Minggu, 21 Februari 2016

BELAJAR DAKWAH DARI DUA DELEGASI NABI

“Berdakwahlah kepada masyarakat, senangkan jangan membuat takut, mudahkan, jangan mempersulit!” (Pesan Nabi kepada Sayyidina Abu Musa dan Muadz bin Jabal)

Seorang dai ketika berdakwah kepada Masyarakat yang masih benar-benar awam harus mengerti bagaimana retorika dakwah. Seperti yang dilakukan oleh Abu Musa al-Asy’ari dan Muadz bin Jabal yang didelegasikan oleh Rasulullah ke Yaman. Memulai semuanya dengan hal-hal yang membuat orang gembira dan senang menerima seruan dakwah itu, jangan mengeluarkan kata-kata dan statement yang membuat mereka lari. Seperti menceritakan siksa dan adzab justru akan membuat mereka lari. Seorang dai juga harus berusaha untuk mempermudah tidak mempersulit. Mengusahakan satu hal yang bias membuat mereka tertarik dan simpati.

Tidak ada dakwah kecuali dimusuhi sebab seseorang adalah musuh bagi apa yang mereka tidak tahu, maka berdakwah harus pelan-pelan, secara bertahap, dengan hal-hal yang menyenangkan. Seperti ketika seseorang masuk Islam, setelah mandi, setelah masuk waktu shalat, maka perlu dijelaskan bahwa, jika seseorang bisanya masih membaca Allahu akbar, tidak masalah shalat hanya membaca Allahu akbar saja disetiap gerakan, meski memang selanjutnya harus belajar. Berawal dari menyampaikan halal dan haram, sah dan tidak. Kemudian meningkat kepada adab-adab yang semestinya dijalankan. Seperti ketika berada di pelosok, bagaimana merubah adat yang salah sehingga disesuaikan dengan ajaran Islam seperti tahlilan. Sampaikan yang mudah dan bisa menimbulkan simpati dari obyek dakwah.

Selepas mereka berdua mendapat pesan indah penuh makna itu, mereka bertanya tentang sebuah kasus yang terjadi di lokasi dakwah, Yaman. Disana ada sejenis minuman yang terbuat dari madu yang bernama al Bit’u yang memabukkan, dan ada sejenis minuman dari Jagung yang bernama al Mizru yang juga memabukkan, mereka berdua menanyakan hukumnya kepada Rasulullah. Rasulullah menjawab: “Aku larang setiap hal yang memabukkan yang menghalangi shalat”. Sebuah jawaban yang singkat dan demikian padat yang sering di istilahkan dengan “jawamiul kalim” yang memang diberikan Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
*

Seorang Muslim pemabuk yang tak sempat bertaubat, tiada akan dimasukkan ke Surga bersama rombongan as-Sabiqin al-Awwalin. Setelah mendapatkan siksaan di neraka pada akhirnya ia akan dimasukkan di surga. Namun ketika disana ia tiada akan lagi memiliki selera terhadap minuman khomr. Padahal apapun yang diinginkan penduduk surga akan seketika itu didapatkan

وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
"Artinya : Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Fushilat : 31-32]

Hanya saja jika seorang pemabuk Muslim yang meminum khomr itu sampai mengatakan bahwa khomr itu tidak haram maka dia telah kufur. Sehingga ia tiada akan bisa menikmati minuman khomr sebab ia tiada bisa dimasukkan ke Surga. Karena melakukan sebuah larangan dan meyakini bahwa larangan itu bukan larangan hukumnya adalah kafir. Berbeda ketika seseorang Muslim melakukan larangan tanpa ada anggapan bolehnya larangan itu, ia masih dihukumi Muslim meski telah melakukan perbuatan kufur.

Semoga kita termasuk ummat Rasul yang dapat meminum lezatnya khomr Surga kelak. Aamiin

Semoga bermanfaat
Taklim Cinta Shahih Muslim
22 Februari 2016

Sabtu, 20 Februari 2016

MENGGAPAI PUNCAK IMAN

Iman merupakan sebuah hal yang seringkali terdengar di telinga, yang sudah tak asing lagi bagi kita, yang orang paling awam pun dalam beragama semestinya telah akrab dengan term satu ini. Tapi sudahkah kita mengerti dan menghayati makna serta hakikat iman secara benar?.

IMAN KEPADA DAN KARENA ALLAH
Dalam kitab Syu'ubul Iman karya Syeikh As'ad Muhammad Said as-Shoghorji dijelaskan bahwa, keimanan terhadap Allah memiliki dua spektrum, yakni keimanan kepada Allah (al Iman Billah) dan keimanan karena Allah (al Iman Lillah) . Keimanan kepada Allah adalah melalui penetapan dan pengakuan akan eksistensi Allah ta'ala. Sementara keimanan karena Allah adalah dengan jalan menerima dan patuh terhadap-Nya.

Iman kepada Allah memang merupakan satu hal yang mampu mengentaskan seseorang dari predikat kafir menuju gelar muslim, sehingga ia mendapatkan suaka keamanan jiwa, raga dan kehormatan. Dengan menyatakan dua lafal syahadat melalui lisan, seseorang pada saat itu juga mendapatkan semua suaka itu. Sementara urusan hati, diserahkan sepenuhnya kepada Allah ta'ala. Sama sekali bukan menjadi urusan manusia.

Salah seorang sahabat Rasul yang bernama Usamah bin Zaid suatu ketika dikala terjadi peperangan ia melihat ada pihak kafir yang membunuh sekian banyak pasukan Islam, hal itu membuat ia harus mengawasinya secara khusus. Pada saat ditemukan kesempatan, ia langsung menghunus pedangnya siap membunuh pihak kafir tersebut. Namun tak disangka, orang itu justu mengucapkan kalimat Laa Ilaaha illallah. Akan tetapi Usamah menganggap bahwa ucapannya hanya supaya ia tak jadi dibunuh. Usamah tak sabar lantas langsung menghujamkan pedangnya hingga orang itu mati.

Ternyata Nabi mendengar berita itu, kemudian beliau memanggil Usamah dan bersabda padanya: "Kenapa kamu membunuh orang yg telah mengucapkan Laa Ilaaha illallah? "
Aku menjawab, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya lelaki itu mengucap demikian karena takut terhadap hunusan pedang". Rasulullah bertanya lagi: "Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak?".

Keimanan karena Allah (al Iman lillah) memang tidak akan menyebabkan seseorang yang tidak memilikinya mendapat predikat kafir seperti yang berlaku untuk keimanan kepada Allah (al Iman billah). Namun, ia akan mendapatkan predikat lain sebagai seorang pemaksiat. Kecuali dalam masalah shalat, sebab seseorang yang tidak menjalankannya, mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah dan nyaris masuk dalam kelompok orang-orang kafir.

Atau dalam istilah lain, bahwa keimanan kepada Allah adalah akar /pokok, sementara keimanan karena Allah adalah cabang. Hal ini terbukti dengan kisah seorang anak Yahudi yang terbaring sakit lantas disarankan memeluk Islam oleh Rasulullah. Ia ternyata mau menurut saran Nabi hingga Nabi kala keluar dari rumah menyabdakan, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan ia dari neraka".

Namun hanya bermodalkan pokok saja tanpa merepresentasikan melalui cabang-cabangnya yang merupakan wilayah iman karena Allah, keimanan seseorang tiada akan di nilai baik.

Dalam hidup, bisa jadi kondisi keimanan seseorang mengalami peningkatan dan penurunan. Pada suatu saat kala ia melakukan ragam bentuk ketaatan kepada-Nya, kondisi keimanannya berarti sedang mengalami peningkatan. Sementara pada saat yang lain, kala banyak bentuk ketaatan yang tidak ia jalankan, kemaksiatan yang justru ia lakukan. Maka imannya kemudian disebut sedang mengalami penurunan.

PUNCAK IMAN ADALAH MENGGAPAI PASRAH
Dalam surat al Anfal ayat 2-4 secara detail Allah telah memaparkan persyaratan seseorang bisa di sebut sebagai mukmin sejati, yakni mereka yang hatinya takut kala Allah di sebut, hobi tilawah al Qur'an, memiliki rasa pasrah (tawakkal) yang baik, serta selalu menegakkan shalat, dan berinfak. Jika saja persyaratan itu ada pada diri seseorang, maka ia telah berhasil menyempurnakan keimanannya, namun jika ada yang belum dipenuhi, maka ia belum meraih hakikat iman, bahkan diklaim sebagai orang yang kurang imannya.

Selain itu, keimanan yang sesungguhnya adalah keimanan yang mampu mengantarkan seseorang menggapai kepasrahan total kepada Allah (tawakkal). Maka barometer keberhasilan seseorang dalam mempelajari kurikulum keimanan dan tauhid bisa dilihat dari seberapa besar dan hebat kualitas kepasrahannya dengan apapun yang digariskan oleh Allah azza wajalla. Bukan hanya sekedar telah menamatkan sekian kajian kitab-kitab tauhid dan keimanan, namun dikala mendapatkan ujian dan masalah masih sering mengeluh dan belum mampu pasrah terhadap Allah. Inilah yang dikatakan sebagai puncak dari tauhid dan iman.

(51). قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚوَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus berpasrah (tawakkal)." (QS.at-Taubah:51)

Ummu Sulaim adalah figur wanita yang memiliki kepasrahan tingkat tinggi, suatu hari anaknya sakit sementara Abu Tholhah, sang suami sedang keluar rumah. Ia obati anak itu semampunya, namun Allah ternyata berkehendak lain, Allah justru mengambil anaknya itu.

Hati ibu siapa yang tidak sedih ditinggal mati anaknya sementara sang suami masih bekerja diluar. Namun ia berusaha membesarkan hatinya mengembalikan semua itu kepada Allah, pasrah dan ridlo dengan kehendak-Nya.

Tidak lama kemudian akhirnya pada suatu malam sang suami kembali ke rumah. Melihat suaminya pulang dari bekerja banting tulang, ia tidak mau menambah pikiran sang suami. Sehingga kala ditanya kabar anaknya, ia hanya menjawab, anaknya sekarang tenang.

Ia tidak langsung mengabarkan tentang kematian anaknya. Justru pada hari itu ia memasak masakan yang istimewa, dandan secantik mungkin, sehingga sang suami tertarik menggaulinya.

Selepas melayani sang suami, ia bertanya pada suaminya: “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” "Ya tentu boleh". Pertanyaan itu ia ulang sampai tiga kali dan dijawab dengan jawaban yang sama. Sang suami heran, apa sebenarnya maksud pertanyaan si istri, lantas akhirnya si istri menjelaskan, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.”.

Mendengar penjelasan itu si suami marah, kenapa tidak dari semenjak datang ia menjelaskan kematian anaknya namun justru ia malah mengajak suaminya makan enak dan bahkan diajak menggaulinya, akhirnya mereka sepakat untuk melaporkan perkara tadi kepada Rasulullah, entah apapun konsekuensinya, biarkan Rasulullah yang memberi keputusan. Pada keesokan harinya, mereka berdua berangkat menuju kediaman Rasulullah, ia menceritakan perihal yang terjadi kepada beliau. Tak disangka, selepas itu Rasul justru berdoa: "Barokallah fikuma fi ghobiri lailatikuma", Semoga Allah memberkahi kalian berdua pada malam kalian. Kemudian akhirnya si istri hamil lalu melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah. Konon selepas anaknya besar dan menikah, anak itu mempunyai sembilan anak yang kesemuanya menjadi ulama besar.

Maka kepasrahan adalah satu hal yang semestinya kita proses dalam menjalani kehidupan. Sehingga keimanan kita menjadi sempurna. Memang tidak mudah, namun bukan satu hal yang tidak mungkin untuk kita ikhtiarkan.

Wallahu yatawallal jami'a biri'ayatih.

Jum'at 19 Februari 2016

Selasa, 02 Februari 2016

Kaum Neo Khawarij

) حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ ، أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ الْأَعْمَشِ ، عَنْ خَيْثَمَةَ ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ غَفَلَةَ ، قَالَ : قَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَأَنْ أَخِرَّ مِنَ السَّمَاءِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَكْذِبَ عَلَيْهِ ، وَإِذَا حَدَّثْتُكُمْ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ فَإِنَّ الْحَرْبَ خَدْعَةٌ ، سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " يَأْتِي فِي آخِرِ الزَّمَانِ قَوْمٌ حُدَثَاءُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ ، يَقُولُونَ : مِنْ خَيْرِ قَوْلِ الْبَرِيَّةِ يَمْرُقُونَ مِنَ الْإِسْلَامِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ إِيمَانُهُمْ حَنَاجِرَهُمْ فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ قَتْلَهُمْ أَجْرٌ لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .

Menceritakan padaku Muhammad bin Katsir, menceritakan padaku Sufyan, dari al-A'masy dari Khoitsamah, dari Suwaid bin Ghoflah, ia berkata: Sayyidina Ali Rodliyallohu anhu berkata:

"Dikala aku menceritakan satu hadits kepada kalian tentang Rasulullah, meskipun aku harus terjungkal dari langit, maka hal itu lebih aku sukai ketimbang aku harus berdusta atas nama beliau. Dan dikala aku menceritakan suatu hadits tentang satu urusan antara aku dan kalian, maka sesungguhnya perang adalah sebuah tipu daya. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Akan datang pada akhir zaman suatu kaum yang mereka masih berusia muda, mereka memiliki akal pikiran yang demikian bodoh, mereka mengatakan perkataan terbaik yang pernah disampaikan penduduk bumi (al-Qur'an dan al-Hadits), mereka keluar dari Islam layaknya anak panah yang melesat dari (sasaran) buruannya, iman yang mereka miliki tidak sampai kerongkongan mereka. Maka dimana saja kalian bertemu dengan mereka, bunuh mereka. Sebab ada pahala yang disiapkan bagi orang yang membunuh mereka kelak pada hari kiamat.""

Di jelaskan pada hadits di atas bahwa Sayyidina Ali tidak pernah berani berdusta atas nama Rasulullah dalam memberitakan satu hadits. Ini selaras dengan apa yang pernah di sabdakan Rasulullah,

" إن كذبا علي ليس ككذب على أحد من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار" رواه البخاري
Sesungguhnya kedustaan atasku tiada seperti kedustaan atas seseorang, barang siapa berdusta atasku secara sengaja, maka ia akan berdomisili di neraka.

Sekian banyak muncul hadits-hadits palsu, sebab pemahaman yang keliru besar dalam memahami hadits di atas. Banyak pihak yang menganggap bahwa hadits di atas hanya berlaku bagi pihak pemalsu hadits yang merugikan Rasulullah dan Islam, namun jika pemalsuan itu demi untuk menghadirkan sebuah manfaat dan faedah positif, maka tidak masalah. Munculnya pemahaman seperti ini, disebabkan karena kesalahan fatal dalam memahami redaksi hadits yang memakai huruf jar 'Alaa yang berarti merugikan, bukan lam yang berarti bermanfaat. Sehingga jika itu bermanfaat, maka tidak mengapa dan bahkan dinilai baik meskipun untuk itu harus berdusta dengan membawa-bawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Salah satu ciri dari hadits palsu adalah pahala yang terlampau besar kala kita melakukan sebuah kebaikan yang kecil dan sederhana, dan sebuah dosa yang terlampau besar ketika melakukan sebuah kesalahan yang kecil.

Banyak sekali motif dibalik pemalsuan hadits, diantaranya adalah usaha membantu suatu sekte, seperti yang dilakukan Khottobiyah yang banyak memalsukan hadits sebagai dalil atas bid'ah agama yang mereka lakukan. Usaha mendekati raja dan sultan, mereka-reka hadits yanng sejalan dengan kehendak mereka. Usaha mencari rizqi dan pekerjaan. Usaha membantu mufti ketika terjadi kesalahan. Usaha mendorong manusia untuk berbuat baik. Juga usaha mendidik akhlak anak. dan lain sebagainya yang itu semua tidak bisa dibenarkan sama sekali, meskipun dengan tujuan yang baik.

Pemalsuan hadits mengemuka pada tahun 41 hijriyah. Kala itu kaum muslimin terpecah belah menjadi banyak madzhab, mereka terpecah kedalam syiah, khawarij dan kaum mayoritas. Mengemukalah bid'ah dan kepentingan hawa nafsu, sehingga mereka yang punya kepentingan sampai berani membuat-buat hadits untuk menguatkan madzhab yang mereka anut.

Berikut adalah sekelumit contoh dari hadits palsu:
الباذنجان لما اكل له
Terong dimakan berkhasiat untuk apapun
بخلاء امتي الخياطون
Orang bakhilnya umatku adalah para penjahit
السواك يزيد الرجل فصاحة
Siwak menambah kefashihan lelaki
من حلق رأسه اربعين اربعاء صار فقيها
Barang siapa mencukur kepalanya 40 Rabu, maka ia akan jadi Ahli fiqh
Selain itu, banyak juga keterangan yang tersebar, yang masyhur ditelinga banyak orang sebagai sebuah hadits, namun kala ditinjau ulang ternyata bukan hadits tapi kalam para Ulama, seperti yang populer yakni kalam Imam Syafii yang di klaim banyak orang sebagai sebuah hadits nabawi yakni :

من اراد الدنيا فعليه بالعلم و من اراد الاخرة فعليه بالعلم ومن ارادهما فعليه بالعلم.
Sesiapa yang menginginkan dunia maka harus dengan ilmu, sesiapa yang menginginkan akhirat harus dengan ilmu, dan sesiapa menginginkan keduanya harus dengan ilmu.

Maka terkait dengan hadits, sumber yang semestinya dijadikan sebagai rujukan adalah kitab standar hadits, bukan kitab dongeng.

PERANG ADALAH TIPU DAYA
Dalam dunia persepakbolaan, seorang pelatih sebuah tim kesebelasan dan juga seluruh anggotanya semestinya memahami betul taktik dan stratagi dalam menjebol gawang tim lawan, sehingga timnya bisa mendulang sebuah kemenangan. Begitu juga dalam masalah perang. Seorang panglima perang dan prajuritnya harus mengerti betul strategi dan taktik perang yang diterapkan agar peperangan tidak banyak memakan korban sehingga bisa meraih kemenangan dengan gemilang. Meskipun untuk itu mengharuskan mereka melancarkan tipu daya kepada pihak lawan. Hal itu termasuk bagian dari kedustaan yang dilegalkan oleh syariat.

KELOMPOK NEO KHAWARIJ
Hafalan al-Qur'an mereka luar biasa, surat apa plus ayat berapa hafal diluar kepala. Namun, Merekalah orang-orang yang masuk dalam term, mukminun binnuthqi la bilqolbi, beriman pada lisannya tapi tidak pada hatinya. Orang-orang model ini kalau ketemu dengan kelompok lainnya sering kali mengkafirkan dan memasukkan mereka ke dalam neraka. Seolah hanya kelompok mereka saja yang berhak masuk surga, yang tidak sependapat langsung dijustifikasi sebagai manusia sesat dan ahli neraka. Mana sifat ruhama'u baynahum? (kasih sayang antar sesama muslim) dan mana pula sifat husnuzhon bil bil Muslimin?. Nyaris tak tercermin pada pribadi mereka.

Kelompok mereka bermula dari eksistensi sosok Dzul Khuwaishiroh at-Tamimy. Kala itu, para sahabat sedang berkumpul bersama Rasulullah, beliau sedang membagi … tiba-tiba ia mendatangi beliau kemudian berkata:“Wahai Rasulullah, berbuat adil-lah!”

Rasulullah lalu bersabda: “Celaka kamu, siapa lagi yang akan berbuat adil jika aku sudah (di klaim) tiada adil. Sungguh rugi dan rugi aku, jika aku tiada bisa berbuat adil.”

Maka Sayyiduna Umar berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal lehernya!”.

Rasulullah menjawab:“Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut, di mana kalian merendahkan (menganggap kecil) shalat kalian dibanding shalat mereka, puasa kalian dibanding puasa mereka. Mereka membaca al-Qur’an tapi tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya ...

Akhirnya keturunan Dzul Khuwaishiroh menjadi penerus fitnah yang ia lancarkan sampai sekarang. Banyak manusia zaman sekarang yang hobi tanya dalil, tidak mau mengikuti suatu madzhab tertentu. Jika ibadah, mereka harus mendasarkan ibadah mereka secara langsung pada al-Quran dan al-Hadits.


Padahal madzhab ibarat makanan yang sedap yang disajikan sedemikian rupa oleh ulama madzahib dengan susah payah. Sementara kita tinggal langsung menyantapnya dengan lahap. Seseorang yang tidak ahli masak lantas memaksakan diri untuk meracik bahan-bahan menurutnya sendiri akan menghasilkan makanan seperti apa?. Apakah kemudian sama hasil masakan seorang Imam Syafi'i dengan masakan zaidun? Imam Maliki dengan hasil masakan Kang Dul.

Abuya as-Sayyid Muhammad al-Maliki pernah menyampaikan, Ulama madzahib berjasa besar dalam memberikan "makanan" dengan kerja keras mereka. Berbicara masalah dalil, tidak perlu dijelaskan sebab hal itu sudah teramat sangat jelas, seperti matahari. Jika kita tidak bisa melihat matahari yang terang benderang maka yang bermasalah bukan pada matahari, namun mata kita sendiri.

Enggan bermadzhab juga sebuah ekspresi meremehkan ulama, padahal mereka telah memeras pikiran untuk mencetuskan produk hukum yang kita tinggal makan. Abi KH. Ihya Ulumiddin kala belajar di Mekkah pernah di perintah untuk mentakhrij hadits-hadits dalam kitab fiqh kecil yang bernama al-Ghoyah wa at-Taqrib, ternyata untuk tujuan itu beliau butuh mentelaah 22 buah kitab yang tebal-tebal.

Dalam hal ini, Rasulullah memerintah untuk menumpas mereka. Namun menumpas mereka tidak boleh dilakukan secara personal akan tetapi melalui kebijakan seorang Qadli. Sebab jika hal ini dilakukan secara personal justru akan menimbulkan kekacauan yang tidak sederhana.

Eksistensi kaum Neo Khawarij akan terus-menerus berkesinambungan yang akan selalu menyisakan PR yang banyak. Apa lagi jika sampai kelompok ini kuat, mereka akan sangat berbahaya bagi kaum muslimin, sebab dikala masih kecil saja, mereka berhasil menciptakan pengaruh yang amat mengancam kaum muslimin.

وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
"Barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Agama, maka hal itu (muncul) dari jiwa yang takwa kepada Allah. (Qs.Al Hajj(22):32)

Keberadaan orang sholeh merupakan pengawal agama, termasuk dalam syiar-syiar agama. Kalau ketemu orang sholeh kita ingin meniru dan mencontoh mereka adalah sebuah rahmat yang besar. Namun apa jadinya jika malah makam-makam orang-orang sholeh di bom-hancurkan dimana-mana. Target utama mereka adalah negara-negara seperti Iraq, Suriah, Yaman, sebab disana amat banyak tinggal orang-orang sholeh. Indonesia perlu waspada, karena muslimin terbesar ada di negeri kita ini.

Merekalah dai-dai yang mengajak masuk neraka jahannam. Karena berkasih sayang adalah jalan menuju surga, maka jika ada dai yang tidak berkasih sayang, berarti mereka tidak mengajak kecuali untuk masuk bersama ke neraka jahannam.

Wallahu a'lam.