahami sebatas bekerja, namun lebih dari itu yakni usaha menggerakkan seluruh potensi kita melalui jalan ketaqwaan yang besar kepada Allah.

Wallahu a'lam.