Rabu, 30 Maret 2016

MENJAGA VALIDITAS HADITS

Menyampaikan materi hadits semestinya jangan di potong atau di ringkas. Sebab hal ini berkaitan dengan amanah ilmu. Dan sebaiknya mengambil hadits langsung dari kitab-kitab hadits atau kitab mu'tabar, bukan dari kitab dongeng.

Dulu para ulama’ demikian hati-hati dalam menjaga validitas hadits, sehingga semestinya kita juga berhati-hati memilih hadits-hadits kala ingin disampaikan dalam majlis ilmu atau khutbah. Sebab tak jarang para muballigh dan khotib menyampaikan sebuah kalam yang disebut sebagai hadits ternyata merupakan kalam ulama, kadang pula yang mereka sampaikan justru berupa hadits maudlu. Bisa-bisa kita masuk dalam ancaman Rasulillah kepada orang-orang yang melancarkan kedustaan kepada Rasulillah.

"Barang siapa berdusta atasku secara sengaja, maka ambillah bagian tempatnya di neraka"

Seorang dai, berkah doa Rasulillah dalam menjaga validitas dalam menyampaikan hadits, ia akan mendapat wajah yang cerah, kegemilangan, serta kehingar bingaran di dunia dan akhirat. Wajahnya akan cerah nan bahagia. Bukankah hal ini merupakan sebuah keberuntungan yang besar?


(( نَضَّرَ الله امرأً سمع منَّا شيئاً فبلَّغَهُ كما سمعه، فَرُبَّ مُبَلَّغ أوْعَى من سامع

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sebuah hal dariku lalu dia menyampaikannya persis seperti yang ia dengar. Sebab betapa banyak orang yang mendapat berita/keterangan (muballagh) lebih memahami dari pada orang yang langsung mendengar (sami/muballigh)”.

Dalam kitab karya Abuya as Sayyid Muhammad yakni al Manhalul Lathif halaman 45, Abuya mengomentari hadits ini, bahwa doa Rasulillah agar mendapatkan kehingar bingaran ini khusus hanya dimiliki oleh umat Muhammad, tidak berlaku bagi ummat lain. Dan jika saja dalam kita menggeluti ilmu hadits, menghafalkan dan menyampaikannya dengan jujur tak memiliki faidah lain kecuali hanya beroleh doa Rasulillah ini, maka hal itu sudah cukup untuk mendapatkan faidah dan keberuntungan yang besar di dunia dan akhirat.

**


Hadits Rasulillah mesti didengarkan dengan baik. Sebab Rasul tak pernah berbicara dari hawa nafsu. Apalagi al-Qur'an juga memiliki hak untuk husnul istima'.

Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba- hamba-Ku (17). (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat (18) (QS Az-Zumar. 17-18)

Bahwa al-Qur’an kalam Allah, merupakan risalah dari Allah untuk seluruh hambanya. Baik yang iman atau yang tak beriman, Allah ingin berbicara dengan mereka dengan firman-Nya. Firman yang terjaga dari perubahan. Dibaca dan dipelajari oleh orang yg beriman atau tak beriman. Meski mereka membaca atau mendengar al-Qur'an tapi mereka hanyalah orang yang tuli dari hidayah.

Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. (QS. Yunus: 42)

Untuk menyampaikan al-Qur’an dan hadits bagaimana mesti berusaha melalui prosedur keilmuan. Jangan seperti orang sekarang yang hanya pintar dalil. Kemarin masih tukang sulap, hari ini mengaku sebagai mufassir. Kemarin pelawak menjelma menjadi muballigh. Padahal yang mesantren puluhan tahun takut keliru dalam menyampaikan.

**


Maka sebagai santri, kita jangan mudah menyampaikan hadits yang tak jelas kedudukannya. Sebab dahulu ada banyak orang Yahudi yang bahkan berhasil memalsukan hadits sampai 14.000 hadits. Kita mesti teliti dan hati-hati.

Karena ternyata banyak pula kitab-kitab yang masyhur dan beredar luas dimasyarakat. Namun setelah dicermati, banyak didalamnya memuat hadits maudlu' (palsu). Diantara kitab-kitab yang dimaksud seperti yang telah dipaparkan dalam kitab tanzihussyari'ah al marfuah anil akhbari syaniah al amudluah adalah:

-Kitab as-Syihab karya al Qudlo'i
-Kitab milik al-Hakim at Tirmidzi
-Kitab-kitabnya al-Waqidy seperti Futuhussyam
-Tafsir Ibnu Abbas
-Nuzhatul majalis wa muntakhobun nafais karya as Shofury
-Tanbihul ghofilin milik Abillays as Samarqandi
-Qurrotul uyun milik Abillays as Samarqandi
-Mufarrihul qolbil mahzun, ketiganya milik Abillays as Samarqandi
-Qoshosul anbiya milik as Tsa'laby
-Durrotun Nashihin karya al Khowbawi
-Badaiuzzuhur fi waqaiqidduhur karya Ibnu iyas
-ar-Raudl al faiq fil mawaidh warraqaiq karya al harifisy
-washoya al imam Ali.

Bahkan suatu saat Abi Ihya, salah seorang santri Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawy al Maliki, dulu dikala menuntut ilmu di Makkah, usai membeli Tafsir Ibn Abbas, kitab itu diperlihatkan kepada Abuya, "Abuya, Kitab baru abuya, tafsirnya Ibnu Abbas" Dijawab Abuya, " Oh iya, kamu bakar saja!".

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " اللَّهُمَّ ارْحَمْ خُلَفَائِي , ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَنْ خُلَفَاؤُكَ ؟ قَالَ : الَّذِينَ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِي ، وَيَرْوُونَ أَحَادِيثِي , وَسُنَّتِي ، وَيُعَلِّمُونَهَا النَّاسَ "

Rasulillah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah, kasih sayangi kholifah-kholifahku, tiga kali. Dikatakan: “ Ya Rasulallah, Siapa khalifah-khalifahmu?” Rasul menjawab: “ Mereka orang-orang yang ada setelahku, meriwayatkan hadits-haditsku, sunnahku, dan mengajarkannya kepada orang-orang.

Al-Qostholany berkata di muqoddimah kitab Irsyadussari selepas memaparkan hadits ini bahwa: Tidak diragukan lagi bahwa menyampaikan sunnah kepada kaum muslimin, menasehati mereka, merupakan bagian dari wazhifah para Nabi sholawatulloh wa salamuhu alaihim, maka sesiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah khalifah bagi orang yang menyampaikan darinya. Dan Rasulallah mendoakan agar ia mendapatkan Rahmat dan menyebutnya sebagai khalifah. (Almanhalul latif 46).

Tashluhu hadzihil ummah bima yashluhu bihi awwaluha (malik), Bahwa Ummat ini ternilai baik dikala mereka membawa apa yang orang terdahulu ternilai baik dengannya. Maka sepantasnya kita mencontoh sahabat dan para pendahulu dalam menggeluti hadits dan berusaha menjaga otentitasnya.

Ciri khas sahabat yang di terangkan oleh Sufyan as-Sauri, ada lima hal:

- Luzumul jamaah, dengan sifat Ruhama’u baynahum terciptalah hal ini
- Ittibaussunnah, sebab mereka bersama Rasulillah secara langsung.
- Tilawatil Qur’an ( Membaca dan mengkaji al-Qur’an)
- al mudawamah ala dakwah
- al-Jihad fi sabilillah, sehingga mereka adalah Anshorullah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه

”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu”

Semoga kita menjadi orang-orang yang mau menggeluti ilmu hadits, menghafalkan, dan menyampaikannya, sehingga termasuk dari Doa Rasulillah shallallahu alaihi wasallam itu.

wallahu ta'ala a'lam
semoga bermanfaat.

Selasa, 29 Maret 2016

MENJAGA TINGKAH MENGHINDARI MUHAKAH, JADILAH MUSLIM TERINDAH

Ada banyak ragam ghibah yang merupakan bentuk amal muhlikat yang begitu mudah menghancurkan poin pahala yang mati-matian kita kumpulkan. Salah satunya adalah Muhakah.

Muhakah merupakan sebuah ghibah dalam bentuk laku. Yakni dengan menirukan sebuah ciri atau gaya seseorang. Seperti menirukan gaya berjalan. Ini adalah sebuah hal yang diharamkan oleh Allah. Nabi sendiri tak mau untuk menirukan seseorang meski diberi sekian harta benda.

Pada suatu saat, Sayyidah Aisyah bilang kepada Rasulullah: “Duhai Rasulullah, sungguh Shofiyyah itu seorang wanita begini (seolah ia berkata seraya berisyarat dengan tangannya, bahwa ia ‘pendek’). Nabi bersabda: “Sungguh, Kau benar-benar telah mencampur sebuah kalimat yang jika saja kau campur air laut dengan kalimat itu maka pasti tercampur”.

Ya, muhakah adalah bagian dari ghibah. Namun memang ada ulama yang bahkan lebih masyhur dengan nama julukan yang aslinya terkesan merendahkan. Akan tetapi mereka justru senang. Seperti al A’masy, yang rembes. Al Qoffal, tukang gembok. al Khowwas, tukang sol. Maka hal ini bukan termasuk sebuah ghibah.

Abu Dzar al Ghifari pada suatu saat memanggil Bilal dengan sebutan, “Yabna Sauda’” (wahai anak orang hitam). Selepas ia mengadukan hal itu dengan Rasulullah, Rasulullah amat geram, lalu bersabda: "Wahai Abu Dzar, Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Didalam dirimu terdapat sifat jahiliyah!". Hingga pada akhirnya, Abu Dzar demikian menyesal, dan pada satu saat ia meletakkan pipinya diatas tanah lalu meminta Bilal untuk menginjakkan kakinya pada pipi itu.

Suatu waktu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Muslim seperti apa yang lebih utama?”. Beliau menjawab: “Sesiapa yang orang lain selamat dari lisan (lisan) dan tangannya (yad)”. Dua hal inilah yang paling banyak menyakitkan orang lain. Lisan dan tangan. Dan diantara keduanya, lisan disebutkan dulu sebab memang menjadi anggota badan yang paling parah.

جراحات السنان لها إلتئام...و لا يلتام ما جرح اللسان

Artinya: Luka sebab gigitan pada saatnya akan sembuh, namun tak begitu dengan luka sebab lisan

Banyak hal yang mesti kita hindari untuk membuat lisan kita selamat: Diantaranya adalah mengumpat (Syatm), melaknat (la’n), Membicarakan aib orang lain (ghibah), dusta (buhtan), Adu domba (namimah), mengadu ke raja (siayah ilassulthon), dll.

Banyak orang alim yang bahkan terjebak dalam melakukan kejahatan ini. Maka betapa man shomata naja. Sesiapa yang diam ia akan selamat. Berbicaralah hanya yang penting-penting saja. Namun memang Allah ta’ala menformat banyak ragam lisan. Ada yang hanya bicara na’am la, namun ada juga yang ‘ngecopros’ tak henti-henti. Maka iyyullisan, yakni sulit bicara insyaAllah akan lebih selamat dari pada yang vokal. Tapi yang repot adalah tipe lisan yang sekali bicara yang keluar adalah hal yang menyakitkan, maka lebih baik diam saja. Ada juga lisan yang tipenya mudah bicara lucu, maka jika kita memiliki lisan tipe ini, semestinya kita niatkan bicara kita untuk menyenangkan orang lain, jangan hanya untuk ‘mbanyol’ saja. Allah ta'ala telah berfirman dalam surat Qof ayat 17-18:

اذ يتلقى المتلقيان عن اليمين وعن الشمال قعيد ( 17) ما يلفظ من قول الا لديه رقيب عتيد (18

Artinya: ‘(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri- Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”(Qs. Qaaf ayat: 17 – 18).

Kita selalu diawasi oleh Raqib Atid. Sampai berupa rintihan seseorang pasti dicatat oleh Malaikat itu. Apakah rintihan itu hanya factor kesakitan, atau merupakan bentuk ‘ngersulo’. Jika sebab saking sakitnya maka tidak berdosa, namun jika sebab mengeluh maka dicatat sebagai dosa oleh Roqib Atid.

Berkaitan dengan tangan. Agar kita bisa menyelamatkannya maka kita mesti menghindarkan diri dari dosa-dosa yang potensial dilakukan oleh tangan. Seperti memukul (Dzorb), membunuh (qotl), menghancurkan / memborbardir (hadm), melawan (daf’u), menulis kebathilan (kitabah bil bathil), menempeleng (Basytu), mengambil yang bukan haknya (akhdzu).

Hanya saja jika semua itu dilakukan untuk tujuan kebaikan (istislah), seperti menjewer untuk mendidik, maka tidak dianggap dosa. Dan mentakzir seorang murid yang melakukan pelanggaran pada prinsipnya tidak masalah. Namun anehnya akhir-akhir ini dikala guru pendidik menerapkan metode seperti ini justru akan dilaporkan atas nama melanggar HAM.

Ada juga yang memaknai “yad’” sebagai anggota badan, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya dalam Surat Ar-Rum ayat 41 :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya : "Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab perbuatan anggota badan manusia, supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali."

Ada juga yang memaknai “yad” sebagai kekuasaan. Seorang penguasa adalah khodim bagi rakyatnya. Sehingga ia harus berusaha menyenangkan dan menyejahterakan rakyat. Bukan menindas, menyakiti dan menyengsarakan rakyat.

Hadits ini begitu merepresentasikan sebuah jawamiul kalim yang dimiliki oleh Rasulillah. Kenapa tidak memakai redaksi qoul, tapi lisan. Kenapa memakai bahasa yad, tidak yang lain. Sebab pada akhirnya bisa mencakup keseluruhan makna yang mendalam dan luas.

Pada akhirnya, bagaimana kita selalu mengusahakan takholuq, berakhlaq dengan akhlaqnya Allah. Berusaha menyenangkan orang lain, tidak menyakitinya. Sebagai sebuah ibadah horizontal kepada Allah. Sebagai sebuah hubungan keterkaitan manusia dengan manusia. Karena jika kita telisik, ayat-ayat al-Qur’an menyiratkan adanya ibadah vertikal dan horizontal. Ayat-ayat yang mewajibkan sholat beriringan pula dengan mewajibkan zakat.

Wallahu ta’ala a’lam.
Rabu, 30 Maret 2016

Minggu, 27 Maret 2016

MENERAPKAN SYARIAT BERSAMA MANHAJ WASATHY

Sebenarnya hukum meminum susu, sudah teramat jelas. Namun dalam kitab Sahih Muslim kenapa pula dijelaskan? Paling tidak, kita menjadi paham bahwa amanah ilmu yang di pikul oleh para Sahabat demikian terpercaya. Pada bab ini kita melihat perhatian Sahabat yang besar dalam mengikat seluruh perbuatannya dengan hukum. Sehingga bagaimana kita bisa meneladani mereka lalu bisa beragama dengan mengerti sebuah dasar atau dalil dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena jika hanya ikut-ikutan zaman, maka kita akan amat rentan terjerumus dalam kejelekan.

Rasulullah pernah bersabda:

لا تكونوا إمعة، تقولون إن أحسن الناس أحسنا، وإن ظلموا ظلمنا، ولكن وطنوا أنفسكم، إن أحسن الناس أن تحسنوا وإن أساءوا فلا تظلموا

Janganlah kalian menjadi manusia yang ikut-ikutan. Kau katakan : jika manusia berbuat baik, kami berbuat baik, jika mereka berbuat dholim kami berbuat dholim. Akan tetapi teguhkanlah pendirian dirimu. Jika manusia berbuat baik, berbuat baiklah, dan jika mereka berbuat jelek, maka kalian janganlah (ikut) berbuat dholim’ (Misykatul Mashobih 3/122)

Kaum muslimin di akhir zaman tiada lagi peduli dengan keterikatan dirinya dengan hukum, padahal istilah mukallaf mengharuskan kita terikat dalam hukum dalam apapun yang kita lakukan meskipun berupa hal kecil.

Kaum muslimin pada zaman ini, banyak yang berada pada dua kutub yang tidak elegan. Satu kutub bernama al-inqibadl, demikian eksklusif, keterlaluan, mudah mengharamkan. Dan kutub yang lain bernama al-inbisath, demikian inklusif, liberal, sehingga muncul ungkapan “Alah gitu aja kok ga boleh”. Padahal semestinya kita selalu memosisikan diri di tengah, wasathi, moderat. Sebab Rasulullah bersabda: al Qoshda al Qoshda tablughuu, moderatlah, moderatlah, kau akan sampai!.

Al-Ashlu fil af’al attaqoyyud bil ahkamissyar’iyyah. Bahwa asal dalam perbuatan adalah berkait dengan hukum syar’i. Tapi banyak dari kita merasa tidak terikat dengan hukum. Sepertinya telah nyata apa yang pernah di sampaikan oleh Rasulillah shallallahu alaihi wasallam:

لتنقضن عري الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها واولهن نقضا الحكم واخرهن الصلاة

Sampul (ikatan) Islam akan terlepas satu demi satu, maka setiap sampulnya terlepas, manusia akan memegang sampul yang berikutnya. Dan pertama kali sampul yang akan terlepas adalah hukum Islam ( undang-undang islam), kemudian yang terakhir adalah ibadah sholat”. (Hr: Ahmad, Ibnu Hibban, al Hakim, Thobroni)

Tidak cukup sampai disini. Bahkan seseorang yang masih konsisten memegang hukum justru disebut sebagai orang fanatik dan kolot. Sementara kaum muslimin pada umumnya hanya mengikuti arus, tanpa tahu dan peduli lagi tentang hukumnya. Kenyataan ini begitu ngeri. Padahal semestinya kita menteladani para sahabat yang dalam ketaatannya mereka tiada merespon kecuali dengan pernyataan sami’na wa’atho’na. Sampai para sahabat mempertanyakan bagaimana hukumnya rekreasi, padahal waktu itu musim perang, sehingga di jawab Rasul, Siyahatuka rekreasimu adalah jihadmu dijalan Allah. Menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap hukum syara'.

Amar bin Yasir dikala junub, ia tidak menemukan air. Sementara ia hanya mengerti tata cara tayamum sebagai ganti wudlu, namun tak tahu menahu tentang tata cara tayamum sebagai ganti mandi besar. Pada akhirnya ia sampai tayamum dengan berguling diatas debu. Selepas itu ia laporan terhadap Nabi, Nabi bersabda: "Ya ariidlol qofa!". Ini sebuah bukti saking begitu semangatnya ia dalam menerapkan hukum syara'.

Dalam kitab Bukhori sampai ada Bab, al ilmu qoblal qouli wal amal. Maka semestinya seseorang bagaimana mengupayakan keilmuan. Tidak hanya semangat beramal tanpa didasari keilmuan yang baik. Bagaimana kita belajar ilmu fiqh dengan optimal. Sehingga mengerti betapa kompleksnya permasalahan yang dimuat olehnya.

Seorang yang alim, ada yang memang benar alim, ada yang alim karbitan. Orang-orang dengan hanya mengerti bahasa arab saja sehingga bisa menerjemahkan hadits sudah di anggap alim. Sampai mereka merasa bahwa banyak amal yang di lakukan kebanyakan orang tidak sah, batal sebab hanya ikut-ikutan kyai. Sebab dianggap bahwa orang-orang tidak mengerti dalil. Pada akhirnya mereka demikian enteng mengklaim bid’ah dan zholalah.

Merekalah alim karbitan, yang omongannya begitu menyakitkan hati. Mereka jauh-jauh belajar ke timur tengah hanya untuk menyalahkan orang. Tidak hanya itu, bahkan mereka berani menghapus banyak redaksi kitab-kitab salaf yang mereka anggap keliru dan tidak sesuai dengan pendapat mereka. Padahal ilmuwan dalam sains dan pengetahuan non agama demikian menghargai karya pendahulunya.

Seorang santri meskipun seorang muqollid, paling tidak seharusnya mengerti dalil. Agar menjadi muqollid terpelajar. Sementara orang pada umumnya, memang tak masalah bertaqlid secara penuh dalam masalah furu'.

Bertaqlid dengan ulama salaf tidak bisa dibandingkan dengan taqlid dengan seorang Kang Dul yang katanya pintar berdalil. Tidak sama seorang Imam Syafi’i yang kapasitas keilmuannya telah diakui internasional dengan Kang Dul yang akhir-akhir ini banyak bermunculan. Mereka Kang Dul dengan jumawanya tidak menghargai hasil ijtihad dan istinbath dalil yang di produk oleh Ulama salaf, mereka lebih memilih membikin produk hukum sendiri, “berijtihad” dari bahan-bahannya secara langsung. Padahal tidak akan pernah sama rasa semangkuk rawon yang dibuat oleh koki ternama dengan semangkuk rawon masakan seseorang yang tak mengerti resep lezatnya, awur-awuran dalam menakar bahan. Sehingga yang tersajikan adalah semangkuk rawon rasa semrawut.

Tashluhu hadzihil ummah bima yashluhu bihi awwaluha (malik), Bahwa Ummat ini ternilai baik dikala mereka membawa apa yang orang terdahulu ternilai baik dengannya. Mereka mengaku sebagai generasi salaf pengikut sahabat, sehingga menamakan diri sebagai Salafi. Padahal jika ditelisik, kita akan melihat bahwa mereka amat jauh dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat.

Diantara Ciri khas sahabat yang di terangkan oleh Sufyan as-Sauri adalah:

- Luzumul jamaah, dengan sifat Ruhama’u baynahum terciptalah hal ini.
- Ittibaussunnah, sebab mereka bersama Rasulillah secara langsung.
- al-Mudawamah ala tilawatil Qur’an ( Membaca dan mengkaji al-Qur’an).
- al-Jihad fi sabilillah, sehingga mereka adalah Anshorullah.


Semoga kita bisa menjadi sosok muslim yang moderat dalam pemikiran. La syarqiyyah wala ghorbiyyah. Dan selalu semangat dalam mengumpulkan point plus-plus dalam beramal. Dan berusaha mengkaitkan segala permasalahan yang terjadi dengan hukum syara'yang berlaku. amin.

Senin, 28 Maret 2016
Semoga bermanfaat.

Jumat, 25 Maret 2016

Kalam Hikmah Abi #37

“Orang punya dzauq memang beda. Tanda orang punya dzauq adalah berusaha membalas kebaikan orang lain.” (Abi Ihya’ )

Seorang muslim begitu dianjurkan untuk melakukan berbagai kebaikan kepada orang lain. (al Ihsan ilal ghoir). Begitu banyak keutamaan berbuat baik yang diterangkan Rasulullah dalam hadits-haditsnya. Seperti bahwa berbuat baik dapat menghalau datangnya berbagai keburukan, penyakit dan keterpurukan, serta menyingkirkan bencana. Namun di sisi yang lain Rasulullah juga demikian menganjurkan untuk membalas kebaikan yang dilakukan oleh orang lain. Maka Kita harus selalu ingat dengan sebuah kebaikan yang pernah ditanamkan oleh seseorang kepada kita kemudian berusaha untuk membalasnya dengan balasan yang setimpal atau bahkan jika bisa yang lebih baik. Jangan sampai muncul fenomena air susu dibalas dengan air tuba, atau kacang lupa pada kulitnya. Allah ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 86 yang artinya kurang lebih:

“Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. “ (QS. An Nisa’ ayat 86)

Dalam sebuah hadits juga dinyatakan bahwa, “Seseorang belum merealisasikan kesyukuran kepada Allah di kala ia tiada berterimakasih atas kebaikan orang lain terhadapnya.” (Makna Hadits)

Ada banyak hal yang perlu kita usahakan untuk membalas kebaikan yang orang lain lakukan kepada kita, yakni:

1. Membalasnya dengan balasan yang setimpal, namun jika tak mampu maka memujinya kala ia tak ada dihadapan kita dengan menceritakan kebaikan yang ia lakukan kepada orang lain.

Seperti yang al Imam al Bukhori terangkan dalam kitab Adabul mufrod, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “ Sesiapa yang mendapat kebaikan dari orang lain, hendaknya ia membalasnya. Jika ia tak menemukan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Sebab jika ia telah memujinya berarti ia telah berterimakasih kepadanya. Jika ia menyembunyikannya maka ia telah mengingkari kebaikannya. Sesiapa yang berhias sebuah hal yang tidak ia kerjakan atau miliki, seolah ia mengenakan dua pakaian kepalsuan.

2. Dengan mendoakan kebaikan teruntuk orang yang berbuat baik kepada kita.

“..Dan siapa yang berbuat baik kepadamu, balaslah kebaikannya. Jika kau tak mampu, maka doakanlah ia sampai ia tahu bahwa kau telah memberinya yang setimpal” (Makna Hadits)

3. Dengan berterimakasih kepadanya. Dan yang paling bagus dengan doa yang diajarkan Rasulullah: Jazakumullohu khoiron. Rasulullah bersabda: “Sesiapa yang diberikan suatu kebaikan lantas ia berkata kepada yang memberi: ‘Jazakallohu khoir’ maka sungguh ia telah bersungguh-sungguh dalam berterima kasih”

Maka, semestinya kita bukan hanya menjadi penikmat kebaikan yang dilakukan orang lain kepada kita. Namun selalu berusaha membalasnya dengan kebaikan yang baik. Meski tentu saja dalam berbuat kebaikan, kita tidak boleh untuk mengharap balasan kecuali dari Allah ta’ala semata. Semoga kita dimudahkan untuk memproses diri menjadi ahlul ma’ruf di dunia, sehingga kita bisa menjadi ahlul ma’ruf pula kelak diakhirat. Allahumma aamiin.

Wallahu yatawallal jami’a biri’ayatih.

Semoga bermanfaat
26 Maret 2016

Kalam Hikmah Abi #36

“Orang ketika mulazamah dengan Murobby, ini akan bisa merubah sikap. Sikapnya akan terpengaruh dengan apa yang dilakukan Murobby.” (Abi Ihya’ )

Berkaitan dengan istilah murobby, bahwa murobby muthlaq seluruh makhluk yang ada hanyalah Allah azza wa jalla. Sang pencipta alam raya. Tuhan yang mengurus segalanya. Mencurahkan kenikmatan-kenikmatannya yang demikian agung kepada seluruh makhluk. Fadzalikumullohu Robbukumul haq.

Namun pada sisi yang lain, Istilah Murobby juga merupakan sebuah predikat yang ada pada seseorang. Istilah ini disematkan kepada seseorang yang melakukan empat hal, yakni: Mendidik hati. Memperbaiki akhlaq. Menuntun menuju Allah. Dan dengan bersuhbah dan bermulazamah dengannya, seseorang terjaga dari sekian kemaksiatan dan kejelekan.

Murobby teragung orang mukmin tiada lain adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah senantiasa berusaha membersihkan hati dan jiwa kaumnya. Mereka mendapatkan predikat yang tinggi disisi Allah dengan mengikuti sunnahnya. Baik sunnah yang berupa ucapan atau perbuatan. Juga dengan mengikuti detail penjelasan kitab Allah al-Qur’an. Beliau adalah sosok teladan terbaik bagi mereka.

Dalam kitab Ushuluttarbiyah al Islamiyah dijelaskan bahwa, tugas terpenting dari seorang murobby adalah:
1. Tarbiyyah, yakni mengembangkan dan membersihkan. Mengembangkan jiwa untuk menuju Pencipta dan menjauhkannya dari keburukan, serta menjaganya supaya senantiasa dalam kondisi bersih.
2. Taklim, yakni mentransfer ilmu, aqidah dan keyakinan bagi akal pikiran dan hati manusia mukmin, sehingga mereka mampu mengaplikasikannya dalam suluk dan kehidupannya.

Seorang Murobby harus memiliki 10 karakter:

a. Sasaran, Suluk dan pemikirannya bersifat Robbany. Yakni berkaitan erat dengan Robb, Allah ta’ala. Dengan mengaplikasikan ketaatan kepada Allah, beribadah kepada-Nya, mengikuti Syariat-Nya, mengerti akan sifat-sifat-Nya.

b. Ikhlas. Tiada tujuan lain dari semua yang ia lakukan kecuali untuk meraih ridlo Allah, supaya bisa wushul kepada-Nya, menyebarkan kebenaran kepada orang-orang, juga supaya mereka mau mengikuti Allah.

c. Sabar dalam mengajar dan memahamkan keilmuan kepada santri-santri yang notabene memiliki kadar pemahaman dan kecerdasan berbeda-beda.

d. Jujur dengan apa yang ia sampaikan. Dan tandanya adalah menerapkan dan mengamalkan ilmu yang ia sampaikan sebelumnya untuk diri sendiri.

e. Senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kajian. Serta menguasai benar ilmu yang ia ajarkan. Seorang murobby harus memiliki keilmuan yang luas, hafalan yang kuat, serta pemahaman yang mendalam. Sehingga ia dihormati dan dipercaya oleh santri, juga supaya ia bisa memberikan faidah seperti yang diharapkan.

f. Memahami berbagai macam metode pembelajaran. Serta mampu memilih metode yang sesuai untuk setiap materi yang akan disampaikan.

g. Menguasai ilmu kepemimpinan. Meletakkan urusan pada posisinya, jika bersifat longgar tak mempersempit dan jika bersifat ketat tak mempermudah. Mencintai dan menyayangi santri dengan tanpa berlebihan.

h. Mengajari diri pribadi santri pada jenjang yang diajarkan, sehingga senantiasa menyesuaikan dengan kadar pemahaman dan kesiapan mereka.

i. Bersikap adil terhadap seluruh santri. Tiada condong terhadap sekelompok dari mereka. Tiada mengutamakan satu santri atas santri yang lain kecuali dengan kebenaran.

j. Senantiasa menjadi Pembina dan pengarah. Mengerti masalah kekinian dan solusi islam tentangnya. Berusaha mendengarkan setiap permasalahan santri, mencari penyebab dan menyelesaikannya dengan hikmah.

Maka murobby, bukan hanya pengajar belaka. Lebih dari itu, bahwa ia seorang penanggungjawab akan sisi tazkiyah dan taklim santri-santrinya. Sehingga tak heran, jika bersuhbah dengan sosoknya akan memberikan dampak dan pengaruh yang besar bagi sikap dan kepribadian seseorang. Bukankah dikala kita bersuhbah dengan seorang penjual minyak wangi paling tidak kita akan menjadi wangi?.

Maka semoga kita bisa dimudahkan Allah untuk memproses diri menjadi sosok Murobby idaman. Sehingga kita bisa dikumpulkan bersama Murobby utama orang-orang mukmin, yakni Baginda Rasulillah shallallahu alaihi wasallam. Aamiin.

26 Maret 2016
Semoga bermanfaat.

Kalam Hikmah Abi #35

“ Suatu saat antum di lok-lokno wong antum biasa ae, jadi dai harus siap seperti itu!.” (Abi Ihya’)

Seorang dai memang memiliki sekian banyak tantangan yang harus dihadapi. Sebab kapasitas dai sebagai seorang mushlih, atau dalam istilah akrab disebut sebagai agen perbaikan (agent of change) membuat banyak orang terusik akan kehadirannya.

Term mushlih amat berbeda dengan term sholih. Pada umumnya orang yang memiliki karakter sholih tiada banyak mendapatkan kecaman dari masyarakat. Sebab karakter tersebut lebih berpengaruh untuk diri sendiri. Namun seseorang yang memiliki karakter sebagai seorang mushlih, maka keberadaannya menjadi sebuah ancaman tersendiri bagi pihak-pihak yang belum mendapatkan hidayah dari Allah ta’ala. Pihak-pihak yang eksistensinya terancam sebab pusat bidik perbaikan seorang agen adalah apa yang telah menjadi rutinitas, mengakar, membudaya, dan menjadi karakter yang mereka tampilkan setiap saat, yang mereka klaim sebagai suatu hal yang wajar, atau bahkan diklaim sebagai suatu hal yang baik. Sehingga jika mengemuka seseorang yang berusaha mengusik eksistensi hal itu, mereka akan dengan cepat merespon semua itu dengan ungkapan atau tindakan pembungkaman usaha perbaikan yang ia lakukan. Dalam term yang biasa kita dengar bahwa, annas a’dau maa jahilu.

Jika kita membaca shirah perjalanan jejak Sang Penyeru sekalian alam, Nabi Idaman Rasulillah shalallahu alaihi wasallam, kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa, usaha dakwah dan perbaikan yang di ikhtiarkan oleh Nabi mengalami begitu banyak tantangan dari Kaum Quraisy Jahily pada saat itu. Sekian banyak hal menyakitkan di alami oleh baginda dan para sahabat. Mulai dari hinaan dan cacian memakai lisan, sampai yang bersifat fisik seperti siksaan dan percobaan pembunuhan.

Betapa seorang Abu Jahal demikian getol dalam melancarkan fitnah yang amat keji kepada masyarakat tentang diri Rasulillah. Dikala Rasul melakukan dakwahnya, dikala itu pula Abu Jahal tiada pernah lelah dan bosan membuntuti dibelakang Rasul untuk melancarkan fitnahnya kepada masyarakat. Bahwa Muhammad adalah pendusta, tukang sihir, orang gila, tukang pembikin syiir, dan sumpah serapah lain yang begitu menyakitkan. Namun Rasulullah terus saja maju melaju mengusahakan yang terbaik untuk menegakkan kalimah tauhid meski taruhannya adalah nyawa. Rasulullah tak pernah putus harapan, meski tak terhitung berapa banyak orang yang berusaha menghentikan dan menggagalkan dakwah yang ia emban.

Maka sebagai penerus estafet perjuangan Sang Baginda, semestinya kita banyak belajar dari kegigihan Rasulullah dan para sahabat dalam menyebarkan Islam sehingga berhasil menjadi agama yang begitu mendunia. Apa saja tantangan yang datang, kita mesti pantang menyerah mencari solusi. Apa saja masalah yang menghadang, kita mesti berusaha menyelesaikannya. Jika masalah itu berupa hinaan dan cacian yang menusuk dari obyek dakwah, maka kita mesti berusaha legawa, membesarkan hati, memaafkannya, dan berusaha berbuat baik kepada mereka. Kita harus memiliki keyakinan bahwa selepas kesulitan akan hadir dua kemudahan.

Memang demikian mudah untuk diutarakan. Namun amat sulit dan berat dalam pelaksanaan. Semoga kita dimudahkan untuk meneladani kehidupan Rasulillah shallallahu alaihi wasallam.

Wallahu a’lam bisshowab.

25 Maret 2016

Kamis, 24 Maret 2016

Kalam Hikmah Abi #34

“Sholawat ummiyah ampuh bagi orang-orang yang ingin bermimpi bertemu dengan Rasulullah, dibaca seribu kali tiap malam jum’at” (Abi Ihya’)

Bersholawat adalah sebuah aktivitas yang semestinya menjadi idaman bagi setiap orang yang mengaku sebagai ummat Rasulullah. Sebab bersholawat adalah satu-satunya amal yang diperintahkan oleh Allah dan pada saat yang sama juga dilakukan oleh Allah. Jika Allah ta’ala memerintah untuk sholat, zakat, puasa dan haji, maka Allah tiada pernah melakukannya. Namun lain soal dengan sholawat. Selain Allah memerintahnya, maka sebelumnya Allah ta’ala telah melakukannya bersama para malaikat. Sehingga lantas memerintahkannya kepada hamba-hamba yang beriman untuk membacanya.

Mengenai redaksi sholawat, banyak nian ragam sholawat yang digubah oleh para ulama’. Sehingga kita tinggal memilih redaksi mana yang kita suka. Bukan seperti yang dinyatakan oleh sebagian kelompok bahwa redaksi sholawat yang sah hanyalah seperti apa yang diajarkan oleh Nabi yakni sholawat Ibrahimiyah yang kita rutin membacanya dikala tahiyyat akhir dalam shalat. Jika masih merasa kurang, maka masih ada Dalail khoirot yang memuat sekian banyak sholawat yang luar biasa.

Salah satu dari redaksi sholawat yang demikian terkenal adalah sholawat yang disebut dengan sholawat ummiyah. Redaksinya adalah: Allahumma sholli ala sayyidina Muhammadinin Nabiyyil ummy. Imam Yafi’I meriwayatkan dalam kitab Bustanul Fuqoro’ bahwa ada sebuah hadits dari Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwa sungguh beliau bersabda: “Barang siapa bersholawat untukku pada hari jum’at 1000x dengan sholawat ini: Allahumma sholli ala sayyidina Muhammadinin Nabiyyil ummi. Maka ia akan bermimpi melihat Tuhannya di malam harinya, atau Nabinya, atau tempatnya di surge. Jika tidak bermimpi melihatnya, maka lakukan hal itu pada dua jum’at, atau tiga jum’at atau lima jum’at”. Di riwayat yang lain ada tambahan redaksi: “wa ala alihi washohbihi wasallim”.

Al Imam al Qutb ar-Robbany Syeikh Abdul Qodir al Jailany juga menukil sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al A’roj dari Abu Hurairah rodliyallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “ Sesiapa yang sholat pada malam jum’at dua rokaat, di tiap rokaat ia membaca al fatihah dan ayat kursi sekali dan Qul Huwallahu ahad (al ikhlas) 15x dan di akhir sholatnya ia membaca 1000x Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammadinin Nabiyyil ummy, maka sungguh ia akan melihatku ketika ia tidur dan belum sempurna jum’at yang lain baginya kecuali ia telah melihatku, jika seorang melihatku maka baginya surga, dan diampuni baginya dosa yang telah atau akan terjadi”.

Bermimpi bertemu Nabi shollallahu alaihi wasallam adalah sebuah kebenaran yang hak. Sebab Rasulullah pernah menegaskan bahwa setan tak mampu menjelma sebagai sesosok Rasulillah. Bermimpi sama seperti kita bertemu Nabi dalam kondisi terjaga.

Banyak hadits yang menjelaskan bahwa seorang yang bermimpi bertemu Rasulullah, ia tidak akan masuk neraka. Betapa beruntung orang yang bisa bertemu Nabi meski hanya melalui mimpi. Seorang yang memiliki hutang, jika bermimpi bertemu Rasulullah akan di bayarkan Allah hutangnya. Seorang yang sakit akan disembuhkan penyakitnya. Seorang yang sedang berperang akan mendapat pertolongan dari Allah. Jika bertemu Nabi dikala kita sedang bahagia, Allah akan rejekikan haji untuk kita. Seperti yang diterangkan Ibnu Sirrin dalam Tafsirul ahlam.

Akhir catatan, semoga kita direjekikan bisa berjumpa beliau Sang Idaman, meski melalui mimpi. Ya Allah, rejekikan mata yang mampu menatap Sang Nabi, sehingga lenyap segala nestapa, sehingga lenyap segala gundah gulana. Sebab sorot cahaya yang demikian berkilau melepaskan segalanya. Aamiin.

Wallahu yatawallal jami’a bi riayatih.

Malam jum’at indah, 24 Maret 2016

Rabu, 23 Maret 2016

SANTRI PAKU, SEBUAH WASIAT MBAH ABDUL KARIM

Oleh: KH. Abdul Aziz Manshur

Assalamualaikum Wr. Wb.

Hadirin yang kami hormati peserta Rakernas Ittihadul Muballighin yang dimuliakan kita telah menenrima arahan penjelasan keadaan situasi sekarang yang harus dihadapapi oleh para santri.

Hadirin yang kami hormati memang begitulah sekarang didalam masyarakt, insya alloh hadirin semua telah merasakan apalgai saya juga disamping didaerah saya sendiri, di desa saya sendiri, dipondok saya sendiri, saya sering mendatangi daerah-daerah para hadirin dimana-mana. Ini sambatan dari pada penduduk setempat itu seperti yang telah dikatakan oleh Bpk. Syaifulloh Yusuf tadi lantas bagaimana?. Setelah kita selidiki, terkadang itu hambatan-hambatan itu timbul dari pada jagan jinagan (mengandalkan orang lain) satu antara yang lain “alah wes enek iko” . Bahkan kadang-kadang iko sing paling membahayakan rebutan antara satu dengan yang lain, ini merupakan suatu penyakit. ini ya itu jangan sampai terjadi jagan jinagan. Walaupun sing sitoke wes tandang sini juga mencari situasi yang lain yang kita bisa membantu dari sisi apa. Kalo sana sudah mengisi itu saya mengisi yang lain, sehingga tidak jadi bentrok tidak jadi ninggalno kabeh.

Maka dari itu hadrotal mukarrom mbah kiyai Abdul Karim. saya sering ketika diundang ngaji dimana-mana hal ini saya ceritakan. Sabda mbah yai abdul karim ketika dipamiti oleh santri. “Yai, kulo bade wangsul”, “yo, mondok neng lirboyo mulih nek umah kudu isi dadi paku”. Hanya satu kalimah “Mondok nek umah kudu iso dadi paku”. Selama beliau dipamiti oleh santri pasti pesannya seperti itu.

Jadi santri mau pulang dari pondok itu ibarat mau membangun yang bisa dipergunakan berteduh siapa saja. Jadi kita mulih seko pondok iku ibarat membuat bangunan sing bangunan yang bisa dibuat berteduh siapa saja. Nah orang membikin bangunan materialnya macam-macam dari satu material yang berupa kayu saja motongnya kayu itu juga tidak boleh sama, beda-beda. Ada yang ukuran reng, ada yang ukuran usuk, ada yang ukuran cagak, ada yang ukuran molu, ada yang ukuran blandar. Kan ukurannya beda-beda panjang dan pendeknya beda-beda.

Setelah dipasang nanti juga tidak boleh diletakan searah. Gawe umah usuke mujur ngalor renge mujur ngalor mulune mujur ngalor blandare mujur ngalor cagake mujur ngalor iku jenenge gak bangun umah jenenge, juragan kayu bakul kayu. Bahkan yang dihadapi santri di rumah nanti akan menghadapi santri seperti itu jadi gak oleh dipodo saiki diujurne ngalor kabeh gak boleh. Pulang dari pondok pasti menghadapi masalah kadang beda-beda setelah ditata. jadi notone gak oleh diujurno podo. Sama dengan santri setelah pulang dari pesantren “wes saiki nang masjid kabeh tani di tinggalkan toko di tinggal yo saiki wiridan kabeh yo ndak boleh”.

Menemukan masyarakat yang macam-macam itu santri yang bisa ngatur bagaimana kayu yang macam-macam arahnya, kayu yang macam-macam potongannya, bisa bersatu mengangkat bangunan supaya bisa menjadi bangunan yang bisa dipergunakan untuk berteduh. Iki pie carane harus dihubungkan tali tIumali antara satu dengan yang lain. Sak badane di toto maka santrilah yang harus mengukuhkan menyatukan santri sebagai PAKU. Ya, santri harus bisa menjadi paku penengah pengikat antara rakyat yang beragam itu. Ini pesen dari mbah Abdul Karim begitu dengan santri itu.

Dan paku itu mempunyai beberapa keistimewaan :

Paku iku harus قم حيث أقامك الله menurut dengan pak tukang diletakan dimana, dia manut dengan pak tukang. Kalau paku dudur ya digunakan untuk memaku dudur, paku reng yo kudu gelem ge maku reng, paku usuk yo kudu gelem ge maku usuk, gak oleh brengkel. “Wes Aku paku reng aku jaluk ge maku dudur aku mokh ge maku reng”. Dudur ge paku reng yo gak teko to kang. Begitu juga paku yang besar paku dudur, “wes aku tawadu aku gak usah ge maku dudur aku tak dek ngisor ge maku reng wae”, pecah semua. Ini kesimpulan sabda mbah Abdul Karim. Setelah kita pulang dirumah kita juga seperti itu قم حيث أقامك الله mengerti kedudukan “saya disini saya disini”. sehingga tidak rebutan satu dengan yang lain. Jadi kita tabligh Ittihadul Muballighin kita harus noto awake dewe disik.

Ketika orang membangun rumah itu sangat membutuhkan paku sehingga kurang paku reng satu saja, apa maneh dek Kediri gak enek nang Suroboyo goro-goro paku rengnya kurang satu. Tapi biasanya ketika rumah sudah jadi tidak ada orang yang bertanya pakunya apa . “umahmu kok apik pakune opo,?” tidak ada yang bertanya pakunya yang ditanyakan kayunya, “kayu opo ?” lajeng terus lantaine mereke opo sak penunggalane. Santri juga seperti itu biasane ketika ada orang butuh ada pilihan bupati umpamanya atau lurah santri dicari diajak jegongan sedino sewengi dijak rokokan sak penunggalan. jak neng warung sak penunggalane. ini di cari santri. tapi ketika sudah jadi, gak enek santri direken, sebab seperti itu merupakan satu akidah santri. Tidak boleh marah-marah pancen paku yo ngono kui. “Masio wes dadi aku gak direken gak popo pancen paku”. “Yang penting umah gak rusak umah gak ambruk aku terimo”. Jadi makane santri iko syarate koyo nek ta’lim mutta’alim iku.

Santri itu harus tahan pukul seperti paku. Paku bisa menghubungkan usuk dengan blandar ketika dipukul, dipalu. Ketika tidak dipalu jangan mengaku menyatukan blandar ambek usuk. Jadi santri berjuang di daerah mesti kenek tutuk, kalo santri tidak mau dipukul dipalu, ditutuk ditutuk sak itik minggat nang Kalimantan, ya, jangan jadi santri. Paku semakin gede gantene semakin gede, nek paku cilik-cilik gantene cukup cilik-cilik. Paku semakin besar palunya semakin besar pakunya, paku yang kecil cukup dengan palu yang kecil. Lah ini ujian.

Nah saya ceritakan satu cerita saja, pesan dari mbah Abdul Karim ketika dipamiti santri. Ya, itu satu saja pesannya. Jadi paku yo ngono iku. Jadi santri kok demonstrasi gak enek, sebab itu tadi. Yang penting rumah iku regeng gak ambrug wes gk po aku gak dadi opo gak direken sing penting umahe tetep kuat gak ambrug gak miring gak opo aku terimo.

Kyai Zainuddin Mojosari Nganjuk beda. Ketika dipamiti santri. Ada santri dipamiti arep dadi manten umpamanya, “santri mulih seko pondok kudu wani melarat”, iku pesene. Dadi pulang dari pondok harus berani miskin. Kalau bukan santri pertanyaannya “wes lulus koe due pekerjaan opo due anu opo” sak penunggalane. Tapi kalau santri pulang dari pondok pertanyaanya Cuma “opo owes wani melarat, koe boyong teko pondok wes wani melarat”. Harus berani miskin. Artinya berani melarat/miskin itu apa ? bahwa santri pulang dari pondok pesantren itu mesti menghadapi banyak hal sembarang kalir dihadapi. Santri harus tahan banting. Santri harus wani melarat harus berani menghadapi apapun.

Hadirin yang kami hormati bisa-bisa membagi قوا أنفسكم و أهلكم نارا jadi harus bisa membagi. Kadang-kadang kebacut, menjaga diri senidiri saja hingga tetangganya kadang-kadang terlewat. kadang-kadang neng gene tanggane tok, diundang ngaji rono rene nganti anaknya dirumah tidak terawatt. itu yo kadang-kadang enek. Makanya kita juga harus tabligh mengembangkan ilmu kemana-mana tapi jangan sampek meninggalkan keluarga kita. Kita ngopeni keluarga kita tapi wa ahlikum juga harus kita jaga.

Biasane tantangane santri disana, itu kadang-kadang sudah ada yang berjuang “beneran aku Tak turu ae” ada kadang-kadang. Kadang-kadang ada yang sudah mulai berjuang “iki ra becus mestine aku” kadang-kadang yo enek. Harus diterapkan kembali yang ada dalam kitab ta’limul muta’alim, apa yang ada dalam kitab bidayatul hidayah kita terapkan lagi. Masalah ngaji tidak membutuhkan kitab yang gede-gede yang penting itu yang sesuai dengan keadaan masyarakat.

Maka dari itu kemaren ada peristiwa waktu isro mi’roj di istana. Pada waktu isro’ mi’roj di istana itukan pembacaan al-Qur’an dengan lagu gendingan. Geger neng masyarakat “pi hukume ?”. ada yang memberi hukuman langsung tidak boleh haram dan sebagainya. Lah sebagian mengatakan seperti ini, pas ketepatan saya pas ngaji ihya pas bab sima’, jadi sima’ lagu-lagu itu, memang ulama kuno itu ada yang kadang disaat tertentu beliau ngundang.

Dulu itu memang ada, saya katakan seperti pendeta dia itu biasa melagukan lagu-lagu syi’ir-si’ir dengan lagu-lagu lah biasanya seorang kiyai itu juga ada. Salah satunya mbah Kiyai Muhajir Bendo nek kapan tanggal 15 sya’ban mesti mengundang tukang jidor neng bale dengan mengundang santri-santri senior yang sudah dirumah kadang-kadang sampai 20 atau 30 santri. Dimulai dengan wiridan kemudian istighosah. akhirnya tukang jidor menyanyi sambil memainkan jidor. Lah mbah kyai itu mendengarkan, masya alloh, sampai kadang-kadang seperti orang jadzab jadi seakan-akan seperti orang yang lali, karena asiknya mendengarkan lagu-lagu itu. Ternyata ini yang diajarkan panjenengan ipun wali Sunan Kali Jogo pada waktu itu sekaten di keraton Solo.

Nah, terus ada yang menjawab bahwasanya lagu Qur’an itu ndak ada ajaran dari Rasululloh lagu itu ndak ada malah dari kanjeng Nabi tidak boleh terlalu ngelik-ngelik dowo itukan tidak boleh. Ada lagu ngelik-ngelik dowo itukan sekarang, menjawabnya seperti itu, lagu yang dituntunkan dari kanjeng nabi itu tidak ada. Jadi ulama-ulama Qira’ah bittaghoni sesuai dengan daerahnya masing-masing. Karena yang banyak kita dengar dari Mesir makanya lagunya itu yang banyak sesuai dengan situasi mesir. Nanti kalo kita ke India ya beda lagune wong India.

Maka, dari itu ada yang menghukumi moco alqur’an dengan gendingan tidak apa asal tidak ditabuhi. Kalo ditabuhi dalam kita sulamuttaufiq dikatakan bahwasanya memabaca al-Qur’an kok ditabuhi itu kufur. Lah pada waktu dulu, kampus tribakti mengadakan acara wisuda mengundang band dari Ponorogo, lah band itu menyanyi robbana dzolamna anfusana mbah kiyai Mahrus bendu. Jadi, robbana dzolamna anfusana dilagukan dengan tabuhan band. Kalau ditabuhi memang tidak boleh seperti dalam kitab sulam.

Jadi kita harus mengikuti irama didaerah masing-masing. Dakwah didaerah lampung berbeda dengan daerah Kalimantan, yang dikalimantan beda dengan yang di jawa timur dan sebaginya. Ballil insanu ‘ala nafsihi basyiroh jadi manusia itu tahu dengan dirinya sendiri keadaan situasi dirinya sendiri.

Jadi, itulah buat bekal kita selain yang telah disampaiakn Bpk. Syaifulloh Yusuf ini tambahan dari saya. Jadi, kita itu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Daarihim ma dumta fi daarihim wa ardihim ma dumta fi ardihim. Dan masalah pengajian kita tidak perlu pengajian kitab yang gede-gede kitab yang kecil-kecil itu saja. Syukur yang cerita-cerita itu koyo dene kitab ‘ushfuriyah kemudian diselingi hokum yang membahas thoharoh. Dibacakan cerita-cerita tapi jangan lupa diselingi penjelasan kewajiban-kewajiban.

Kita juga harus tanggap kalo ada sesuatu kejadian. Kalo tanggap itu kita juga tidak boleh tergesa-gesa lantas bertindak, jangan. Dilihat situasinya dulu, madzhab itukan semaunya sah, madzahibul arba’ah semuanya sah. Kita jangan terlalu kolot. Kadang masalah yang tidak cocok dengan Syafi’iyah dulu waktu awal-awal masuknya Muhammadiyah ke Indonesia itu orang-orang yang sangat kolot “nek kapan gak ngene gak” sehingga arepe mantu kurang seminggu iku lo bapake kok qunut anake gak kunut gak sido. “Wes gak sido wong gak kunut”. Tidak dilihat situasi dulu mestine delok disit wong dari madzahibil arba’ah juga ada yang tidak melakukan qunut seperti panjenegnan ipun Imam Abu Hanifah. Nah kalau memang meninggalkannya itu masih dilingkungan madzahibul arba’ah itu tidak masalah. Tapi kalo sudah ingkar “wes gak enek kunut gak iso, bid’ah” dengan 100 %, harus kita hindari.

Jadi ketika ada masalah yang tidak cocok dengan kita ojo langsung tancep tolak itu jangan tapi dilihat situasi duluk sehingga kita tetap utuh. Tidak terpecah, terkadang awalnya masjidnya Cuma satu bisa jadi tiga Cuma gara-gara masalah semacam itu saja. Asalkan masih salah satu madzahibul arba’ah ya kita beri penjelasan saja.

Hadirin yang kami hormati selamat bertugas dalam dunia tabligh semoga selalu mendapat pertolongan dari Alloh SWT yang paling penting adalah Ikhlas dan yang paling penting lagi dawuhnya Imam Syafi’i “ma nadzortu ahadanilla ahbabtu an yudzhirollohul haq ‘ala yadaihi”, saya tidak mendebat kepada seseorang kecuali dengan harapan Allah ta’ala menampakan kebenaran, walaupun toh kebenaran itu ada pada dia, saya akan terima. Nah ilmu hati itu lebih penting disini dari pada ilmu dhohir sebab sing angel iku noto atine iki. Inilah saya kira cukup ada kurang lebihnya mohon maaf

Wassalum’alaikum wr wb



Disampaikan dalam RAKERNAS Lembaga Ittihadul Muballighin 2015.

Sumber: LIM Lirboyo

BAGAIMANA KAU MEMANDANG GURUMU

Al Imam Ali bin Hasan al Aththas mngatakan :
ﺍﻥ ﺍﻟﻤﺤﺼﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻋﻨﻲ ﺍﻟﻜﺸﻒ ﻟﻠﺤﺠﺐ، ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺍﻻﺩﺏ ﻣﻊ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻭﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﺒﺮ ﻣﻘﺪﺍﺭﻩ ﻋﻨﺪﻙ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻚ ﺫﺍﻟﻚ ﺍﻟﻤﻘﺪﺍﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﻚ
" Memperoleh ilmu, futuh dan cahaya (maksudnya terbukanya hijab2 batinnya), adalah sesuai kadar adabmu bersama gurumu. Kadar besarnya gurumu di hatimu, maka demikian pula kadar besarnya dirimu di sisi Allah tanpa ragu ".(al Manhaj as Sawiy : 217)
Imam Nawawi ketika hendak belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, " Ya Allah, tutuplah dariku kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku kepadaku ". (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155)
Beliau pernah mengatakan dalam kitab At Tahdzibnya :
ﻋﻘﻮﻕ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﻤﺤﻮﻩ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﻋﻘﻮﻕ ﺍﻻﺳﺘﺎﺫﻳﻦ ﻻ ﻳﻤﺤﻮﻩ ﺷﻲﺀ ﺍﻟﺒﺘﺔ
" Durhaka kepada orang tua dosanya bisa hapus oleh taubat, tapi durhaka kepada ustadzmu tidak ada satupun yg dapat menghapusnya ".
Habib Abdullah al Haddad mengatakan " Paling bahayanya bagi seorang murid, adalah berubahnya hati gurunya kepadanya. Seandainya seluruh wali dari timur dan barat ingin memperbaiki keadaan si murid itu, niscaya tidak akan mampu kecuali gurunya telah ridha kembali ". (Adaab Suluk al Murid : 54)
Seorang murid sedang menyapu madrasah gurunya, tiba2 Nabi Khidir mendatanginya. Murid itu tidak sedikitpun menoleh dan mengajak bicara nabi Khudhir. Maka nabi Khidhir berkata, " Tidakkah kau mengenalku ?. Murid itu menjawab, " ya aku mengenalmu, engkau adalah Abul Abbas al Khidhir ".
Nabi Khidhir, " kenapa kamu tidak meminta sesuatu dariku ?".
Murid itu menjawab, " Guruku sudah cukup bagiku, tidak tersisa satupun hajat kepadamu ". (Kalam al Habib Idrus al Habsyi : 78)
Al Habib Abdullah al Haddad berkata, " Tidak sepatutnya bagi penuntut ilmu mengatakan pada gurunya, " perintahkan aku ini, berikan aku ini !", karena itu sama saja menuntut untuk dirinya. Tapi sebaiknya dia seperti mayat di hadapan orang yg memandikannya ". (Ghoyah al Qashd wa al Murad : 2/177)
Para ulama ahli hikmah mengatakan, " Barangsiapa yang mengatakan " kenapa ?" Kepada gurunya, maka dia tidak akan bahagia selamanya ". (Al Fataawa al Hadiitsiyyah : 56)
Para ulama hakikat mengatakan, " 70% ilmu itu diperoleh sebab kuatnya hubungan ( batin,adab dan baik sangka )antara murid dengan gurunya ".
Semoga kita semua termasuk murid yang baik dan mendapat berkah dari guru kita
اللهم آمين

WAJAH CERAH DENGAN BERDAKWAH

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( نَضَّرَ الله امرأً سمع منَّا شيئاً فبلَّغَهُ كما سمعه، فَرُبَّ مُبَلَّغ أوْعَى من سامع

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sebuah hal dariku lalu dia menyampaikannya persis seperti yang ia dengar. Sebab betapa banyak orang yang mendapat berita/keterangan (muballagh) lebih memahami dari pada orang yang langsung mendengar (sami/muballigh)”.

Ada dua makna yang terkandung dalam redaksi “Nadlorollohu imroan”, bisa jadi itu sebuah ungkapan berita, bisa jadi pula merupakan sebuah doa. Jika dipahami sebagai sebuah ungkapan berita maka memiliki beberapa makna:

1. Allah ta’ala akan mengindahkan wajah seseorang dihadapan orang-orang dengan sebuah kedudukan dan derajat yang tinggi
2. Allah ta’ala akan mengantarkan seseorang menuju kehingar bingaran surga, yakni mendapatkan nikmat dan kegembiraan di surga
3. Allah ta’ala memberinya keistimewaan dengan kegemilangan, ia akan senantiasa merasa gembira, tak pernah merasa sedih. Karena hidup itu untuk mencari apa jika bukan mencari kegembiraan?.

Jika dipahami sebagai sebuah ungkapan doa, maka mengandung makna:
-Seorang dai akan mendapatkan doa dari Rasulullah, sebagai sebuah ungkapan terimakasih dari Rasulullah terhadap jasa yang dilakukan oleh mereka, para penyampai pesan Rasulullah. Seorang dai akan memiliki wajah yang cerah nan bahagia. Berkah dari doa Rasulullah ini. Jika ada seorang dai yang memiliki wajah masam, metutut, maka ada kesalahan dalam dakwah yang ia lakukan. Meski hidup antara susah dan bahagia, namun seorang dai akan menghadapinya dengan tenang dan bahagia. Seorang dai bukan sekedar orang yang baik (sholih), tapi lebih dari itu. Bahwa mereka adalah seorang agen perbaikan (muslih) yang biasanya kerap mendapatkan ancaman dan tantangan dari banyak orang yang belum tersentuh hatinya, belum mengerti akan apa yang didakwahkan.

(33). وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى الَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS. Fusshilat :33)

Jangan hanya pintar bicara tanpa amal. Jika sekedar bicara tanpa aksi, amat mudah. Bahkan seorang penjual jamu bisa melakukannya. Namun seorang dai semestinya selalu berusaha mengaplikasikan keilmuan dalam amal nyata.

Menyampaikan seperti apa yang ia dengar. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an dan Sunnah bagaimana kita melihat para ulama senantiasa melakukan penjagaan ketat terhadap substansi yang terkandung didalam keduanya sehingga bisa persis seperti apa yang mereka dengar. Jika seseorang menyampaikan namun dengan perubahan, maka ia bukan lagi disebut sebagai muballigh, namun justru mughoyyir.

Menyampaikan sebuah hal yang diklaim sebagai hadits harus benar-benar selektif, kita harus memastikan bahwa jika disebut sebagai hadits, adalah benar benar hadits. Sebab banyak dimasyarakat sebuah kalam yang terkenal sebagai hadits ternyata bukan hadits namun merupakan kalam ulama. Seperti : Man arodaddunya fa’alaihi bil ilmi waman arodal akhirota faalaihi bil ilmi waman aroda huma fa’alaihi bil ilmi. Adalah sebuah kalam dari Imam Syafi’I bukan hadits. Agar senantiasa terjaga kevalidan hadits. Ulama telah berhasil menjaga keotentikan hadits Rasulullah dengan usaha yang demikian besar. Dan mengenai al-Qur’an dari awal penjagaannya memang langsung oleh Allah ta’ala.

Jangan heran kalau ternyata muballagh bisa jadi lebih daripada pendengar langsung (sami’/muballigh). Muballagh bisa jadi lebih alim dari pada yang mendengarnya secara langsung. Bisa jadi seorang anak lebih pintar dari pada ayahnya. Bisa jadi santri lebih alim daripada kyainya. Seperti Abuya as-Sayyid Muhammad dikatakan sebagai “far’un faaqo ashlahu”, cabang yang lebih menjulang ketimbang batangnya. Maka seorang kyai jika memiliki santri lebih cerdas, semestinya bersyukur, bukan malah tidak mengakui kecerdasan santri itu yang lebih darinya. Namun santri juga harus rendah hati, seperti yang tercermin pada Syeikh Abdul Qodir al Jailany, suatu saat ada seorang yang menyebutnya lebih utama ketimbang Sahabat badui pada zaman Rasulullah. Namun justru ia menjawab, “ Justru sandalnya badui lebih baik ketimbang aku, sebab ia hidup langsung bersama Rasulullah”.

Bisa jadi ilmu yang di dengar oleh muballagh lebih menancap dari pada yang mendengarnya langsung. Seperti ketika seorang sami’ mendengar doa supaya mempermudah bayar hutang, ia mencatatnya kemudian ada orang yang bertanya tentang doa tersebut. Oleh karena muballagh yang mendengar dari sami pada saat itu sedang memiliki hutang pada akhirnya doa itu dihafalkan, diingat, dan diamalkan. Sehingga ia tidak pernah melupakan doa itu.

Seorang muballigh semestinya berusaha mengamalkan apa yang dia sampaikan. Jangan sampai antara perbuatan dengan perkataan bertolak belakang. Seperti kaum orientalis yang belajar Islam hanya sebagai bahan menyerang Islam, atau orang-orang yang belajar Islam hanya sebagai maklumat bukan mafahim yang terimplementasikan.

Menyampaikan demikian penting. Rasulullah menginginkan apa yang beliau sampaikan segera diterima oleh semua orang. Maka siapapun tertuntut untuk mengusahakan tabligh. Jika tidak, tidak mungkin Rasulullah bersabda: “Sampaikan dariku meskipun satu ayat”.

Orang-orang pada umumnya sebagai Nasyiruddakwah (penyebar dakwah). Dan orang yang memiliki ilmu dan amanah, yakni para ulama sebagai Hamiluddakwah (pengemban dakwah). Ada pihak sebagai kyai ceret, mentransfer ilmu yang baru ia dapatkan. Ada kyai sumur yang ilmunya terus menyumber. Mereka sebagai penanggung jawab, jika saja mereka menyimpan ilmu yang mereka miliki, mereka akan mendapatkan kendali dari api neraka pada hari kiamat.

Menyampaikan ilmu kepada obyek dakwah tidak ada batas minimal. Meskipun kepada satu orang, hal itu lebih baik dari pada onta kemerah-merahan. Seperti yang disabdakan Rasul,La an yahdiyalloh bika rojulan wahidan khoirun laka min humurin na’am. Sungguh Allah ta’ala memberikan hidayah melalui dirimu kepada seorang saja itu lebih baik bagimu dari pada onta kemerah-merahan.

Dakwah merupakan pekerjaan para Nabi, sementara Nabi merupakan orang-orang pilihan. Maka menggeluti pekerjaan para Nabi merupakan tugas penerus orang-orang pilihan. Nabi adalah manusia termulia maka pekerjaan para Nabi adalah pekerjaan paling mulia. Sebab kenabian lebih dari sekedar harta benda, status sosial, dan bahkan kedudukan raja. Sehingga seorang dai tidak perlu khawatir akan masalah rizqi. Allah ta’ala yang akan menjamin rizqi mereka. Jika ada banyak orang sangsi atas hal ini, bukankah yang Maha membagi rizqi adalah Allah ta’ala, bukan mereka. Meski memang dalam masalah rizqi, setiap orang tiada sama. Ada yang diberi banyak ada yang sedikit. Ada yang hanya memiliki sepeda motor, ada yang memiliki mobil. Akan tetapi dalam sisi kekayaan hati semua dai akan mendapatkannya.

Akhir catatan, Jadilah corong-corong Rasulillah shallallahu alaihi wasallam!!!.

Jalaul Afkar Hadits ke-25
Semoga bermanfaat
Mohon maaf jika ada salah.

Selasa, 22 Maret 2016

TETAMU YANG MEMBAWA BERKAH

Iman memiliki sekian banyak cabang. Salah satunya adalah memulyakan tamu. Ikromudloif min syuabil iman. Kita mengenal seorang Nabi yang pada akhirnya mendapat predikat sebagai kholilullah (kekasih Allah). Sebab ia adalah seorang Nabi yang amat gemar melayani tamu. Bahkan ia rela untuk berjalan sekian mil untuk mencari orang yang mau menjadi tamunya. Ialah Nabi Ibrahim. Seorang Nabi yang semestinya kita jadikan teladan dalam masalah menghormati tamu.

Kedatangan tamu padahal biasanya demikian membuat repot. Repot waktu, tenaga, dll. Apalagi jika tamu itu harus menginap. Sementara kita tahu bahwa sifat dasar manusia pada umumnya tidak suka direpoti. Namun jika kita mau untuk direpoti, maka kita termasuk orang yang berhasil mengamalkan ayat “wa ahsin kama ahsanallahu ilaik”. Dan berbuat baiklah seperti Allah telah berbuat baik kepadamu. Sebuah cara mensyukuri nikmat yang diberikan Allah. Dan jika kita mau amati, diantara sekian cabang-cabang iman yang jumlahnya tujuhpuluhan itu, berbuat baik kepada orang lain (al-ihsan ilal ghoir) dalam berbagai bentuknya merupakan cabang iman yang paling banyak.

Dalam memulyakan tamu yang paling penting adalah dengan tholaqotul wajhi, berwajah cerah dan ceria. Dengan perkataan yang menyenangkan. Menyuguhkan suguhan kepada tamu. Dan juga berusaha menyenangkan tamu. Tentu saja memulyakan tamu tetap dengan kadar kemampuan. Entah apa yang kita punya semestinya kita suguhkan kepada tamu. Dan jika saja tamu yang bertandang itu adalah tamu yang banyak menghabiskan makanan maka kita tidak perlu ada perasaan menyesal dalam menemuinya.

Menjadi seorang kyai harus pintar dalam memulyakan tamu. Jika dulu ketika masih santri kita belajar mati-matian sampai punggung putus. Maka dikala telah menjadi kyai, kita juga mesti berusaha menebar manfaat dan berkhidmah kepada ummat sampai punggung putus. Kapan saja ummat membutuhkan, pada saat itu kita siap. Entah berapa orang saja ditiap hari silaturrahim dan bertamu di rumah kita, kita mesti melayaninya semampu kita. Lamma kunta tholiban qushima zhohruk wa lamma kunta aliman qushima zhohruk.

Seseorang ada yang suka mendapatkan tamu ada juga yang tidak. Tapi pada prinsipnya, tamu membawa rizqi, baik secara fisik ataupun non fisik. Allah ta’ala siap mengganti apa yang kita keluarkan untuk memulyakan tamu. Sehingga hidup kita akan ringan, lancar dan berkah. Ini bisa kita dapatkan dengan kesediaan di repoti oleh orang lain.

Setelah bertamu, si tamu semestinya berdoa minimal dengan akromakumulloh, atau yang lebih panjang yakni doa: akala tho’amakumul Abror wa shollat alaikumul malaikatul akhyar. dan semestinya doa seperti ini dibudayakan.

Orang jawa memiliki karakter sungkan sehingga dalam bertamu mesti harus di persilahkan dulu berkali-kali. Padahal tanpa dipersilahkan kita sudah boleh untuk memakannya.

Termasuk dari cara menyenangkan tamu adalah mengantarkan tamu sampai ke pintu atau kalau perlu sampai ke pagar.

Dalam percakapan dalam menemuinya, kita harus memastikan bahwa apa yang akan dibicarakan ada manfaatnya. Maka perlu dipikirkan terlebih dahulu apakah pembicaraan kita berfaedah atau sia sia, menyenangkan atau justru menyakitkan. Man hasiba kalamahu min amalih, qolla kalamuhu illa fima ya’nih. Maka kita harus berusaha menyadari bahwa apa yang kita ucapkan adalah amal kita. Sehingga kita bisa lebih menjaga apa yang kita ucapkan.

Dan kita mengerti bahwa jenis lisan demikian beragam, ada yang hanya bisa bicara ya dan tidak, ada yang banyak bicara tanpa memberikan kesempatan bicara pada orang lain, dan ada pula yang bicara dan mendengarkan dalam porsi yang sama. Maka menemui tamu mesti kita yang harus pandai menyesuaikan. Jika tamu banyak bicara, maka bagaimana kita menjadi pendengar yang baik. Dan jika tamu tak banyak bicara, bagaimana membuatnya tetap merasa enjoy, tidak merasa sungkan.

Wallahu yatawallal jami'a biriayatih.
24 Feb 2016
Semoga bermanfaat

SANG CENDEKIA, SAHABAT IBNU ABBAS

Ketika turun surat An Nashr banyak orang merasa gembira sebab Allah memberikan berita akan hadirnya sebuah kemenangan yang diidam-idamkan. Setelah sekian banyak peperangan dan segala macam ujian yang dilalui, setelah sekian perjuangan terus saja dikobarkan, setelah demikian banyak pengorbanan dikerahkan oleh para sahabat. Maka pantas saja, demi mendengar berita ini, mereka demikian gembira.

Namun tidak dengan yang dialami oleh Sayyidina Abu Bakar dan Umar. Sayyiduna Abu Bakar selepas mendengar ayat ini, justru ia menangis sesenggukan. Sayyidina Umar juga tidak menerima ayat itu dengan pemahaman pada umunya begitu saja. Justru ia mencari seorang anak kecil yang memiliki kecerdasan luar biasa dalam memahami ayat, yang biasanya memiliki pengertian yang sama sekali berbeda dengan apa yang dipahami oleh sahabat pada umumnya. Ialah Sayyidina Abbas. Seorang anak kecil yang pada usia 15 tahun sudah diangkat sebagai seorang mufti. Seorang anak kecil yang pada akhirnya mendapatkan predikat dari Rasulullah sebagai Tarjumanul Qur’an.

Maka Sayyidina Umar bin Khottob berangkat hendak mendekatkan dirinya kepada Ibnu Abbas. Akan tetapi mendengar kabar akan berangkatnya Sayyidina Umar, Sayyidina Abdurrahman bin Auf menawarkan “Kalau cuma anak kecil saja, kami juga punya banyak anak yang seperti dia”. Sayyidina Umar menjawab: “Sungguh ia adalah seorang Ibnu Abbas seperti yang telah kau tahu keilmuannya”

Akhirnya Sayyidina Umar mendatangi Sayyidina Ibnu Abbas, menanyakan tentang makna ayat itu, idza ja’a Nashrullohi wal fath. Sayyidina Ibnu Abbas menjawab, “Ayat ini adalah sebuah isyarat akan tibanya ajal kewafatan Rasulillah yang diberitahukan secara langsung oleh Allah kepada Rasulullah”. Sayyidina Umar berkata, “ Aku tiada memahami ayat ini kecuali persis seperti apa yang kau pahami”. Sebab kalau kemenangan telah diraih umat Islam, berarti tugas Rasulullah selesai. Sehingga berarti pula Rasulullah akan segera dikembalikan kepada Allah.

Ibnu Abbas, seorang anak yang padahal masih berusia belasan tahun. Namun ia memiliki pehamaman yang demikian luar biasa tentang ayat-ayat al-Qur’an. Sebuah bukti dari dikabulkannya sebuah doa yang pernah dipanjatkan Rasulullah untuknya semenjak bayi. Allahumma faqqihhu fiddin wa ‘allimhutta’wil. Ya Allah faqihkan Ibnu Abbas dan agama dan alimkan dalam penakwilan (interpretasi). Pada akhirnya Ibnu Abbas menjadi seseorang sahabat yang semenjak kecil demikian cerdas. Seorang yang semenjak kecil yang amat pandai menafsirkan makna al-Qur’an.

Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah, ada sebuah kitab yang mengatasnamakan Ibnu Abbas. Padahal bukan merupakan kitab yang bersumber darinya. Sebuah kitab yang bernama Tanwirul miqbas fi tafsiri Ibni Abbas. Di kala salah seorang santri Abuya al Maliki terlanjur membeli kitab tersebut, tanpa banyak komentar Abuya justru menyuruh untuk membakarnya.

Penafsiran yang dinyatakan Ibnu Abbas, dalam menafsiri Surat An-Nashr itu. semestinya bukan sebuah penafsiran yang diperoleh hanya mengandalkan akal pikiran semata, tapi lebih dari itu bahwa hal itu lebih bersumber dari bashiroh. Seperti yang dipahami pula oleh Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar.
Ibnu Abbas adalah seorang anak kecil yang memiliki najabah, yakni sebuah kecerdasan disertai kedewasaan. Betapa senang orang tua yang memiliki anak kecil yang memiliki karakter Najabah, cerdas dan dewasa. Tidak sekedar cerdas semata, namun di dukung pula oleh kedewasaan.

Kalau hanya cerdas saja istilahnya adalah ‘uromah. Seorang yang memiliki anak berkarakter ‘uromah seharusnya ia tidak banyak melarangnya. Yang perlu dilakukan adalah membatasi tidak melarang. Yang penting apa yang ia lakukan tidak membahayakan tidak masalah. Sebab anak kecil yang memiliki ‘Uromah biasanya setelah dewasa akal pikirannya akan bertambah cerdas. Uromatusshoby fi shighorih ziyadatun fi aqlihi fi kibarih. Disamping itu, orang tua juga mesti sabar dengan seorang anak yang cerdas, uromah. Sebab biasanya mereka sering menggoda.

Sebuah doa yang mesti diistiqomahkan orang tua agar mendapatkan seorang anak idaman adalah, Allahummarzuq lahum assholaha wannajaabata waddzaka’a wa hifzhoka lahum fih. Ya Allah rizqikan bagi mereka (anak-anak kami) keshalehan, kecerdasan disertai kedewasaan, kecerdasan yang lain, serta penjagaan-Mu bagi mereka dalam hal itu.

Dibalik keberadaan berumah tangga ada hubungan erat dengan populasi manusia. Dari semula hanya Nabi Adam dan Hawa, sampai hari ini populasi manusia berjumlah 7 miliyar. Seorang istri semestinya tidak perlu merasa gundah dengan kehamilan yang ia jalani. Ia harus selalu optimis dalam menjalaninya. Karena dari semenjak awal, yang membuat berhasil proses pembuahan, kemudian menjadikannya segumpal darah lalu segumpal daging dan pada akhirnya berwujud utuh sebagai seorang bayi kecil adalah Allah subhanahu wata'ala. Maka dalam hal bagaimana kemudian melahirkannya, Allah ta'ala yang akan memudahkannya.

{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ (189) فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلا لَهُ شُرَكَاءَ فِيمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللَّهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ (190) }

Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah —Tuhannya— seraya berkata, "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah termasuk orang-orang yang bersyukur." Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang saleh, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah dianugerahkan Allah kepada keduanya itu. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al A'rof ayat 189-190)

Penantian selama 9 bulan semestinya dibuat untuk memperbanyak doa-doa, seperti doa-doa yang ma’tsur dari Al-Qur’an, tabarukan dengan al-Qur’an, dengan redaksi al-Qur’an:

Robbi Habli minassholihin. Ya Tuhanku, Anugerahkan padaku anak yang shaleh.
Lain ataitana sholihan lanakunanna minassyakirin. Jika saja Engkau hadirkan untukku anak yang shaleh pastilah aku akan menjadi hamba yang bersyukur.
Hamlan khofifan famarrot bih. Kandungan yang ringan dan teruslah ia merasa seperti itu.
Akhir-akhir kehamilan memperbanyak doa: Tsummassabila yassaroh

Juga seperti banyak yang dilakukan oleh orang-orang yakni dengan meletakkan kitab al-muwattho’ di ibu yang hamil dengan sebelumnya membaca alfatihah untuk Imam Malik.
Dan ketika istri sedang proses melahirkan, seorang suami yang menemaninya memperbanyak membaca doa:
Hannah waladat Maryam Maryam waladat Isa Ukhruj Ayyuhal Maulud biqudrotil Malikil Ma’bud, Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad Sahhil wayassir maa ta’assar.

Semoga kita dianugerahi anak-anak yang shaleh shalehah. Menjadi anak yang cerdas dan dewasa layaknya sahabat Ibnu Abbas. Allahumma faqqihna wa awladana fiddin wa allimna wa awladana atta'wil. aamiin.

SEKELUMIT TENTANG MARRIED JILID 2

Rasulullah pernah ditolak mentah-mentah oleh seorang wanita yang dikenal dengan Imroatul Jaun. Padahal Rasulullah seringkali didatangi banyak wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah, tapi Rasulullah menolaknya.

Perjodohan memang tiada akan pernah lepas dari tadbir Allah subhanahu wata’ala. Meski memang harus disertai dengan usaha, tidak hanya dengan berdiam diri. Allah ta’ala menentukan sesuatu setelah kita berusaha, meski ending semuanya adalah hak Allah.

Jika gagal maka tidak semestinya kita kecewa, menyesal. Sebab kekecewaan dan penyesalan adalah sebuah bentuk protes kepada Allah. Ana urid anta turid wallahu fa’alun lima yurid. Aku ingin kau pun ingin, adalah Allah zat yang Maha melakukan apa yang Ia inginkan. Masya Allah kana wama lam yasya’ lam yakun. Apa yang dikehendaki Allah maka ada dan apa yang tak dikehendaki-Nya takkan pernah ada. Semuanya adalah dengan kekuatan Allah, jika berhasil maka semata adalah dari Allah. Kita hanya sekedar berusaha. Maka ucapkan Masya Allah la quwwata illa billah. Jika itu gagal maka ucapkan saja La quwwata illa billah. Untuk menepis ungkapan mengeluh yang seringkali keluar dikala kita gagal.

Seorang wali yang memiliki putri maka semestinya berusaha mencari seorang calon suami bagi putrinya tadi. Jangan hanya modal menunggu taqdir tanpa upaya apapun. Ada pihak yang mencari (tholib) ada pihak yang dicari (mathlub). Usaha mencari bisa jadi secara langsung oleh walinya, atau melalui teman, atau kyai tertentu yang dipasrahi untuk mencarikan. Sehingga tidak ada istilah diam bagi wali pihak perempuan. Tidak perlu merasa risih dengan anggapan masyarakat yang miring tentang pihak wanita yang menawarkan anaknya.

Akad ibarat jual beli maka telitilah sebelum membeli. Takhoyyaru linuthofikum. Bagaimana kita memilih dan memilah dalam urusan spermamu. Tunkahu al ma’artu li arbain, limaliha, walijamaliha, walihasabiha, walidiniha. Fazhfar bidzatiddin taribat yadak. Empat hal inilah yang menjadi tolak ukur seorang dalam mencari pendamping hidup. Ada yang mempertimbangkan harta bendanya, ada yang memilih mengedepankan parasnya. Ada yang memilih lebih kepada nasabnya dan ada juga lebih mempertimbangkan sisi agamanya. Untuk tiga yang pertama hukumnya menurut fiqh mubah, namun yang keempat adalah sebuah kewajiban.al Ashlu fil amri alwujub. Bagaimana seseorang harus memandang sisi agamanya. Memilih wanita yang punya keimanan. Agar seseorang bisa merasakan hikmah dalam pernikahan yakni masuk surga bersama pasangan kita. Meskipun semua itu tetap sesuai dengan tadbir Allah.

Seorang butuh untuk berusaha memilah dan memilih agar terhindar dari ujian. Jika datang kepada kita orang yang kita cintai selepas kita cek dan ricek ilmu agama, akhlaq, dan aplikasi keilmuan yang ia miliki. Tidak sekedar santri namun tidak mengaplikasikan ilmunya, hanya menjadikannya sebagai maklumat belaka. Maka langsung saja kita nikahi . Jika tidak, yakni jika kita tak mau memperhatikan masalah agamanya, maka di bumi akan marak fitnah dan kerusakan yang besar.

Bagaimana hidup bisa tenang jika kita hanya memilih sisi harta bendanya yang banyak. Padahal sekejap saja harta benda itu akan lenyap. Kecantikan dan ketampanan juga pada saatnya akan rusak. Pangkat dan status sosial juga akan demikian mudah untuk hilang. Maka yang lebih langgeng adalah hanya sisi agamisnya semata. Sehingga sampai kapanpun seorang suami istri dengan sebab agamanya bisa terus langgeng dalam cinta dan kasih sayang. Sampai bahkan kematian juga tiada akan bisa memisahkan pasangan. Sebab akan kembali dipertemukan kelak di surga.

Memilah dan memilih kemudian Istikhoroh. Agar bisa diproses lebih lanjut. Namun bukan berarti jika istikhorohnya baik mesti kemudian menjadi pendampingnya. Selepas seseorang berusaha. Maka yang mempertemukan keduanya dalam pelaminan adalah Allah ta’ala. Rasulullah sendiri juga tiada bisa menentukan seorang pendampingnya. Beliau hanya berusaha menemui wanita itu. Namun selepas bertemu, wanita itu justru menundukkan kepalanya dan berucap kasar: “ Aku mohon perlindungan kepada Allah darimu!”.

Meskipun mengharuskan gagal sampai berkali-kali, maka kita semestinya tiada pernah kecewa. Sebab kita hidup kadang telah menemukan sebuah pencapaian tapi pada suatu saat kita kembali memulainya dari nol. Kita hanya diminta Allah untuk berusaha yang terbaik. Selebihnya semestinya kita besarkan kepasrahan kita, serta positif berfikir kita terhadap apapun kehendak Allah ta’ala.

Wallahu ta’ala a’lam
Semoga bermanfaat

Rabu, 16 Maret 2016

NIKMAT DUA YANG AMAT BERHARGA

Semuanya sebenarnya telah “cumepak” demi untuk memuliakan manusia, maka jika kita hendak menghitung nikmat Allah, kita tiada akan bisa menghinggakannya. Namun manusia seperti yang di mengerti, mereka seringkali mengzhalimi diri dan ingkar terhadap nikmat Allah. Seperti yang telah di firmankan oleh Allah ta’ala dalam surat Ibrahim ayat 34 yang artinya:

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah). “ (QS. Ibrahim: 34)

Manusia dalam penciptaannya demikian sempurna dan disempurnakan oleh Allah. Namun tidak semua manusia dikala hendak makan mengucapkan basmalah dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah. Tidak semuanya pula orang yang hendak keluar rumah merapalkan doa, bismillah tawakkaltu alallah. Tidak semuanya yang akan tidur membaca doa sebelum tidur dan selepas tidur mengungkapkannya dengan membaca doa selepas tidur. Tidak semua orang mengawali semua aktivitas dengan basmalah dan mengakhirinya dengan hamdalah. Sehungga dalam ayat diatas manusia disebut sebagai pihak yang seringkali zhalim dan ingkar. Artinya manusia seringkali tidak bisa menjadi sosok yang bersyukur.

Bersyukur paling tidak diungkapkan dengan menjalankan shalat. Sebab jika semua nikmat yang kita rasakan jika saja kita ungkapkan seluruh kesyukuran lewat lisan, kita tiada akan pernah sanggup. Sebab nafas, aliran darah, seluruh organ tubuh yang tiap detik berjalan normal sebenarnya perlu kita syukuri. Seperti ketika seseorang diberi sesuatu oleh orang lain, hendaknya ia berterimakasih dengan orang itu. Tapi Allah mencukupkan ungkapan syukur itu dengan hanya menjalankan sholat fardlu lima kali sehari. Dengan hanya sholat kita sudah cukup disebut sebagai hamba yang pandai bersyukur.

Ada banyak hal yang tiada bisa di nalar memakai akal, seperti istilah nikmat dan rahmat. Nikmat dipahami sebagai kondisi apa saja yang dinilai baik. Sehingga membuat kita mau mengungkapkannya dengan ungkapan Alhamdulillah, Subhanallah, atau Masya Allah. Ini sebuah term nikmat dalam level hal, yakni secara umum yang dimiliki manusia.
Tapi ada juga yang memahami nikmat sebagai sebuah kemanfaatan yang mengalir kepada orang lain dalam sisi memberikan kebaikan. Seseorang sebenarnya jika dilihat secara lahiriah ia sebenarnya merugi tapi ia merasa senang jika mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Ia akan merasa tentram dikala ia berhasil memberikan sesuatu kepada orang lain, berhasil menyenangkan orang lain. Justru dikala ia tiada bisa melakukannya, ia merasa demikian merugi, bahkan seolah ia punya beban. Ini yang merupakan pemahaman nikmat dalam level maqam. Dan makna nikmat seperti ini tiada dimiliki semua orang. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman nikmat seperti ini. Seperti yang Abuya pernah ungkapkan, “Nafsi wa nafasi wa nafisi fil ilm”, jiwa nafas dan harta bendaku untuk ilmu. Hanya orang tertentu yang mampu melakukannya. Bahkan dalam level yang lebih tinggi, seseorang dengan ujian atau musibahnya, ia bisa menganggapnya bukan sebagai sebuah ujian tapi justru sebagai sebuah nikmat. Seperti yang dirasakan oleh para Nabi.

Ada seorang hamba Allah yang membuka dapur 24 jam untuk tamu. Siapa saja tamu yang datang, bisa dipastikan ia akan makan. Seperti yang dilakukan oleh Kyai Abdul Majid Besuki. Ia selalu membuka dapurnya 24 jam. pekerja dapurnya yang berjumlah 14 orang selalu stand by menyiapkan hidangan untuk para tamu. Ia adalah seorang “kyai sembur” yang ratusan tamu datang pergi tiap hari, yang seluruh santrinya tidak ada yang dipungut biaya. Masyarakat percaya bahwa ia adalah sosok kyai yang doanya manjur. Ratusan tamu yang datang langsung dipersilahkan makan, kemudian kumpul dimasjid. Beliau tidak mendoakan tamu satu-satu. Namun cukup dengan doa antiknya: “ Allah setong, Nabi setong, Ka’bah setong, Kabul hajate, alfatihah.”.

Seseorang yang tidak disibukkan pekerjaan. semestinya ia mengisinya untuk melakukan sebuah aktivitas yang menjadi latar belakang penciptaannya, yakni ibadah dengan sebaik-baiknya. Bagaimana kita mengerti bahwa waktu semestinya dikejar, bagaimana kesempatan semestinya dimanfaatkan. Sehingga ia tak akan merasa merugi setelahnya, tdak akan menyesal selepas waktu lenyap begitu saja.

Al Waqtu kassaif, in lam taqtho’hu qothoaka, waktu ibarat pedang yang sedang kita pakai dikala perang. Jika kita tidak memakai pedang itu untuk menghantam musuh kita, musuh kita yang akan memotong leher kita.

Dua orang yang tiada akan pernah puas, pencari ilmu dan pencari dunia. Maka pantas saja jika ada sebuah ungkapan, “waktu adalah uang”. Atau bagi pencari ilmu, “waktu adalah ilmu”. Dua orang itu tidak akan rela jika waktunya terbuang percuma tanpa menghasilkan apa mereka cari.

Sebagai pencari ilmu, jangan pernah malas-malasan dalam mencari ilmu, mumpung seseorang masih di usia muda. Semestinya kita kejar ilmu itu sampai dimana saja. Jangan hanya punya impian-impian kosong yang tidak didukung dengan aksi dan usaha nyata.
Seorang muslim sebagai pekerja semestinya memiliki etos kerja yang tinggi. Ia tidak boleh menjadi seorang pengangguran. Dengan didukung niat yang benar. Sehingga bisa dianggap seluruh usahanya bernilai ibadah. Berusaha menyenangkan anak istri. Berusaha mengaplikasikan sebentuk ibadah kasih sayang terhadap keluarga. Jangan lupa bahwa kita juga punya bagian dunia yang bisa kita ambil.

Seorang muslim ibarat pedagang. Sementara sehat dan waktu luang adalah modal. Dengan sehat semuanya akan lancar, sementara dengan waktu luang kita bisa mengejar. Sehingga kita bisa memeroleh laba dengan dua modal besar itu. Sementara jika kita malah rela menjalin bisnis dengan setan, kita harus rela untuk mengalami kerugian yang besar.

Seseorang yang berhasil menggunakan dua kenikmatan yang banyak dilalaikan banyak orang ini disebut sebagai ‘rojulun muwaffaq”, lelaki yang mendapatkan taufiq. Ada santri yang berhasil menggunakannya dengan maksimal, sehingga ia sukses dalam pencarian ilmu. Menjadi seorang yang hobi membaca dimanapun ia berada. Namun ada juga santri yang amat enggan memanfaatkan dua nikmat itu, dan ia amat tidak suka membaca. Sehingga bertahun-tahun di pesantren ia tetap dalam kebodohannya.

Orang yang rela membuang waktu percuma, memakainya tanpa menghasilkan faidah, memakainya hanya untuk main-main. Maka amat identik dengan dunia anak-anak. Karena membuang waktu percuma seharusnya hanya dimiliki oleh seseorang pada waktu kanak-kanak. Apalagi jika sampai waktu luang justru dijadikan sebagai sebuah pekerjaan. Akan berdampak demikian besar dalam menghancurkan diri kita. Maka kita harus menggunakan waktu luang dengan semestinya.

Rebutlah lima peluang sebelum datangnya lima hambatan. Hayataka qobla mautika, mumpung masih hidup sebelum mati. Syababaka qobla haramika. Mumpung masih muda , sebelum tua. Shihhataka qobla saqamika. Mumpung masih sehat, sebelum sakit. Ghinaka qobla faqrika. Mumpung masih punya, masih kaya, sebelum miskin. Sa`atika qobla dloiqika. Mumpung masih punya kelapangan , belum terhimpit kesempitan.

Namun, meskipun demikian. Manusia juga tidak boleh sampai terforsir. Ada hak yang dimiliki oleh fisik yang semestinya dipenuhi. Kadang seseorang juga butuh “ngelencer”, sehingga bisa mengembalikan kondisi badan dan pikiran menjadi fit kembali. Sa’atan Nafsak Sa’atan Robbak. Sesaat untuk dirimu sesaat untuk Tuhanmu. Rasulullah sendiri juga kadang melakukan rekreasi dengan para sahabat, bepergian kesebuah tempat dengan membawa seekor kambing. Membagi tugas kepada semua sahabat dan diri beliau untuk mengurus kambing untuk makan bersama.

Akhir catatan, semoga kita bisa menjadi hamba Allah yang pandai memanfaatkan nikmat yang demikian banyak dari Allah. Terlebih nikmat sehat dan waktu luang. Menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur. Allahumma aamiin.

Ngaji Pagi, 17 Maret 2016
Jalaul Afkar, bab Maghbun.
Semoga bermanfaat.

Senin, 14 Maret 2016

MEMAKNAI SEBUAH MIMPI

Suatu saat, dikala masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni di tahun ke 9 hijriyah, Musailamah al Kadzab tiba di Madinah dari Yamamah Yaman. Lantas ia memulai untuk bicara: “Jika Muhammad menjadikan urusan kenabian dan khilafah setelahnya untukku maka aku akan mengikutinya”. Ia tiba di Madinah dengan membawa banyak orang yang merupakan kaum pengikutnya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjemputnya bersama Tsabit bin Qaiys bin Syammas, dan digenggaman tangan Rasulullah ada sepotong pelepah kurma sampai Rasulullah berada dihadapan Musailamah dan kaumnya lalu ia bersabda: “ Kalau saja kau minta dariku sepotong pelepah kurma ini, aku tak akan memberikannya kepadamu, dan kau takkan melampaui hukum Allah. Sungguh jika kau enggan menaatiku Allah ta’ala akan membunuhmu dan sungguh aku telah melihat apa yang diperlihatkan Allah padaku di dalam mimpi. Lantas Abu Hurairah menceritakan apa yang dilihat Rasulullah didalam mimpi. Rasulullah bersabda: “ Dikala aku tidur, aku melihat di tanganku ada dua gelang emas, hal itu menyusahkanku, (sebab emas adalah perhiasan wanita yang terlarang untuk laki-laki.red). Kemudian diwahyukan kepadaku. “Tiuplah dua gelang emas itu!” Maka aku meniupnya sehingga keduanya terbang. Aku tafsiri mimpi itu, bahwa dua gelang emas itu merupakan dua orang pendusta yang akan muncul selepasku. Satu bernama al Ansiy dan Satunya lagi bernama Musailamah al Kadzab”.

Cerita di atas berbicara mengenai seorang Nabi palsu yang muncul pada masa Rasulullah. Ia bernama Musailamah al Kadzab, seorang penduduk Yamamah Yaman yang tanpa tedeng aling-aling berani mengklaim diri sebagai Nabi, bahkan sampai dikala sowan menghadap Rasulullah. Namun kedatangannya justru mendapatkan respon dari Rasulullah. Rasulullah sendiri justru yang menjemput rombongannya bersama seorang sahabatnya yakni Tsabit bin Qays. Sebuah cara dakwah yang diterapkan Rasul. Sebab dakwah adalah mengambil simpati, dakwah adalah mendekati obyek dakwah bukan malah menjauhi. Namun sikap Rasulullah tidak sama sekali ditanggapi positif oleh Musailamah, justru ia berani secara terus terang mau mengikut Rasul hanya jika ia yang akan menjadi pengganti kenabian dan kekhalifahan pasca Rasul. Maka Rasulullah dengan tegas menyabdakan bahwa, bahkan hanya sepotong pelepah kurma yang ada di genggaman beliau saja takkan pernah beliau berikan jika akan ia memintanya, apalagi masalah kenabian dan kekhilafahan.

Rasulullah sebelumnya juga telah bermimpi tentang sebuah hal yang ia tafsiri sebagai kemunculan dua Nabi palsu suatu saat, yang ternyata satu bernama al Ansiy. Seorang warga Sana’a Yaman yang memiliki nama asli ‘Ablah bin Ka’ab. Seorang yang hobi memakai tudung kepala. Dan satu lagi bernama Musailamah al Kadzab yang merupakan warga Yamamah Yaman. Pada akhirnya kedua Nabi palsu itu berhasil dilenyapkan. Al Ansiy berhasil dibunuh di masa Rasulullah oleh seorang sahabat Nabi yang bernama Fairuz, sementara Musailamah al Kadzab berhasil dibunuh pada masa Sayyidina Abu Bakar oleh Pembunuh Sayyidina Hamzah bin Abdul Muthollib yang bernama Wahsyi. Meskipun ia membunuh Sayyidina Hamzah, namun pada akhirnya Wahsyi mau bertaubat dan masuk Islam. Keislaman Wahsyi diterima Rasulullah dengan sebuah syarat, yakni ia tidak boleh lagi memperlihatkan wajahnya dihadapan Rasulullah. Sebab hal itu akan mengingatkan Rasulullah kepada Sayyidina Hamzah pamannya, yang dibunuh oleh Wahsyi dengan demikian kejam. Banyak dari anggota tubuh Sayyidina Hamzah yang dirobek, mata hidung telinga dan bahkan jantungnya dirobek oleh Wahsyi. Hanya gara-gara motif ingin dimerdekakan. Akhirnya selepas Islam, ia memiliki tekad kuat untuk menebus kesalahan besarnya membunuh Sayyidina Hamzah. Ia bertekad membunuh manusia terburuk kala itu yakni Musailamah al Kadzab yang mengklaim diri sebagai Nabi. Dan singkat cerita ia berhasil membunuh manusia terburuk itu. Sampai ia berkata: Kala Jahiliyah, aku membunuh manusia terbaik, Sayyidina Hamzah, dan akhirnya kala telah Islam, aku membunuh manusia terburuk, Musailamah al Kadzab.

Mimpi adalah sebuah hal yang kita alami dikala kita tidur. Ada yang hanya menjadi bunga tidur, ada pula yang merupakan sebuah kabar gembira atau peringatan akan sebuah hal. Mimpi yang di alami oleh para Nabi sendiri, bukan merupakan mimpi yang tak memiliki makna. Justru mimpi para Nabi adalah sebuah wahyu yang diwahyukan dari Allah ta’ala.

Rasulullah bermimpi tentang Nabi palsu yang akan hadir. Mimpi Rasulullah bukan sebuah mimpi yang menakutkan, akan tetapi justru Rasulullah bermimpi memakai dua gelang emas. Maka menafsirkan mimpi tidak bisa serta merta dimaknai secara lugas. Namun mesti memiliki patokan yang jelas berdasarkan hadits-hadits tentang mimpi dan tafsirnya dari Rasulullah, atau berdasarkan kitab rujukan yang terpercaya seperti kitab tafsir mimpinya Ibnu Sirin. Bukan dimaknai memakai kitab primbon.

Penafsiran mimpi dikala kita mendapatkan kotoran semisal, ternyata kita akan mendapat harta benda. Orang yang bertemu orang tua yang meninggal dalam kondisi menangis, justru adalah sebaliknya. Melihat seorang guru yang berjalan terseok, justru berarti kita sendiri yang pada hakikatnya terseok.

Pada kesempatan lain Rasulullah juga pernah bermimpi kala ia sedang tidur, ia hijrah dari Makkah menuju sebuah daerah yang disana terdapat pohon kurma, ia menduga bahwa daerah itu adalah Yamamah, atau hajar, ternyata daerah itu adalah Madinah Yatsrib. Dan di mimpi Rasulullah itu, Rasul menghunus pedangnya, ia melihat pedangnya patah bagian ujungnya, ternyata maknanya adalah sebuah ujian yang dialami oleh kaum muslimin pada perang Uhud. Kemudian ia menghunus pedang itu lagi, pedang itu kembali utuh sedia kala, ternyata maknanya adalah apa yang didatangkan oleh Allah yakni Fathu Makkah dan terkumpulnya kaum Muslimin. Rasul juga melihat seekor sapi yang sedang disembelih maka sikap Allah terhadap orang yang terbunuh lebih baik bagi mereka. Ternyata itu berarti kaum Mukminin pada perang uhud. Ternyata itu berarti apa yang didatangkan Allah yakni sebuah kebaikan dan pahala yang sebenarnya yang didatangkan oleh Allah bagi kita selepas perang Badar.

Rasulullah demikian hebat dan ahli dalam memaknai sebuah mimpi. Seperti pula Nabi Yusuf yang juga ahli dalam masalah ini, bahkan Rasulullah dinilai lebih ahli daripada Nabi Yusuf. Maka belajar menafsirkan mimpi melalui mimpi-mimpi Rasulullah dan para sahabat barangkali sebuah aktivitas yang perlu kita usahakan.


15 Maret 2016

SEKELUMIT TENTANG MENIKAH

Suatu hari Rasulullah di tawari oleh seorang Sahabat untuk menikah dengan seorang wanita Arab, anak wanita al Jaun yang bernama Umroh, atau ada yang menyebutnya Asma’. Rasulullah menyuruh sahabat Abu Usaid untuk mengutus seseorang untuk memanggilnya. Wanita itu pun datang menemui Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Ia singgah di benteng Bani Saidah. Rasulullah keluar menghampirinya, Rasulpun masuk menemuinya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang menundukkan pandangan. Di kala Rasul mengajaknya bicara, dengan tanpa diduga ia justru mengucapkan sebuah hal yang demikian menusuk. “Aku berlindung kepada Allah darimu”. Mendengar apa yang ia katakan. Rasul menimpali, “Sungguh aku tinggalkan kau dariku”. Para sahabat yang ada disana berkomentar kepada si wanita. “Kau tak tahu, siapa lelaki yang ada dihadapanmu?”. “Tidak sama sekali” jawab ia. “Ini adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang kesini untuk meminangmu”. Wanita itu menjawab, “ Aku akan celaka jika ia sampai meminangku!” … ( al Hadits)

Sebuah kisah tentang ditolaknya lamaran Rasulullah oleh seorang wanita. Meskipun Rasulullah merupakan seorang Nabi, disatu kesempatan, Ia juga pernah mengalami penolakan dari wanita. Di kesempatan yang lain, banyak pula wanita yang memasrahkan dirinya kepada Rasul, namun Rasulullah menolaknya.

Rasulullah sepeninggal Sayyidah Khadijah, menikahi wanita-wanita yang mayoritas adalah janda tua. Barangkali wanita dalam kisah diatas menolak lamaran Rasulullah dikarenakan selisih usia yang terpaut jauh. Sehingga ia tidak berkenan menjadi istri Rasulullah. Ada seorang istri Rasul yang bernama Sayyidah Ummu Salamah. Kala ia dilamar Rasulullah, ia menyatakan sebuah hal kepada Rasul : “Ya Rasulallah, bukannya aku menolak, namun aku adalah seorang wanita yang sudah tua, banyak anak, dan juga pencemburu. Aku takut tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai istri”. Namun Rasulallah menjawab, “ Kalau masalah tua, aku juga sudah tua, adapun anakmu adalah juga anakku, Allah yang akan mencukupi kebutuhan anak-anakmu dan mengenai sifat pencemburu aku akan berdoa kepada Allah agar menghilangkan sifat itu”. Kemudian ia menerima lamaran itu.

Menikah adalah menggabungkan dua jenis manusia yang berbeda sama sekali, namun pada kenyataannya dua insan yang berbeda itu dipertemukan oleh Allah ta’ala. Ini adalah sebuah rahasia Allah. Sebab dalam pernikahan ada tadbir Allah yang berlaku, semua orang barangkali ingin mendapatkan pasangan dengan berbagai ragam kriteria yang ia inginkan. Seorang yang cantik ingin memiliki suami yang ganteng, yang pinter ingin ketemu yang pinter. Namun pada kenyataan yang terjadi tidak demikian. Ada yang tinggi ternyata dapat pendek, ada yang jelek justru dapat cantik. Maka yang menilai pasangan itu serasi bukan kita, melainkan Allah. Meski memang semestinya ada usaha yang kita lakukan, sampai dikenal adanya sebuah persyaratan kufu(sekualitas) dalam madzhab Syafi’i, meski menurut Madzhab Maliki masalah kufu dalam pernikahan bukan merupakan sebuah persyaratan.

Ada seorang pegawai KUA yang menikah dengan seorang wanita, ia bukanlah wanita yang berparas cantik. Namun setelah menikah ia rasakan bahwa kehidupannya sedikit demi sedikit membaik. Rizqi yang sebelum menikah demikian seret setelah menikah menjadi lancar. Namun, disuatu hari istrinya itu meninggal dunia. Sepeninggal istrinya ia memutuskan untuk mencari pendamping hidup yang lain. Ia pun menemukan seorang wanita yang demikian cantik. Ia menikahi wanita itu. Hidupnya demikian bahagia bersamanya. Namun, selepas itu ia rasakan bahwa kehidupannya semakin hari semakin ia rasakan sulit. Rizqi yang sebelumnya lancar berubah menjadi seret. Pada akhirnya ia berubah menjadi lelaki miskin, meski beristrikan wanita cantik jelita. Maka menikahi seseorang, jangan hanya dilihat parasnya saja. Kalau ia cantik, lihat juga ia tipe wanita yang glamor nan manja atau tidak.

Allah ta’ala telah merencanakan semuanya. Dari semenjak di alam ruh, seseorang telah dipertemukan dengan orang-orang. Kala di antara mereka timbul sebuah kecocokan, mereka akan akrab didunia. Ada yang menjadi pasangan suami istri. Sementara kala tiada cocok maka kala didunia akan mengalami pertentangan.

Seseorang terkadang diuji dengan hadirnya seorang pasangan. Seorang lelaki menikah ternyata dengan seorang wanita yang suka mengomel, maka jangan dilihat sisi ngomelnya tapi lihat ternyata dia punya sifat lain yang baik. Maka disaat mengomel, yang lebih baik adalah tidak perlu meladeni, cukup diam. Sehingga siapa tahu pada akhirnya sebab omelan istrinya, suami diangkat Allah sebagai wali, kekasihnya Allah. Meneladani apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar terhadap istrinya. Kadang seorang wanita juga menemukan suami yang menjadi ujian baginya. Suami yang memiliki karakter pemarah dan ringan tangan. Maka bersabar adalah sebuah jalan yang mesti diusahakan. Barangkali dengan modal itu ia bisa menjadi seorang waliyah disisi Allah.

Istri ada yang bahkan menjadi musuh suami, seperti yang dialami sendiri oleh Nabi Luth yang memiliki istri yang justru menjadi batu sandungan baginya. Dan sebaliknya suami juga ada yang merupakan musuh bagi sang istri, seperti yang terjadi pada Sayyidah Asiyah yang memiliki suami Firaun.

Dalam pernikahan, Allah ta’ala telah memberikan sebuah modal sakinah (ketenangan). Maka sepasang suami istri semestinya berusaha agar jangan sampai saling membenci hanya gara-gara adanya sebuah perbedaan sifat antara mereka. Karena jika kita telisik, di sisi lain pasti akan ditemukan banyak sifat yang cocok antar mereka. Jika tidak akan bisa dipastikan mereka berdua tidak akan sampai ke pelaminan. Meski setelah itu memang mengharuskan masing-masing pihak melakukan adaptasi, menyesuaikan dengan karakter kekasihnya. Sebab pernikahan adalah menggabungkan dua jenis insan yang sama sekali berbeda. Bagaimana mengelola modal sakinah dengan kasih sayang, mawaddah dan rahmah sehingga tercipta sebuah rumah tangga yang mampu menjalankan sebuah ibadah kasih sayang terbaik disisi Allah.

Sepasang suami istri pada akhirnya akan menjadi raja dan ratu kelak di surga. Yang pada saat itu, tiada lagi namanya iri dengki, tidak lagi ditemukan ghil antar mereka, yang ada hanyalah kasih sayang. Mereka mendiami rumah yang demikian luas kira-kira 90 km. Mereka juga ditemani oleh 70 bidadari yang siap melayani mereka berdua.

Proses mencari pasangan berbeda dengan mencari duit, melalui tadbir yang Allah tentukan. Seseorang membutuhkan sebuah proses yang perlu diusahakan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh Islam.

Kita mengenal sebuah semboyan Baiti jannati, rumahku adalah surgaku. Meski itu adalah sebuah hadits maudlu, redaksinya palsu. Namun memiliki kandungan maknanya benar. Bagaimana kita berusaha menjadikan suasana rumah tangga yang kita bangun layaknya disurga. Tidak ditemukan lagi pertengkaran, ghill, amarah antara anggota rumah tangga. Yang ada hanyalah kasih sayang. Sehingga bisa berusaha bersama-sama meraih ridlo Allah subhanahu wata’ala. Semoga kita bisa mengusahakannya. Amiin

CATATAN HATI TAKLIM PAGI BERSAMA ABI
SHAHIH MUSLIM, 14 Maret 2016
Semoga bermanfaat.

Jumat, 04 Maret 2016

Husnuzzhon Min Husnil Ibadah

Setiap hari kita berdoa selepas sholat, sebuah doa yang diajarkan Rasul untuk Sayyidina Muadz bin Jabal, sebuah bukti cinta Rasulullah kepadanya. Yakni doa, Allahumma ainni ala dzikrika wa syukrika wa husni ibadatik. Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah yang baik kepada-Mu.

Husnul ibadah adalah sebuah ibadah yang sesuai dengan aturannya, mengerti syarat, rukun adab-adab, agar sempurna ibadah yang kita lakukan. Tidak sekedar asal-asalan. Berusaha mengikhtiarkan sebuah ibadah yang memiliki nilai terbaik dimata Allah subhanahu wata’ala.

Kita mesti berusaha untuk terus husnuzzhon kepada orang-orang Muslim yang ahli berbuat baik, para wali Allah, orang-orang shaleh, dan ulama’-ulama’. Sebab para wali dan ulama sudah terkenal kebaikannya. Meski kita tiada kenal secara langsung dengan mereka, maka seharusnya kita tetap terus berprasangka baik kepada mereka. Jika mungkin ada pro kontra yang berkaitan dengan sosok itu, maka sebaiknya kita tidak perlu ikut campur kedalam, sebab pada akhirnya hanya akan memunculkan prasangka buruk kepada mereka.

Para walisongo yang memiliki jasa besar yang disumbangkan ditanah Jawa, membuat masyarakat berbondong-bondong berusaha mengenang dan membalas jasa dengan bentuk senangnya mereka berziarah di makam-makam para wali. Mereka langgeng dalam kebaikan, sehingga meski jasad telah terkubur tanah masih banyak doa-doa yang terpanjatkan, tsawab berkah dikais dan di pungut oleh banyak orang. Mereka memiliki posisi yang demikian mulya disisi Allah. Sampai jika ada seseorang menginginkan keburukan untuk mereka, Allah sendiri yang akan menghukum mereka, memerangi mereka. Allah mencintai mereka, maka kecintaan kita tiada akan benar-benar sejati sebelum kita seutuhnya mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah, seperti Rasulullah, keluarga, para sahabat, orang-orang shaleh, dan para ulama. Sebab mencintai seseorang berarti harus mencintai orang yang dicintainya. Seseorang yang berhusnuzzhon kepada muslim lain merupakan sebuah wujud ibadah, maka berarti husnuzzhon kepada orang terbaik adalah merupakan ibadah terbaik.

Kita juga mesti berprasangka baik kepada orang-orang Muslim secara umum. Jika didalamnya ada kelompok yang sesat, maka tugas kita adalah meluruskannya. Tidak kemudian berprasangka buruk begitu saja. Berkaitan dengan perbedaan pendapat ulama’, maka mesti dipahami bahwa hal itu adalah sebuah keluasan berfikir, tidak disikapi dengan kaku hingga memaksakan pendapatnya sendiri. Seperti terkait dengan azab kubur yang oleh sebagian kelompok dianggap tidak ada, sebab keterangan yang menyebutkan tentangnya hanyalah hadits ahad, , bukan dari al-Qur’an dan hadits mutawattir, yang menurut mereka tidak bisa dibuat dalil dalam masalah seurgen ghoybiyyat. Maka seperti ini tidak bisa serta merta kita menyematkan klaim kafir kepada mereka. Toh seorang muslim dengan kesalahan apapun, memiliki dosa besar kepada Allah sebesar apapun akan tetap mendapatkan kesempatan syafaat dari Rasulullah, mengentaskannya dari kobar api neraka. Sehingga kita semestinya terus berprasangka baik kepada mereka, tidak mudah mengklaim salah, menyatakan bid’ah, melabeli kafir, kepada orang-orang Muslim yang lain, yang hal ini menurut sebagian ulama juga termasuk husnul ibadah. Namun disisi lain, yang mengherankan adalah mengenai kelompok yang demikian lancar dan fasih hafalan al-Qur’annya, demikian pintar mengeluarkan dalil, tapi seringkali dikala bertemu dengan orang dari kelompok lain mencap salah dan bahkah kafir. Sebuah prasangka buruk yang demikian kejam dan tega yang di sematkan kepada kita. Padahal baik muqtashid, sabiq bil khoirot, atau zholim linafsih semuanya pada akhirnya akan dimasukkan ke surga oleh Allah subhanahu wata’ala.



"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang."(Q.S. Al-Hujurat [49]: 12)

Semestinya kita juga selalu berusaha mengedepankan prasangka baik kepada seluruh kaum muslimin, baik secara personal atau secara umum. Seorang kyai yang pada suatu saat minum memakai tangan kiri, jangan langsung ditanggapi dengan komentar buruk, “kyai ga jelas!”. Bahkan Nabi Isa sampai memecat anggota Hawary yang berprasangka buruk kepada orang lain yang dulunya suka bermaksiat padahal dia sudah taubat. Penyakit Suuzhon dalam hidup membuat penderitanya tidak pernah bisa percaya dengan oang lain, sementara seburuk-buruk orang adalah mereka yang tidak pernah percaya dengan orang lain.

Berprasangka baik kepada Allah, juga dianggap sebagai ibadah yang baik. Entah apapun yang diberikan Allah kepada kita baik nikmat ataupun coba, semestinya kita terus berprasangka baik tentangnya. Seseorang ketika terkena ujian maka tidak bisa gegabah sampai menyalahkan Allah, semestinya dia husnuzzhon aka ada kebaikan dan surprise yang besar dari Allah selepas ujian itu. Bukankah antara nikmat dan coba masih banyak nikmat yang kita rasakan. Kadang seorang sakit, tapi dengan kondisi sehatnya masih lebih banyak sehatnya. Kadang pada suatu hari dompet kita kosong, rizqi seret, tapi bukankah dihari-hari yang lain masih lebih banyak lancarnya. Padahal jika saja seseorang, meski seorang ahli maksiat, masih memiliki harapan baik kepada Allah, berprasangka baik kepada-Nya, bisa jadi orang itu bisa meraih rahmat dari Allah azza wajalla.

Kita memang semestinya memiliki rasa takut kepada Allah, khawatir tentang keselamatan kita diakhirat, khawatir tentang amal kita, apakah diterima oleh Allah, tapi disisi lain kita semestinya juga memiliki harapan yang besar kepada Allah, harapan diraihnya rahmat dan maghfirah Allah melalui husnuzzhon yang besar kepada-Nya yang rahmat-Nya tak sanggup di hitung dengan angka, yang maghfirah-Nya bisa melebur sekian dosa-dosa.

Ya Allah Anugerahkan hati yang selalu husnuzzhon dengan apapun kebijakan-Mu, aamiin

Wallahu ta’ala a’lam
Semoga bermanfaat
Kamis, 25 Februari 2016