Minggu, 24 April 2016

Dahsyatnya Arus Fitnah Akhir Zaman

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((بادروا بالأعمال فتناً كقطع الليل المظلم, يصبح الرجل مؤمناً ويمسي كافراً, أو يمسي مؤمناً ويصبح كافراً, يبيع دينه بعرض من الدنيا))

Di riwayatkan dari Abu Hurairah radliyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
"Bergegaslah beramal shaleh, (sebab) akan terjadi fitnah-fitnah layaknya penggalan-penggalan malam gelap gulita. Pada waktu pagi seseorang masih beriman, sore harinya ia telah menjadi kafir. Atau pada waktu sore seseorang masih beriman, pagi harinya ia telah menjadi kafir. (Itu sebab) ia menjual agamanya dengan harta benda dunia ( yang bernilai rendah).

Gambaran yang jelas tentang ujian di ibaratkan sebagai penggalan malam yang gelap gulita. Sedemikian pekatnya gelap sampai antara sebuah hal yang baik (sholah) dan jelek (fasad) tak bisa lagi di bedakan, hal itu terjadi merata dimana-mana dan berlangsung secara terus menerus.

Fitnah yang terjadi itu menyebabkan sebuah perubahan yang dahsyat dan cepat dalam sebuah zaman. Seseorang tak mampu menahan laju arus fitnah yang demikian deras dan dahsyat itu, sampai mereka terseret arus dan tak lagi bisa menguasai diri.

Jangankan seorang muslim biasa, bahkan seorang muslim yang memiliki keimanan sempurna saja bisa jadi juga terseret arus fitnah yang merongrong itu. Pada akhirnya seorang mukmin yang terseret arus itu memiliki sekian kemungkinan, bisa jadi ia berubah drastis sampai menjadi benar-benar kafir, atau ia tetap sebagai seorang mukmin akan tetapi ia enggan bersyukur dengan sekian kenikmatan yang dianugerahkan Allah, atau barangkali seorang mukmin itu menjadi mirip sekali dengan orang kafir, atau mungkin seorang mukmin -sebab arus fitnah itu- ia sampai melakukan amal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh orang kafir.

Kita bisa membaca keadaan, bahwa sekarang kaum muslimin dimana-mana tak lagi bangga dengan keislaman yang mereka sandang. Mereka berani menjual agama demi mendapatkan bagian dari dunia. Seorang muslim sudah tak bisa lagi diukur perbuatannya, mereka melakukan perbuatan yang baik dan sekaligus perbuatan jelek, mereka seolah melakukan sunnah akan tetapi juga sekaligus melakukan bidah. Benar kini, semangkuk bubur telah tercampur dengan kotoran yang menjijikan.

Dimana-mana kita melihat seorang muslim melakukan sebuah kejahatan akan tetapi mereka tak menganggapnya lagi sebagai sebuah kejahatan, sehingga mereka enggan melakukan taubat dan istighfar. Kolaborasi perang yang dilancarkan oleh watak dan nafsu kini acap kali berhasil memukul mundur pertahanan agama. Di dukung lagi oleh hadirnya setan selepas itu, sempurnalah ia dalam jeratan setan, watak, dan nafsu. Bahkan lebih dari itu, seorang mukmin kini sudah tak lagi peduli dengan Allah, mereka seringkali meremehkan dan mengabaikan-Nya. Padahal jika kita lihat secara kuantitas, kaum muslimin kian hari semakin banyak. Akan tetapi mereka bagai buih di lautan. Rasulullah bersabda :

:” يوشك الأمم أن تداعى عليكم كما تداعى الأكلة إلى قصعتها، فقال قائل: ومن قلة نحن يومئذٍ ؟ قال: بل أنتم يومئذٍ كثير، ولكنكم غثاء كغثاء السيل، ولينزعن الله من صدور عدوكم المهابة منكم، وليقذفن في قلوبكم الوهن، فقال: يا رسول الله وما الوهن ؟ قال: حب الدنيا وكراهية الموت

“Hampir saja umat-umat (selain Islam) berkumpul (bersekongkol) menghadapi kalian sebagaimana berkumpulnya orang-orang yang makan menghadapi bejana makanannya”. Lalu seseorang bertanya,”Apakah kami pada waktu itu sedikit ?”. Beliau menjawab,”Tidak, bahkan kalian pada saat itu banyak. Akan tetapi kalian seperti buih, yaitu buih banjir. (Pada waktu itu) Allah akan menghilangkan dari diri musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian dan menimpakan ke dalam hati-hati kalian al-wahn (kelemahan)”. Orang tadi bertanya lagi,”Wahai rasulullah, apakah al-wahn itu ?”. Beliau menjawab,”Cinta dunia dan takut mati”.

Agama semestinya di dakwahkan, di sampaikan kepada ummat. Akan tetapi kini yang terjadi dimana-mana justru kejahatan yang berkedok agama. Orang-orang seolah semangat dalam membangun yayasan, pesantren, panti asuhan, atau lembaga 'agamis' yang lain tapi ternyata semua itu hanya di latarbelakangi spirit duniawi. Sarana-sarana itu ternyata hanya sebuah cara supaya mereka mudah mengumpulkan uang, media yang pas untuk mendapatkan status sosial, sebuah hal yang progresif untuk mendulang banyaknya pengikut dan kekuasaan. Kita lihat dimana-mana seorang penceramah tak tahu malu memasang tarif di setiap ceramah, sampai ketika amplop yang diberikan panitia keliru dengan nota pasir, ia tak merasa malu dan sungkan untuk menyampaikan hal itu kepada panitia.

Seseorang sudah tak lagi menganggap penting mengaji, persetan dengan duit halal, tak acuh untuk mencari karib karena Allah. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana menghasilkan duit yang melimpah. Dunia menjadi hal yang diperebutkan oleh siapa saja dimana-mana, padahal dunia adalah sebuah hal yang dijauhkan dari Rahmat Allah. Rasulullah menyampaikan:

الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ , مَلْعُونٌ مَا فِيهَا إِلا عَالِمٌ أَوْ مُتَعَلِّمٌ , وَذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالاهُ

“Dunia itu terlaknat, dan terlaknat juga apa-apa yang ada di dalamnya kecuali orang-orang yang berilmu atau orang yang belajar, dan Dzikrullah juga yang semisalnya.”

Kini semua hal diperjual-belikan, seorang yang sebenarnya kalah bisa tiba-tiba menang hanya dengan menyerahkan sejumlah uang. Calon mahasiswa yang tak masuk seleksi bisa dengan mudah di terima dengan membayar sekian uang.

Kaum muslimin tak mengenal lagi syariah yang mesti dijalankan. Pejabat-pejabat senantiasa berbuat zhalim, menghalalkan pertumpahan darah, mengambil harta rakyat dengan batil, tapi anehnya apa yang mereka lakukan masih mendapatkan dukungan dari sekian ulama suu'. Kebencian terjadi dimana-mana hanya sebab perkara kecil, sebab fanatisme kesukuan, fanatisme golongan, dan lain sebagainya.

Seorang Kyai kini sampai berani mendukung dengan sebegitu semangat pencalonan presiden seorang Cina kafir. Dengan jargon yang ia gembar-gemborkan bahwa, "Lebih baik dipimpin kafir tapi jujur, dari pada muslim tetapi koruptor." Bahkan ia tak lagi malu menemani si Cina kafir itu memasuki pesantren-pesantren sementara si Cina berpenampilan layaknya Kyai, dengan memakai peci, surban, dan busana muslim. Kedatangannya disambut dengan rebana, tidak hanya itu bahkan para santri berebut menciumi tangannya.

Maka meskipun seorang Kyai، jangan pernah kita ikuti jika ia bersikap semacam ini. Bukankah seorang Syeikh Abdul Qadir al Jailany sempat di datangi setan yang menjelma lantas menghalalkan baginya perbuatan haram. Dan selepas kedoknya diketahui oleh Sang Syeikh, setan dengan terang-terangan menyatakan bahwa ia telah berhasil menggelincirkan sekian orang alim sebab tipu daya yang ia lancarkan.

Lalu apa solusi untuk menghadapi arus fitnah yang begitu dahsyat ini? Tak lain adalah dengan bergegas (mubadarah) dalam melakukan amal shaleh. Seperti yang di sabdakan Nabi di atas.

Sekian ragam amal-amal shaleh mesti kita usahakan, terutama amal shaleh yang berupa shalat. Bagaimana kita memperbaiki shalat kita, dengan menegakkannya (iqamatusshalat), konsisten menjalankannya (mudawamah alasshalat), dan menjaganya (muhafazhah alasshalat), berusaha menjalankannya dengan berjamaah, sehingga seseorang kala shalatnya telah baik dan berkualitas, ia takkan lagi mau untuk mengikuti rayuan syahwat. Tapi jika kita masih sering menyia-nyiakan shalat, maka kita akan kerap memperturuti syahwat.

(59). ۞ فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖفَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.

Didalam shalat kita mengulang-ulang membaca surat al-Fatihah, sementara di dalam surat al-Fatihah ada sebuah doa yang selalu kita panjatkan, " Ihdinasshirathalmustaqim, Ya Allah tunjukkan kami jalan yang lurus", sehingga dengan pengulangan terus-menerus akan berpendar cahaya.

Beramal shaleh merupakan sebuah hal yang demikian berat, maka betapa begitu berat mengusahakan mubadarah (bergegas) dalam amal shaleh. Sehingga perlu pendukung lain, yakni kecintaan kita untuk berkumpul dengan orang shaleh. Sebab dengan berkumpul dengan mereka kita akan menemukan sebuah metode yang mudah dan ringan untuk terlepas dari jeratan arus fitnah yang merongrong kehidupan ini.

Akhir catatan, seorang muslim siapapun takkan pernah ada dalam zona aman dari arus fitnah yang begitu dahsyat ini. Maka beruntunglah bagi mereka yang masih di beri Rahmat oleh Allah untuk menghalaunya. Semoga kita menjadi manusia yang senantiasa mendapat Rahmat Allah sehingga bisa selamat dari fitnah-fitnah yang datang. Aamiin.

Semoga bermanfaat

Rabu, 20 April 2016

MENGHORMATI YANG TUA DAN MENYAYANGI YANG MUDA

عَنْ بْنِ الصَّامِتِ ، قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radliyallahu anhu bahwa Rasulillah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Bukanlah termasuk dari ummatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda, dan tidak tahu hak orang alim.”

Memaknai hadits diatas jangan sampai serampangan, sebab ada saja sekte ekstrim yang menganggap makna redaksi “Laisa min ummati” adalah “bukan bagian dari ummat muslim”, sehingga sampai mengklaim orang semacam itu sebagai orang kafir. Maka perlu dipahami terlebih dahulu, sekian makna dari redaksi “Laisa min ummati” agar tidak gampang su’uzhon dengan orang muslim yang lain. Diantara maknanya adalah:

-Bukan termasuk pelaku sunnah kami menurut cara kami.
-Bukan termasuk orang yang mendapatkan petunjuk dengan petunjuk kami.
-Bukan termasuk bagian agama kami, berarti dia keluar dari sebuah cabang dari sekian cabang agama.
-Bukan termasuk bagian orang muslimin, hanya saja predikat dan bentuknya tetap.
-Bukan termasuk orang yang melakukan kesempurnaan.
-Bukan seperti kami.
-Bukan termasuk mukmin yang sempurna imannya.
-Bukan termasuk orang yang tersambung dengan kami.
-Bukan termasuk bagian orang pilihan dan orang yang berakhlaq dengan akhlaq kami.

Hadits ini senada dengan hadits-hadits yang redaksinya: “La yu’minu ahadukum” tidak beriman salah satu dari kalian, maknanya : "Imanan kamila”, dengan keimanan yang sempurna, dan redaksi “Layadkhulul jannah” tidak masuk surga, maksudnya adalah “ma’assabiqin al awwalin”, bersama rombongan para pendahulu.

Jadi redaksi “laisa min ummati” masih dalam wilayah makna yang wajar, artinya tidak sampai mengeluarkan seseorang dari status muslim.

Seseorang ada yang masih berada dalam level hal, ada yang sudah berada dalam level maqam. Seseorang ada yang konsisten dalam menjalankan agama, selalu terdepan dalam melakukan kebaikan. Adapula yang masih setengah hati menjalankannya. Dan ada pula yang bahkan sampai melakukan kezhaliman kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang bisa konsisten menjalankan agama, maka ia pun tidak boleh merasa bahwa apa yang ia lakukan merupakan usahanya sendiri, akan tetapi murni bahwa ia bisa seperti itu sebab taufiq dari Allah ta’ala.

Seorang yang lebih tua dari kita berhak dihormati karena keberadaannya lebih dahulu dari kita dan ia lebih berpengalaman dalam merasakan pahit getirnya kehidupan dalam banyak hal. Juga karena keilmuan dan akhlaq yang mereka miliki.

Sayyidina Ali karromallahu wajhah suatu saat berjalan menuju masjid. Ditengah jalan ia bertemu dengan orang tua yang berjalan ke arah yang sama. Demi menghormati orang tua itu, ia tidak berani mendahuluinya, sampai ia telat berjamaah, akan tetapi ternyata selepas sampai dimuka masjid orang tua itu tidak ikut berbelok, maka ia tahu bahwa orang itu adalah seorang Yahudi.

Rasulullah SAW bersabda,
مَا أكْرَمَ شَابٌّ شَيْخاً لِسِنِّهِ إلاَّ قَيَّضَ الله لَهُ مَنْ يُكْرِمُهُ عِنْدَ سِنِّه

‘Tidaklah seorang pemuda menghormati orang yang lebih tua karena usianya. Kecuali Allah akan mendatangkan untuknya orang yang menghormatinya ketika dia sudah tua.

Dari sini ulama ada yang berpendapat bahwa orang tua di hormati karena sebab status tua yang ia sandang, akan tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa penghormatan itu sebab kepribadian dan keilmuannya yang baik. Rasulillah bersabda:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ ».

Artinya: “Abdurrahman bin Abu Bakrah meriwayatkan dari bapaknya radhiyallahu, bahwa ada seorang yang bertanta: ‘Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik?”, beliau menjawab: “Barangsiapa yang panjang umurnya dan baik perbuatannya”, ia bertanya (lagi): “Lalu manusia manakah yang paling buruk?”, beliau menjawab: “Barangsiapa yang panjang umurnya dan buruk perbuatannya.” HR. Tirmidzi.

Berkaitan dengan masalah kasih sayang maka semestinya hal itu kita berikan kepada siapa saja. Bahkan binatang saja berhak untuk dikasihi, apalagi terhadap orang lain. Dan kasih sayang ini akan membuat hidup kita lancar dan berkah. Usaha kita akan beruntung, dan sebutan kita akan tinggi. Seseorang yang berkasih sayang, akan dikasihi oleh Allah, Rasulillah bersabda:

الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك و تعالي ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

Artinya:
Orang-orang yang kasih sayang Tuhan yang Rahman Tabaraka wa Taala akan kasih sayang kepadanya. (Oleh karena itu) kasih sayanglah kamu semua kepada semua makhluk yang di bumi niscaya semua makhluk yang di langit akan kasih sayang kepada kamu semua. [H.R Ahmad, Abu Daud At Tarmizi dan Al Hakim]

Ada beberapa alasan yang menjadi motivasi seseorang berkasih sayang dengan yang lebih muda:

- Anak kecil masih lemah, memerlukan bantuan orang yang lebih tua. Mereka seringkali masih bersifat kekanak-kanakan.
- Anak atau orang yang sudah dewasa akan tetapi dia menjadi “kecil” secara makna, seperti sebab idiot, tua renta, dll.
- Menyamai Allah sebab dari semenjak lahir seorang anak telah dikasih sayangi oleh Allah.

Dan tentunya kasih sayang ini, tidak hanya kita berikan kepada Muslim saja. Bahkan kepada non muslim ada hak-hak semestinya kita tunaikan. Seperti dikala kita melihat seorang tua renta di bis yang tak mendapatkan tempat duduk, maka kalau bisa kita beri ia tempat duduk. Meski dia seorang non muslim. Jangan sampai kita tidak peduli dan acuh hanya karena tahu dia seorang non muslim.

Banyak cara menyayangi seseorang, salah satunya adalah dengan cara menjenguknya dikala ia sedang sakit, dan mengunjunginya dalam kondisi sehat. Orang yang mau melakukannya akan dipanggil oleh sesosok dan sosok itu berucap: “Bagus kau, jalanmu juga bagus, dan kau siapkan bagian surga bagimu”

Seseorang juga harus mengerti hak-hak orang alim. Dan tentunya hal ini akan menghasilkan keberkahan. Idza atakum karimu qoumin fa akrimuh, jika seorang mulia kaummu datang maka hormati ia. Mereka berhak untuk dihormati. Sebab ilmu yang mereka miliki.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah:11)

Sababun Nuzul ayat ini adalah, dikala hari jum’at Rasulillah mengadakan kajian di serambi Masjid Nabawy, disana telah banyak orang yang hadir. Selepas itu rombongan Ahlu Badar datang. Demi ingin menghormati mereka, Rasulillah mempersilahkan mereka untuk kedepan. Akan tetapi karena kondisi tidak memungkinkan sebab penuh sesak, mereka enggan menaati perintah Rasulillah agar mereka pindah ke tempat lain, supaya Ahlu Badar bisa duduk di tempat mereka. Maka akhirnya turunlah ayat ini untuk menegaskan kepada mereka akan perintah ini.

Cara menghormati dan memuliakan mereka beragam dan relatif, seperti dikala mereka datang disebuah majlis, kita silakan mereka untuk duduk di depan. Yang terpenting tidak sampai sujud. Jangan seperti sekte sebelah yang mengklaim berdiri sebab menghormati orang alim merupakan barang terlarang, mencium tangan orang shaleh dianggap mengkultuskan. Jika kita cermati sepertinya ada agenda terselubung yang diterapkan musuh Islam untuk memisahkan dan menjauhkan kaum muslimin dengan ulama’nya. Sehingga jika ini terjadi, maka kaum muslimin akan bertambah lemah dan rapuh.

Dan yang dimaksud dengan ulama disini, bukan hanya seorang yang cerdas dan paham betul masalah agama, akan tetapi ulama yang sebenarnya adalah seorang yang lebih mengedepankan rasa takutnya kepada Allah (khosyah) dari pada ilmunya. Ulama yang memiliki karakter low profil (tawadlu) dalam bersikap. Sebab banyak ulama yang alim secara keilmuan akan tetapi kosong dalam pengamalan. Mereka bahkan hobi mengotak-atik hukum sehingga menghasilkan hukum yang tidak sesuai dengan yang semestinya.

Ulama merupakan pewaris Nabi, dan kedudukan keilmuan berada satu tingkat dibawah predikat kenabian. Mereka akan mendapatkan kedudukan yang tinggi kelak di surga. Dan dari sekian ulama, rumah yang paling tinggi kelak di surga adalah rumahnya Sayyidina Muadz bin Jabal.

Dan lebih dari itu bahwa, seorang yang shaleh dan alim bahkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan syafaat kepada orang-orang lain kelak di hari kiamat.

Maka, semoga kita bisa terus belajar untuk menyayangi yang lebih muda, menghormati yang lebih tua dan memahami hak-hak orang alim.

Wallahu ta'ala a'lam.
Semoga bermanfaat

BERKARIB DENGAN SEORANG SHALEH

عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
((إِنَّمَا مَثَلُ الجليس الصالحُ والجليسُ السوءِ كحامِلِ المسك، ونافخِ الكِيْرِ، فحاملُ المسك: إِما أن يُحْذِيَكَ، وإِما أن تبتاع منه، وإِمَّا أن تجِدَ منه ريحاً طيِّبة، ونافخُ الكير: إِما أن يَحرقَ ثِيَابَكَ، وإِما أن تجد منه ريحاً خبيثَة))

Dari Abu Musa al-Asy’ari rodliyallohu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya perumpamaan teman yang sholeh dan teman yang buruk seperti penjual minyak wangi dan pande besi. Penjual minyak wangi ada kalanya memberikan sedikit minyak wanginya kepadamu, atau bisa jadi kamu membeli minyak wangi darinya, atau (paling tidak) kamu mencium harum wangi darinya. Sedangkan seorang pande besi ada kalanya ia bisa membuat bajumu terbakar atau kamu mendapatkan bau tidak sedap darinya.”

Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup sendirian, secara fitrah ia merupakan makhluk sosial yang mesti hidup bersama. Antara satu dengan yang lain saling membutuhkan. Maka Islam mengarahkan bagaimana bergaul agar hidup kita senantiasa berada dalam keadaan lurus dan positif، serta penuh keberkahan.

Terlebih, seseorang pasti memiliki tujuan dalam hidup yang mesti diperjuangkan. Sebuah tujuan seperti yang tertera dalam ungkapan: “Anta Robby wa ridloka mathluby”.Engkau Tuhanku dan Ridlo-Mulah tujuanku. Keridloan Allah menjadi tujuan utama hidup kita. Maka dalam pergaulan, kita butuh teman yang bisa mendukung tujuan utama hidup kita ini. Bagaimana memilih teman yang sholeh dan menghindari teman yang buruk untuk bersama meraih ridlo Allah.

Rasulillah dalam hadits ini menyampaikan dengan menggunakan bahasa perumpamaan. Sebuah metode penyampaian yang pas dan seharusnya kita tiru sehingga memudahkan pendengar dalam memahami apa yang disampaikan. Teman yang sholeh di ibaratkan seperti penjual minyak wangi sementara teman yang buruk di ibaratkan seperti seorang pande besi. Jika kita bersama teman yang shaleh berarti kita masuk dalam kebaikan. Jika kita bersama teman yang buruk maka kita akan mendapatkan keburukan. Kita akan terpengaruh dengan siapa kita berteman.

Rasulillah dalam hadits yang lain menyampaikan:

المَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يَخْلُلُ.
Artinya, "Seseorang itu (dipengaruhi) oleh agama kawannya. Maka, kalian hendaknya memperhatikan siapa yang akan dijadikan teman."

Senada dengan hadits ini, terdapat hadits yang lain yang berbunyi:

المؤمن مرآة المؤمن
Seorang mukmin cermin bagi mukmin yang lain.

Sayyidina Ali Karromallahu wajhah menyampaikan:

فَلَا تَصْحَبْ أَخَا الْجَهْلِ وَإِيَّاكَ وَإِيَّاهُ
فَكَمْ مِنْ جَاهِلٍ أَرْدَى حَلِيْمًا حِيْنَ وَافَاهُ
يُقَاسُ الْمَرْءُ بِالْمَرْءِ إِذَا مَا هُوَ مَا شَاهُ
وَلِلشَّيْءِ عَلَى الشَّيْءِ مَقَايِيْسٌ وَأَشْبَاهٌ
وَلِلْقَلْبِ عَلَى الْقَلْبِ دَلِيْلٌ حِيْنَ يلَقْاَهُ

Jangan berteman dengan orang jahil (bodoh dan berakhlak buruk); berhati-hatilah kamu dan berhatilah-hatilah darinya
Betapa banyak orang jahil yang menjatuhkan martabat orang yang penyantun, ketika dia menjumpainya
Seseorang itu akan dibandingkan dengan orang lain; apabila dia berjalan beriringan dengannya
Segala sesuatu itu memiliki bandingan dan kemiripan dengan yang lainnya
Hati pun memiliki penunjuk kepada hati yang lain ketika dia berjumpa dengannya. (‘Ali bin Abi Thalib)

Cara untuk mengukur apakah seseorang itu baik atau buruk amat mudah, jika temannya baik maka ia bisa dipastikan baik, dan jika temannya jelek maka ia pun bisa dipastikan jelek. Karena orang-orang pada umumnya akan menganggap seseorang dengan kumpulannya. Jika kumpulannya baik, ia akan dianggap sebagai orang yang baik. Dan jika kumpulannya jelek, ia akan dianggap sebagai orang yang jelek.

عَنِ الْمَرْءِ لاَ تَسْأَلْ وَسَلْ عَنْ قَرِيْنِهِ * فَكُلُّ قَرِيْنٍ بِالْمُقَارِنِ يَقتَدِيْ
إذَا كُنْت فِي قَوْمٍ فَصَاحِبْ خِيَارَهُمْ * وَلاَ تَصْحَبْ اْلأَرْدَى فَتَرْدَى مَعَ الرَّدِي

Tentang seseorang, jangan bertanya siapa dia, akan tetapi bertanyalah siapa teman karibnya; sebab setiap orang yang berteman akrab itu akan saling mencontoh satu sama lain.

Jika engkau berada di tengah-tengah suatu kaum, maka bertemanlah dengan orang-orang terbaik diantara mereka; dan jangan berteman dengan yang paling buruk, sehingga statusmu menjadi jatuh bersama orang-orang yang buruk itu. (‘Ady bin Zaid).

وقائل كيف تفارقتما * فقلت قولا فيه إنصاف
لم يك من شكلي ففارقته * والناس أشكال وآلاف
" Seorang bertanya :
Bagaimana engkau berdua jadi berpisah ?
Maka aku menjawab :
Dengan jawaban keinsyafan
Dia tidak sebentuk dengan aku,
Maka aku berpisah dengan dia..
Manusia itu berbagai bentuk
Dan beribu macam keadaan..."

Seseorang yang baik cenderung berkumpul dengan orang baik, dan orang yang jelek cenderung berkumpul dengan orang baik. Kecenderungan seseorang ini sudah ada semenjak kita masih berada di alam ruh. Disana dikala kita bertemu seseorang dan berkenalan, maka akan ada pertautan dan kecenderungan dikala di dunia. Ia akan cenderung senang bergaul dengan mereka, bahkan sampai ada yang menjadi sepasang kekasih. Dan dikala kita bertemu seseorang dialam ruh lantas kita saling menjauh, maka aka nada ketidak cocokan dikala di dunia. Ia enggan bergaul dengan mereka.

الأرواح جنود مجندة، فما تعارف منها ائتلف وما تناكر اختلف
“Ruh-ruh manusia adalah kelompok yang selalu bersama, maka yang saling bersesuaian di antara mereka akan saling dekat, dan yang tidak bersesuaian akan saling berselisih.”

Lebih jauh dari itu, bahwa manusia butuh bersuhbah dengan seorang sholeh yang bisa membimbingnya menuju Allah ta’ala. Seperti yang didawuhkan Abuya, “Kullu insan yahtaju ila mursyidin murobbin qoidin”, setiap manusia membutuhkan seorang mursyid, murobby, dan penuntun. Sosok yang hadir untuk membimbing hati kita menuju keselamatan, terhindar dari sekian penyakit hati. Sosok mursyid yang membimbing kita meraih maqam rusyd, sebab dari semenjak kecil saja kita sudah didoakan supaya meraih “rusyd”melalui doa “..wabulligta rusydahu”.

“Mursyid murobby adalah seseorang yang mendidik hatimu, membersihkannya dari akhlaq tercela, dan menuntunmu menuju Allah, seseorang yang dikala kamu bersahabat dengannya, Allah ta’ala akan menjagamu dari sekian keburukan, kemaksiatan, dan hawa nafsu.” (Abuya al-Maliki)

Seseorang dikala hidup juga seharusnya memiliki seorang figur shaleh yang didambakan. Sebab seperti yang disampaikan Nabi, kelak kita akan di kumpulkan dengan siapa yang kita cintai dan kita dambakan. Meski kita memiliki amal yang terbatas, tapi dengan modal kecintaan kita bisa dikumpulkan dengan orang yang kita cintai itu.

Dalam hidup kita juga harus berusaha mencari karib karena Allah (Akhun fillah), bukan semata karib dalam masalah bisnis atau hal duniawi saja. Apalagi pada zaman sekarang, demikian sulit mencari saudara karena Allah. Bahkan krisis ini termasuk bagian tanda telah dekatnya kiamat. Karib karena Allah bisa didapat dari majlis-majlis dzikir dan pengajian, masjid-masjid, dan tempat-tempat lain. Majlis pengajian yang sebenarnya, bukan majlis pengajian yang hanya sebagai kedok dalam penjualan agama.

Ya Allah, kami bukan orang shaleh, tapi kami cinta orang-orang shaleh. Maka kumpulkan kami bersama mereka kelak di surga. Amin.

Semoga bermanfaat.

Senin, 18 April 2016

SENANGKAN ORANG LAIN DENGAN WAJAH CERIA DAN AKHLAQ YANG BAIK

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنكم لن تسعوا الناس بأموالكم ولكن يسعهم منكم بسط الوجه وحسن الخلق

Dari Abi Hurairah rodliyallohuanhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: (sesungguhnya kalian tidak bisa memberikan pemberian secara merata pada manusia dengan harta benda kalian, tetapi hendaknya wajah yang berseri-seri dan perangai yang baik dari kalian bisa merata lebih dari sekedar cukup bagi mereka.

Hidup ini butuh orang lain yang kita senangkan, sehingga semuanya bisa menjadi baik, bermuamalah dan bermuasyarah dengan baik. Meski memang keridloan seluruh manusia adalah tujuan yang takkan tercapai. Paling tidak ada usaha yang kita lakukan, dengan berakhlaq dengan akhlaq Allah, berusaha untuk menyenangkan mereka.

Menyenangkan dan berakhlaq baik dengan orang lain demikian penting. Sebab Alsinatul kholqi aqlamul haq. Lisan-lisan manusia adalah pena-pena yang nyata. Bahwa untuk menilai seseorang apakah dia baik atau buruk, secara umum adalah dengan melihat penilaian orang banyak kepadanya. Jika banyak orang menilainya sebagai orang sholeh maka dia memang sholeh, dan jika banyak orang menganggap dia orang jelek, maka bisa dipastikan bahwa ia orang yang jelek.

Seseorang takkan bisa menyenangkan seluruh orang dengan memakai modal harta benda. Barangkali suatu saat ketika kita memberi seseorang, orang itu akan senang, akan tetapi tidak lama hal itu akan dilupakan. Tapi menyenangkan orang lain, lebih tepat dan lebih ampuh dengan melalui wajah yang cerah dan ceria dan akhlaq yang baik. Dengan begitu, kita bisa mengambil simpati mereka. Maka berusahalah menjadi sosok yang berwajah ceria, berhiaskan senyuman berakhlaq baik agar mudah mengambil hati orang lain.

Berakhlaq yang baik bisa dimulai dengan perkataan yang baik, bagaimana berusaha memproses lisan untuk bicara yang baik. Jika tidak bisa maka lebih baik diam. Karena ada saja lisan yang tidak bisa bicara kecuali yang keluar adalah perkataan yang menyakitkan. Tapi sebaliknya ada pula lisan yang banyak bicara akan tetapi mampu membuat orang lain senang dan bersimpati.

وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْكُمْ وَأَنْتُمْ مُعْرِضُونَ

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.
(Al Baqarah :83)

Tiga hal yang semestinya kita proses dalam menghadapi orang lain: Berwajah ceria (basthul wajhi), memberikan kemurahan (Badzlunnada), dan tidak menyakitkan (Kafful adza).

اتقوا النار ولو بشق التمرة فإن لم تجدوا فبكلمة طيبة

Artinya: “Lindunglah diri kalian dari api neraka meskipun (hanya bersedekah) dengan separuh kurma, jika kalian tidak punya maka hendaknya dengan ucapan yang baik.”

Menyenangkan orang lain dengan wajah dan akhlaq yang baik diusahakan semaksimal mungkin, tidak hanya sekedarnya saja. “idza bada’tum bil makarim fa atimmuha”, jika kau memulai sebuah kemuliaan maka selesaikan hal itu.

Islam amat mementingkan akhlaq yang baik dalam pengamalan ajarannya. Seorang akan mendapatkan derajat yang tinggi disisi Allah dengan perangainya yang baik, dan ini tidak bisa didapatkan dengan bermodalkan harta benda saja.

Seorang hamba akan sampai pada derajat yang tinggi disurga karena perangai yang baik padahal dia bukan seorang ahli ibadah, dan seorang ahli ibadah bisa sampai derajat terendah di neraka jahannam sebab perangainya yang buruk (Anak bin Malik).

Dalam sebuah hadits diterangkan:

وقال عليه الصلاة والسلام: أثقل ما يوضع في الميزان يوم القيامة تقوى الله وحسن الخلق (أخرجه أبو داود والترمذي)

Artinya : sesuatu yang paling berat timbangannya pada hari kiamat adalah taqwa kepada Allah dan akhlak yang mulia (terpuji). (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Al-Quran telah mengarahkan cara berperangai baik. Allah ta’ala berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (Al-A'raf :199)

Kita lihat betapa Rasulillah memiliki akhlaq yang demikian agung. Kita cermati bagaimana Rasulullah bergaul. Kita lihat Rasulillah seorang Sayyidul Mursalin dikala bersama cucunya Hasan dan Husain, mereka berdua naik di punggung Nabi, bermain onta-ontaan bersama Nabi. Rasulillah ketika meminum minuman yang dibuatkan Sayyidah Aisyah, ternyata rasa minuman itu asin, beliau salah memasukkan garam disana, akan tetapi Rasulillah tak marah, justru berkata, minuman paling enak adalah hari ini.

Syaqiq al Balkhi seorang yang memiliki istri berperangai jelek, akan tetapi ketika ditanya kenapa tidak menceraikan istrinya itu saja, ia jawab: “Jika dia berperangai jelek, maka aku harus berperangai baik. Dan jika saja mungkin aku ceraikan, barangkali dia justru akan mendapatkan suami yang berperangai lebih jelek darinya.”

Khudzil afwa selain berarti memberikan maaf kepada seseorang yang melakukan kesalahan dan kekhilafan, berarti pula menjadi pribadi yang gampangan, berarti pula memilih sesuatu yang terbaik, berarti pula menjadi pribadi yang pemurah. Dikala dihadapkan dengan perkara yang ruwet dengan seseorang yang berkaitan dengan hak kita, kita ucapkan: “sudah biarkan saja, ga papa”. Jika kita meminta tolong seseorang untuk membelikan sesuatu seharga 15 ribu sementara uangnya 20 ribu, kita katakan: “Kembaliannya buat kamu aja”. Jika seorang sopir mengantarkan ke sebuah tempat akan tetapi ia salah jalan, katakan saja: “ Ga papa, itung-itung rekreasi”. Jangan mudah menjadi panitia pen’cacat’an.

Wa'mur bil urfi, sebagaimana yang pernah disabdakan Rasulillah:

لا تحقرن من المعروف شيئًا ولو أن تلقى أخاك بوجه طلق

“Janganlah engkau meremehkan perbuatan yang ma’ruf sedikitpun, meskipun hanya dengan wajah yang ceria ketika bertemu dengan saudaramu".

Wa a'ridl anil jahilin. Jika kita mendengar sebuah hal yang menyakitkan dari seseorang, biarkan saja orang itu, anggap seolah kita tidak mendengarnya, dan orang itu tidak mengatakannya. Jika kita memikirkannya, justru kita yang akan galau dan susah sendiri. Manusia memang ada yang sensitive sekali, gampang tersinggung dengan omongan orang lain, padahal orang itu terkadang tidak memiliki niat menyinggung perasaan. Maka sebaiknya orang seperti ini berlatih untuk mengabaikan omangan jelek orang lain, anggap seakan telinga tuli tidak mendengarnya. “Idza khothobahumul jahiluna qolu salama”.

Akhir catatan, dalam berdakwah kita harus membangun simpati dengan akhlaq yang baik. Meski keridloan seluruh orang takkan pernah diraih. Ingat kembali cerita Sayyidina Luqman dikala mengajari anaknya dengan praktek langsung dilapangan dengan membawa seekor keledai. Paling tidak kita terus berusaha “ngewongno wong, nyenengno wong, ora nggelakke”, memanusiakan orang, menyenangkan orang, tidak mengecewakannya.

Wallahu yatawallal jami'a biri'ayatih
Semoga bermanfaat.

JADILAH MANUSIA YANG CERDAS

عن شداد بن أوس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الكيس من دان نفسه وعمل لما بعد الموت والعاجز من أتبع نفسه هواها وتمنى على الله الأماني

Dari Syaddad bin Aus rodliyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau bersabda:

"Orang yang cerdas adalah orang yang bisa mengintropeksi diri dan beramal untuk bekal setelah meninggal. Orang yang lemah adalah orang yang senantiasa menuruti hawa nafsunya banyak mengkhayalkan angan-angan atas Allah"

Al-Kayyis secara etimologi memiliki beberapa arti:

-Seorang yang berakal (al-Aqil)
-Tidak gegabah, berhati-hati dalam segala urusan (husnutta’anny fil umur)

Seorang yang kayyis adalah seorang yang pemahamannya bisa dipercaya dan sosok yang keberadaannya memberikan manfaat. Ia adalah seorang yang memiliki kecerdasan dan dukungan sekian karakter lain yang menyempurnakan dirinya. Katakanlah ia seorang yang cerdas dan sabar, maka hanya cerdas dalam sisi otak belaka tapi pemarah bukan yang dimaksud oleh istilah ini.

Dalam hal ini, Rasulullah juga memiliki definisi lain untuk merepresentasikan apa itu kayyis. Seperti yang terungkap dalam hadits diatas. Bahwa menurut Rasul, orang yang cerdas adalah orang yang "dana nafsahu". Ungkapan ini memiliki sekian arti, seperti yang dipaparkan dibawah ini :

1. Kegigihan dalam melakukan ketaatan (Da-aba nafsahu alattho’ah)

Hal ini tidak semudah itu bisa dilakukan, kecuali melalui proses yang kita usahakan. Proses yang tak sebentar dan terus berkesinambungan. Sehingga hal ini pada akhirnya terbentuk menjadi sebuah kebiasaan.

Ketaatan bisa kita proses dengan senantiasa berdzikir, dimulai melalui dzikir lisan. Dengan pengulangan, agar terwujud kekokohan, sehingga timbul cahaya. Wirid dan doa seharusnya terus konsisten dibaca tidak perlu gonta-ganti. Ibarat menggali sumur, maka perlu terus menerus, tidak pindah-pindah tempat sehingga pada akhirnya bisa mengeluarkan air.

2. Intropeksi diri (Haasaba Nafsahu)

Dulu ada seorang sholeh melakukan muhasabah sampai mencatat seluruh apa yang dikatakan dan dilakukan disepanjang hari. Jika itu kesalahan maka ia segera minta ampun dan bertaubat. Jika harus disyukuri maka ia akan bersyukur. Ia tidak akan bisa tidur sebelum muhasabah ini ia lakukan.

Seorang shaleh bahkan mengevaluasi bukan hanya dalam masalah perkataan dan perbuatan, akan tetapi sampai pada lintasan-lintasan hati. Abuya sendiri melakukan muhasabah tiap hari, tiap pagi Abuya akan memikirkan apa yang dibutuhkan dan akan dilakukan pada hari itu.

Mbah Ma’shum Lasem memiliki sabuk besar, dikala ada orang bertamu ingin memberi uang. Mbah Ma’shum akan bertanya terlebih dahulu: " Ini untuk yang kanan apa yang kiri?, yang kanan untuk saya, yang kiri untuk pondok."

3. Menghinakan nafsu (adzallaha), membuatnya sebagai budak (ista’badaha), dan mengalahkannya (qoharoha).

Seorang diciptakan dengan berbekal nafsu ammaroh bissu', nafsu yang selalu memerintah untuk melakukan kejelekan dan larangan agama. Akan tetapi jika kita terus mengawal nafsu ammaroh itu sampai terjadi kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, ia akan menjadi nafsu lawwamah. (Nafsu yang sudah bisa dikendalikan, akan tetapi pada suatu saat ia juga terjerambab dalam melakukan kejelekan dan dosa). Kemudian jika ini berlangsung terus menerus, nafsu pada akhirnya akan menjadi muthmainnah. Nafsu yang tenang dalam melakukan ketaatan.

Cara menundukkan nafsu sehingga bisa menjadi nafsu lawwamah adalah dengan senantiasa membesarkan rasa takut kepada Allah, memahami bahwa Allah adalah Dzat yang memiliki sifat kebesaran (jalal) seperti Maha Memaksa, Maha menyiksa, Amat pedih siksanya, dll.

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ 40
فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ 41

Artinya :"Dan adapun orang yang takut dihadapan kebesaran Tuhannya dan menahan jiwanya dari keinginan yang rendah (hawa nafsu), maka sesungguhnya taman (sorga) tempat kediamannya".(S.An-Nazi'at, ayat 40-41)

Dan kemudian mengingat firman Allah:

(27). يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
Hai jiwa yang tenang.
(28). ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
(29). فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
(30). وَادْخُلِي جَنَّتِي
dan masuklah ke dalam surga-Ku.

4. As-Syariah. Seseorang hidup mesti terikat dengan syariat, sehingga sampai disebut sebagai mukallaf. Syariat ibarat sebuah pondasi yang demikian penting dalam sebuah bangunan. Meski memang setelah bangunan berdiri, orang-orang lebih suka berbicara tentang tampilan fisiknya.Seorang yang cerdas dalam setiap gerak-geriknya akan selalu merasa terikat dengan syariat Allah, sehingga membuatnya berhati-hati dalam bersikap.

Ya, term "dana nafsahu" memiliki sekian makna yang cukup ketat. Sehingga orang cerdas yang sebenarnya seharusnya memenuhi sekian dari definisi "dana nafsahu" seperti diatas. Bukan sekedar seorang yang bergelar doktor atau profesor belaka.

Selain itu, orang yang cerdas juga sosok yang senantiasa beramal untuk kepentingan selepas mati. Sebab seseorang siapapun itu pasti pada akhirnya akan mati. Jika ini disadari sepenuhnya, maka orang yang cerdas semestinya menyiapkannya sedemikian rupa. Sebab kehidupan ini akan berakhir hanya di salah satu dari dua tempat, jika tidak di surga berarti di neraka. Tidak ada opsi yang ketiga.

Akan tetapi pada umumnya orang lalai dan lupa tentang hal ini, sehingga ia baru tersadar dikala kematian menjemputnya. An-Nas niyam waidza matu intabahu, manusia sedang terlelap dan dikala ia mati, ia baru bangun tersadar.
Seseorang akan mati, disana ia akan melewati sebuah kehidupan yang amat berbeda. Debu disana menjadi tempat tidurnya, ulat menjadi temannya, kuburan menjadi kediamannya, perut bumi menjadi tempat menetapnya, kiamat menjadi tempat kembalinya. Seseorang yang cerdas seharusnya memikirkan hal ini, menyiapkannya semaksimal mungkin, tidak menjuruskan perhatian kecuali dalam hal ini. Bagaimana berusaha menjadikan surga sebagai tempat kembali.

Jangan pernah menganggap kematian masih lama hadir. Kematian adalah sebuah hal yang pasti terjadi, maka ia adalah hal yang begitu dekat. Karena yang disebut lama hanyalah hal yang tidak akan pernah datang.

Hati sebenarnya amat dekat sekali dengan Allah. Akan tetapi hati akan jauh dari Allah jika didalamnya terdapat hijab hati. Hijab hati yang dimiliki seorang mukmin adalah mencintai dunia dan takut mati. Seseorang yang mengidap penyakit ini telah terserang virus yang bernama wahn. Sehingga banyak dijumpai orang yang berani menjual agama hanya demi kesenangan dunia.

Dan seorang yang bodoh, al Safih, -Akan tetapi Rasulillah menggunakan bahasa santun yakni al-Ajiz (orang yang lemah)- .Mereka adalah orang yang demikian gegabah dalam segala urusan, hobi memperturuti nafsunya, tak menganggap dosa sebagai sebuah dosa, tak mau mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kematian, tak mau bertaubat, akan tetapi ia masih menganggap bahwa Allah itu Maha pengampun. Mereka masih berkhayal masuk surga. Mereka hanya mengandalkan Syahadat untuk meraih surga. Ya barangkali mereka akan dimasukkan surga. Akan tetapi selepas dibersihkan dulu di neraka. Surga tidak gratis saudara, dan dunia bukan gurauan belaka.

Seorang siapapun itu senantiasa melakukan peperangan dalam dirinya. Peperangan antara tiga kubu: kubu agama, kubu hawa nafsu, kubu akal pikiran. Kadang kubu nafsu berkolaborasi dengan akal, kadang berkolaborasi dengan watak buruk. Ketika kubu agama kalah setan akan menelusup masuk, menguatkan serangan yang dilancarkan nafsu dan watak buruk. Ya, Peperangan ini kadang dimenangkan oleh kubu agama, kadang dimenangkan oleh hawa nafsu.

Akhir catatan, semoga kita dimudahkan menjadi orang yang cerdas, cerdas menurut pandangan Rasul, tidak cerdas dari sisi akal saja. amin

Semoga bermanfaat.
Allahumma amin.

Rabu, 13 April 2016

HIDUP BERKAH DENGAN YANG HALAL

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” إن الله تعالى طيب لا يقبل إلا طيبا، وإن الله أمر المؤمنين بما أمر به المرسلين، فقال تعالى: يأيها الرسول كلوا من الطيبت واعملوا صلحا ” وقال تعالى: ” يأيها الذين ءامنوا كلوا من الطيبت ما رزقنكم ” ثم ذكر ” الرجل يطيل السفر أشعث أغبر، يمد يديه إلى السماء يارب ! يارب ! ومطعمه حرام، وملبسه حرام، وغذي بالحرام، فأنى يستجاب له ” رواه مسلم

Dari Abu Huroiroh Rodhiyallahu anhu ia berkata: Rosulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda: ” Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang orang yang beriman dengan sesuatau yang telah di perintahkan kepada para RosulNya. Maka Allah Ta’ala berfirman: * Wahai para Rosul makanlah kamu dari yang baik dan berbuatlah kamu dengan beramal sholeh. *Dan Allah Ta’ala berfirman [juga]: *Wahai orang orang yang beriman makanlah kamu dari yang baik yaitu dari apa yang Saya [Allah] rezekikan kepadamu *. Kemidian Beliau menyebut seorang laki laki yang panjang perjalananbya berambut kusut lagi berdebu sambil menadahkan tangannya ke langit seraya berkata: ” Wahai Tuhan ! wahai Tuhan ! sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan di kenyangkan dengan yang haram, bagaimana mungkin ia akan di kabulkan [permohonannya] “.

Allah adalah Dzat yang Maha Baik. (Thoyyib). Dzat yang disucikan dari kekurangan dan keburukan, yang selalu Indah untuk dipuji. Ialah satu-satunya dzat yang berhak untuk dipuji. Dan Ia hanya berkenan menerima sesuatu yang baik.

Sesuatu yang baik itu bisa jadi berupa amal, yakni amal yang bersih dari penghancur dan perusak amal, layaknya riya’, ujub, dan sebagainya.

Pihak yang amat rentan mengidap hal ini adalah para pejuang agama yang memiliki 3 modal besar, yakni ilmu, harta, dan keberanian berjihad. Semua akan sia-sia jika ternyata semua itu hanya semata demi popularitas dan status sosial, jauh dari niat karena Allah.

Padahal seseorang beribadah tak perlu melihat ibadahnya akan tetapi semestinya yang dipandang adalah al Ma’bud, Allah itu sendiri.

Atau bisa jadi berupa harta benda, yakni harta benda yang terbebas dari campuran syubhat apalagi haram.


عن أبي هريرة - رضي الله عنه - قال : قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم - : قال الله تبارك وتعالى : ( أنا أغنى الشركاء عن الشرك ، من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه ) رواه مسلم
“Allah Ta’ala berfirman: ‘Aku tidak butuh terhadap orang-orang musyrik atas kesyirikan yang mereka lakukan. Barangsiapa yang menyekutukan Aku dengan sesuatu yang lain, akan Ku tinggalakan ia bersama kesyirikannya‘” (HR. Muslim 2985)

Kullu minatthoyibat wa’malu sholihat, maknanya berarti mengkonsumsi makanan halal dan thoyyib, akan tetapi tidak sampai disitu, selanjutnya adalah beramal yang baik. Thoyyib yang dimaksud adalah thoyyib yang dimaksud oleh syara’, bukan sekedar thoyyib dalam hal rasa saja, atau yang dianggap lezat saja. Atau thoyyib disana bisa juga berarti makanan yang mempunyai nilai gizi yang baik bagi kesehatan tubuh, ditambah dengan halal. Seperti yang disebutkan dalam Surat al Maidah ayat 88:

وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.
Al Maidah 88

Tidak masalah pula seseorang mengkonsumsi makanan yang lezat yang memiliki nilai gizi yang baik. Sebab Allah ta’ala justru tak suka dengan orang yang bakhil, apalagi bakhil sama diri sendiri. Suatu saat dikala kita dapat rizqi yang banyak dari Allah, kita perlu juga mengkonsumsi makanan yang enak, seperti makanan sate atau gule. Sebab Allah suka implikasi nikmat yang Ia berikan nampak pada seorang hamba. Tentu saja ini dalam level hal, bukan level maqam. Yang penting jangan sampai berlebihan. Dan tentu saja yang penting lagi adalah jangan lupa membagi kenikmatan itu kepada orang lain.

Kehalalan ini amat berkaitan dengan teraihnya keberkahan hidup. Tak perlu berpayah-payah mengejar rizqi yang ternyata merupakan hal yang syubhat atau bahkan haram. Sebab percuma, membuat hidup takkan berkah. Lebih baik mencari rizqi yang halal meski sederhana. Keberkahan akan datang menemani hidup kita.


Allah hanya menerima amal baik yang dilakukan oleh seorang mukmin. Bagi orang kafir, meski ia melakukan amal sosial yang banyak. Amal mereka ibarat debu yang beterbangan, atau ibarat fatamorgana. Meski terkadang amal sosial yang mereka lakukan ada dampak positif yang akan mereka dapatkan dikala didunia, tidak di akhirat. Padahal al Kayyis adalah seseorang yang beramal demi kepentingan selepas mati.

Seorang Mukmin harus benar-benar jeli dan hati-hati dalam menyeleksi hal yang halal. Sebab kedekatan seorang hamba dengan Allah amat dipengaruhi oleh faktor konsumsi makanan, minuman atau pakaian dan hal lain. Perkara yang syubhat dan haram, baik berupa makanan, minuman, pakaian atu hal lain merupakan hijab yang menghalangi hubungannya dengan Allah. Doa-doa yang ia panjatkan takkan bisa tembus untuk kemudian di ijabah oleh Allah sebab hijab ini.

Ayahnya Abi Ihya dulu dikala mensowankan Abi Ihya’ kepada Mbah Faqih Langitan, Mbah Faqih sampai berpesan, “Ngapunten, Ihya’ niki ampun dikirimi duwit sangking gaji KUA njeh” (Maaf, Ihya’ jangan dikirimi uang dari gaji KUA ya). “Oh njeh niki khusus” jawab ayah Abi. Sebuah kehati-hatian Mbah Faqih yang demikian luar biasa.

Ya, memang kita kini memasuki era yang meski seseorang hati-hati sedemikian rupa, kita akan tetap terdampak debunya riba. Bagaimana kita melihat mekanisme ibadah haji saja mesti melalui bank yang pastinya dengan hal itu kita terlibat berkontribusi dalam zona riba. Uang yang halal demikian langka. Maka bertapa beruntungnya orang yang berpegang teguh dalam mencari rizqi yang halal. Islam berawal dalam kondisi asing, dan akan kembali asing, betapa beruntungnya orang-orang terasing.

Wallahu ta'ala a'lam.
Semoga bermanfaat

Selasa, 12 April 2016

AGAMA ADALAH NASEHAT

Diriwayatkan dari Tamim ad-Dari rodliyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Pilar dan pondasi agama adalah nasehat.” . “Untuk siapa ?”. Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin muslimin dan orang-orang muslim secara umum.”

Pilar dan pondasi agama adalah nasehat. Pernyataan ini menuntut seseorang berkewajiban memberikan nasehat. Sekalipun orang yang dinasehati enggan menerimanya. Yang jelas bahwa hukum asal memberikan nasehat adalah wajib. Seperti dalam hal menyampaikan ilmu (tabligh).

Addinunnashihah senada dengan pernyataan al Hajju Arofah, yang berarti pokok haji adalah Arofah. Hal ini merupakan sebuah jawamiul kalim yang merupakan bagian dari keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulillah. Sebuah kalimat yang singkat akan tetapi sarat dengan makna.

Nasehat demikian penting, ia merupakan bagian kehidupan dalam keberagaaman. Sehingga ummat bisa bersama-sama dalam satu kapal berlayar menuju dermaga kesuksesan.

“Man Qobila nasihah amina minal fadlihah waman aba fala yalumanna illa nafsah.” (Seseorang yang menerima nasehat, ia aman dari pengumbaran aibnya. Sementara orang yang menolak nasehat maka jangan mencela kecuali pada dirinya sendiri). Seseorang tak mungkin senantiasa berada dalam posisi benar, sehingga seharusnya ia mau menerima dikala dinasehati.

Pemberi nasehat ibarat seorang penjahit yang memegang benang lantas menjahit selembar kain sehingga jadilah baju yang rapi dan bagus. Sehingga seharusnya pemberi nasehat adalah sosok yang mampu mempertautkan hamba-hamba Allah, merajutnya sehingga menjadi seorang muslim yang baik.

Yang dinasehati seharusnya mencontoh karakter seekor anjing. Seekor anjing meski gonggongannya memekikkan telinga, sekujur tubuhnya penuh dengan najis yang berat, akan tetapi ia memiliki kesetiaan yang kokoh terhadap pemiliknya.

Dalam kitab Abuya, Ad Dakwah al Islahiyah, Abuya menjelaskan bahwa, "min muqowwamat al mujtama’ al islami al Nashihah", termasuk elemen masyarakat Islami adalah nasehat.

Seseorang semestinya tak memandang siapa yang memberi nasehat, apakah lebih tua, sebaya, atau lebih muda. seharusnya ia mau dengan legawa menerima nasehat dari siapapun. Sebab manusia pada dasarnya amat membutuhkan nasehat dari siapa saja. Sebab kondisi keimanan manusia yang dimaklumi satu waktu kuat dan bertambah, satu waktu yang lain lemah dan menurun. Nasehat ibarat resep dan saran dokter yang seharusnya sangat diperhatikan.

Abuya as Sayyid Muhammad dalam memberi nasehat kepada para santrinya sampai pada hal yang amat kecil, seperti dikala ada tamu tiga, sementara seorang santri menyiapkan cangkir enam yang semuanya di isi minuman. Abuya langsung respon: “ Berapa tamu?” “Tiga Abuya”, “Heh Dungu!, kenapa ini cangkirnya di isi minuman semua?”. Dalam kesempatan lain santri juga kena marah hanya sebab terbalik meletakkan kacamata.

Abi Ihya’ juga pernah di tampel Abuya dikala takbir shalat, beliau mengangkat tangan setinggi dada, sebab hal itu kata Abuya akan dinilai aneh oleh masyarakat Jawa yang umumnya bermadzhab Syafi’i. Sementara berdakwah adalah mencari simpati, tidak membingungkan, kecuali ketika diberi keluasan cakrawala ilmu terlebih dahulu.

Al Kayyis man dana nafsahu wa amila lima ba’dal maut. Orang yang cerdas adalah orang yang:
-Membiasakan diri untuk taat kepada Allah
-Muhasabah diri
-Mengalahkan nafsunya
-Syariah, dan tunduk kepada Allah
Serta beramal untuk kepentingan selepas mati.

Agama ini adalah nasehat untuk Allah ta’ala. Maksudnya adalah nasehat ini kembali kepada diri seseorang sendiri, bagaimana seseorang memproses diri untuk mengenal Allah secara benar. Beriman kepada Allah. Menafikan kesyirikan, meng-Esa-kan Allah dalam dzat, sifat, dan pekerjaan. Mengenal sifat dan asma Allah ta’ala. Menjalankan perintah Allah, menjauhi larangannya. Mencintai karena Allah, membenci karena Allah. Mengakui nikmat dan mensyukurinya. Ikhlas dalam setiap keadaan.

Allah adalah Esa, pencipta semesta alam raya. Seluruh makhluk takkan mampu melawan kekuasaan Allah ta’ala. Sesuatu yang paling kecil takkan bergerak kecuali Allah yang membuatnya bergerak. Tak ada seseorang yang ikut campur mengatur kekuasaannya. Ialah dzat yang Maha hidup, semua apapun itu dalam pengawasan Allah, bahkan daun yang jatuh Allah Maha mengetahui. Allah mengerti seluruh jumlah sesuatu apapun. Ialah Allah yang maha berkehendak. Allah Maha Mulya, Hanya Allah yang berhak dipuji. Apa yang dikehendaki Allah takkan ada yang mencegah, dan apa yang tak dikehendaki Allah takkan pernah ada yang mengadakan.

Agama ini adalah nasehat untuk kitab Allah, maksudnya adalah kita harus mengerti bahwa seluruh kitab yang diturunkan dari Allah. Baik Taurat, zabur, injil, maupun Al-Quran semuanya dari Allah. Akan tetapi al-Quran memiliki keistimewaan, seseorang takkan pernah kuasa untuk menandingi al-Qur’an dengan surat terpendek sekalipun. Bagaimana kita selalu mencintai al-Qur’an dengan senantiasa membacanya dengan khusyu dan berstandar tajwid. Memahami dan mendalami ilmu al-Qur’an. Memulyakan al-Quran. Mengamalkan ayat muhkam bukan ayat mutasyabbihat. Menuruti mauizhohnya. Dan membahas dan mempelajari ulumul Qur’an. Senang menyebarkan dan mengajak kembali kepada al-Qur’an.

Agama ini adalah nasehat untuk Rasul-Rasul Allah, maksudnya adalah dengan membenarkan risalahnya, mengimani apa yang dibawa Rasulullah. Kesanggupan untuk taat kepada Rasulillah dalam perintah dan larangannya. Selalu mengikatkan diri dan keinginan dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah. Menjadikan Rasul sebagai ukuran dan standar dalam bersikap dan bertindak. Menjadikannya sebagai teladan untuk menjalani kehidupan. Menghidupkan sunnahnya. Seorang mukmin yang diterima ketauhidannya adalah yang selalu mengikuti Rasulillah, sebaliknya seseorang yang selalu menuruti hawa nafsunya, tak mau mengikuti Rasulillah, berarti ia telah kafir. Belajar hadits dengan benar. Menghormati ahlulhadits. Berakhlaq dengan akhlaq Rasul, beradab dengan adab Rasul. Mencintai Rasul, ahlul bait dan sahabat-sahabatnya. Menjauhi orang yang suka mencaci dan mencela ahlul bait dan para sahabatnya.

Agama adalah nasehat bagi para pemimpin muslim, maksudnya adalah dengan menasehati pejabat, Rasul berwasiat: “Tidak boleh terkhianati tiga hal ini, ikhlas beramal karena Allah, memberi nasehat dengan para pejabat pemerintah, dan menetapi jamaah muslimin.”, membantu mereka dengan kebenaran, mengingatkan mereka dengan hal dan urusan yang mereka lupa, mendoakan mereka agar diberi kebaikan dalam menjalani tugas, menghindari keluar dari sistem Islamy, berjihad bersama mereka, perintah yang baik kita turuti dan perintah yang jelek kita hindari.

Agama adalah nasehat bagi seluruh orang muslim, maksudnya adalah dengan menunjukkan mereka agar bisa memperbaiki urusan akhirat dan dunia, tak membuat mereka terganggu, menutup cela dan aib mereka. Mencintai mereka dengan sebuah hal yang kita cintai. Gembira dengan kegembiraan yang dirasakan orang lain. Jangan sampai menipu mereka. Memberikan peringatan kepada mereka dengan lemah lembut dan indah, sebab dengan cara ini justru yang paling bisa diterima.


WALLAHU TA'ALA A'LAM
SEMOGA BERMANFAAT

Robbana taqobbal minna...

Minggu, 10 April 2016

BERDOALAH, ALLAH AKAN KABULKAN

عن علي رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " الدعاء سلاح المؤمن وعماد الدين ونور السموات والأرض".
Rasulullah bersabda: “Doa adalah senjata seorang mukmin, pilar agama, dan cahaya langit dan bumi.”
========================================

Dalam Surat al-Mukmin ayat 60, Allah ta’ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Rabb-mu berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina'." – (QS.40:60)

Semua ayat dalam al-Qur’an adalah firman Allah, namun dalam ayat diatas justru Allah berfirman dengan bahasa : “Waqola robbukum”, Dan Tuhanmu berfirman. Sebuah isyarat bahwa dalam doa ada hal yang perlu dipahami secara detail. Dan jika kita lihat, bahasa “Ud’uni” adalah sebuah bahasa perintah. Sementara "Astajib lakum" berarti Allah sendiri yang berjanji akan mengabulkan. Maka seseorang tak perlu risau dan galau, semua doa pasti akan diterima. Tentu saja dengan syarat, adab, dan ketentuan yang berlaku.

Diantaranya syarat dan ketentuan dalam berdoa, adalah:

- Seseorang yang berdoa harus memiliki pendirian yang teguh dan kesemangatan yang menggebu ( Nafsun Fa’alah). Bagaimana ia meminta dengan kesungguhan dan keseriusan. Jangan sampai mengekspresikan kemalasan, apalagi sampai mengantuk.

-Doa yang dipanjatkan harus merupakan doa yang disukai oleh Allah. Allah tidak suka dengan doa yang kontennya sebuah pemutusan kekerabatan, atau berupa dosa. Seperti berdoa agar dijadikan seorang artis terkenal.

-Seseorang yang berdoa harus menjaga diri dari mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram, juga memakai pakaian dan barang yang haram.
Seseorang yang berdoa harus menjaga diri dari menzhalimi orang lain, seperti mencuri, korupsi, dll.

-Seseorang yang berdoa harus menghindari diri dari melakukan dosa. Mempergunakan waktu dengan aktivitas yang berfaedah. Berusaha selalu sambung kepada Allah.

-Lebih dianjurkan berdoa dengan menggunakan asmaul husna, seperti mendoakan orang sakit dengan “as’alullahal azhim Robbal arsyil azhim ayyasyfiyah”. Pada waktu perang badar, perang yang menjadi embrio kekuatan Islam. Rasulillah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah dengan memanjatkan doa: “Ya hayyu ya Qoyyum birohmatika astaghits”. Rasul membacanya dengan berulang-ulang begitu lama. Sampai Sayyidina Ali kembali dari perang, Rasulillah masih terus membacanya. Sehingga doa ini amat pas dipakai ketika dalam kondisi sulit.

-Berdoa dengan berulang-ulang. Rutin dalam memanjatkannya. Seperti membaca al-Fatihah.

-Berdoa tidak menunggu kondisi susah, akan tetapi juga dalam kondisi gembira dan lapang.

-Berdoa tidak menunggu butuh, akan tetapi bisa sebelum butuh. Seperti seseorang yang belum hendak menikah, ia sudah merutinkan membaca doa: “Robbana hablana min azwajina wadzurriyyatina qurrota a’yun waj ‘alna lilmuttaqina imamah”.

Allah ta'ala berfirman:

قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا

"Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): 'Rabb-ku tidak mengindahkan kalian, melainkan kalau ada doa kalian. (Tetapi bagaimana kalian berdoa kepada-Nya), padahal kalian sungguh telah mendustakan-Nya, karena itu kelak (azab) pasti (menimpa kalian)'." – (QS.25:77)

Dalam ayat ini, ada yang memaknai “dua’ukum” dengan makna “doa kalian” (du’aukum). Sehingga memiliki makna bahwa seseorang akan dipedulikan dan diindahkan oleh Allah dengan doanya. Meski memang ada pula yang memaknai dengan makna yang lain, yakni: “ibadah kalian” (ibadatukum) dan “iman kalian” (imanukum).

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (al-Baqarah 2:186).

Pada ayat diatas, redaksi “Falyastajibuli” memiliki makna bahwa doa mengandung aturan yang harus dipenuhi jika doa kita ingin diterima. Yakni dikala berdoa kita harus mengekspresikan rasa butuh, merendahkan diri. (iftiqor). Sebab dengan berdoa berarti kita meminta, dan dalam meminta kita semestinya memperlihatkan ketundukan, serius, fokus, mengaktifkan dzauq, dan jangan menunjukkan ekspresi kemalasan seperti tidak mengangkat tangan. Sementara ungkapan “Wal yu’minu bi” mengisyaratkan bahwa dalam berdoa kita mesti yakin bahwa doa yang kita panjatkan pasti dikabulkan, seperti yang pernah di sampaikan Rasulillah:

عن أبى هريرة قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “ادعوا الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه”،

Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Berdoalah kepada Allah, sedangkan kalian yakin akan dikabulkan doa kalian. Ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (Imam Ahmad)

Doa ma’tsur dari Al-Qur’an atau al-Hadits meski barangkali kita memanjatkannya dengan tanpa atau kurang fokus, tapi doa ma’tsur ibarat sebuah keramat gandul.

Senjata itu mesti dipersiapkan. Dan doa merupakan senjata. Sehingga seharusnya doa merupakan hal yang selalu membersamai usaha, dipersiapkan semaksimal mungkin. Jangan hanya mengandalkan usaha tanpa doa, tak menganggap doa sebagai suatu hal yang penting, atau menganggap doa sebuah hal yang sekedarnya saja, tapi bagaimana usaha apapun mesti dibersamai dengan doa.

Doa adalah pilar agama, sehingga jika seseorang memiliki sandaran, ia tak akan mudah stress dan galau. Doa juga cahaya langit dan bumi. Cahaya doa melesat dari bumi, menuju langit, sampai ke kursi, tembus ke arsy, bertolak ke sidratul muntaha, dan pada akhirnya sampai ke mustawa.

Ad-Dua huwal ibadah. Doa adalah barometer ibadah, sebab pada waktu berdoa seseorang mesti menampakkan rasa butuh dan ketundukan pada Allah, menampakkan bahwa manusia tak memiliki daya upaya, hanya Allah semata yang punya. Bahkan jika perlu seseorang sampai menangis, berlinang air mata. Maka Semestinya doa dijadikan sebuah barometer dalam mengerjakan setiap ibadah. Apa yang terkandung dalam doa, kita bawa dikala mengerjakan ibadah yang lain. Kita tampakkan rasa butuh dan ketundukan semacam ini dikala shalat dan wirid atau kala mengerjakan ibadah yang lain.

Doa merupakan ibadah teragung. Doa juga merupakan hakikat ibadah. Ia bisa dilakukan dimana saja bahkan dikala kita akan masuk WC. Shalat secara harfiah memang berarti doa, akan tetapi shalat memiliki ketentuan yang wajib dilaksanakan yang membuat ia tak bisa dilakukan di segala kondisi.

Ad-Dua mukhul ibadah. Doa adalah inti ibadah. Sebab dalam doa seseorang mengekspresikan rasa butuh hanya kepada Allah. Menunjukkan bahwa yang memiliki daya upaya hanya Allah. Salah satu cara mengekspresikannya adalah dengan cara mengangkat tangan. Mengangkat tangan disesuaikan dengan tempat dan kondisinya. Dikala akan shalat mengangkat kedua tangan dan membukanya tinggi-tinggi. Kala khutbah di mimbar jum’at dengan mengangkat jemari telunjuk tangan kanan. Dikala doa meminta hujan dengan mengangkat kedua tangan dengan posisi terbalik, telapak tangan ke arah bawah.

Dalam pengkabulan doa, Allah menerapkan berbagai model. Ada yang langsung di berikan kala di dunia. Ada yang diakhirkan di akhirat. Ada pula diganti dalam bentuk pengampunan dosa. Semua doa pasti dikabulkan hanya saja tak boleh tergesa untuk segera diberikan, dan tak boleh berupa pemutusan kekerabatan. Nabi Musa saja harus menunggu hingga 80 tahun baru selepas itu doanya dikabulkan.

Semoga bermanfaat

Selasa, 05 April 2016

OLOK-OLOK KECEMOK

Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam menyampaikan bahwa, “Sesiapa yang menghina saudaranya sebab sebuah dosa, ia takkan mati sampai melakukan dosa yang sama.” Dalam redaksi Ahmad bin Mani’: “sebab sebuah dosa yang telah ditaubati”.

Hadits diatas masih mengenai betapa kita harus hati-hati dalam berbicara. Seseorang yang diam akan selamat.

Setiap orang tiada yang sempurna, sebaik-baiknya orang mesti memiliki aib, kesalahan dan kekurangan. Dan sebaliknya sejelek-jeleknya orang mesti memiliki kebaikan, dan kelebihan. Sehingga seharusnya seorang muslim lebih mengedepankan husnuzzhon, dan positif thinking. Seharusnya kita senantiasa mengoreksi diri sendiri, mengintropeksi kesalahan dan aib diri sendiri. Tidak perlu mengumbar dosa dan kesalahan orang lain, mengoreksi dan mengintropeksi pihak lain. Bisa jadi pada suatu saat kita akan diuji dengan kesalahan yang sama. Apalagi jika yang dihina sudah lepas dari dosa dan khilaf yang pernah ia lakukan dengan mentaubatinya. Dalam pepatah jawa dikatakan: “Olok-olok kecemok”.

احذر لسانك أن يقول فتبتلى إن البلاء موكل بالمنطق

Jaga lidahmu untuk berujar dari petaka
Sebab petaka itu bergantung pada ucapan

Kenapa hal ini terlarang?. Sebab disana tersimpan perasaan bangga diri (I’jab binnafsi), sok suci, merasa lebih baik dari temannya. Namun jika dalam memaparkan kefasikan dan dosa seseorang, kita berupaya supaya orang lain tidak terjebak dan menjadi korban dalam keburukan yang ia lakukan, atau untuk menyelamatkan orang lain dari perilaku jahatnya. Maka hal ini tidak berdosa, juga tidak tergolong dalam ghibah yang terlarang.

Seorang murid yang cerdas luar biasa, selalu lulus dalam setiap ujian. Namun pada suatu saat ia mengungkapkan sebuah pernyataan negatif, “Alah Cuma ujian aja!”. Ternyata dikala ia menjalani ujian tiba-tiba ia kehilangan apa yang ia kuasai, seolah pikirannya blank, ia tidak bisa berfikir.

Seorang anggota Hawary Nabi Musa pernah bertemu dengan pendosa sehingga terlintas didalam hati sebuah ungkapan merendahkan. Malaikat Jibril turun untuk memberitakan kepada Nabi Musa: “ Si fulan itu pecat saja, ia tidak pantas jadi hawary!.”

Dalam hidup kadang kita temukan tipe orang yang tak tahu terimakasih, abai begitu saja dengan kebaikan dan jasa yang pernah kita lakukan, atau bahkan kebaikan itu justru dibalas dengan sebuh hal yang menyakitkan, yang dalam istilah jawa hal semacam ini dikenal dengan term “Di tulung mentung”, maka kita mesti berusaha untuk tiada mengumbar aib dan cela yang ia derita, juga tiada perlu melancarkan minnah, yakni mengungkit kebaikan yang pernah kita tanamkan itu. Sebab kita sudah demikian banyak mengorbankan waktu, tenaga dan apa saja dalam melakukannya, jika terselip minnah dalam hati kita maka semua amal itu akan hangus sia sia. Cukup balasan dari Allah yang menjadi harapan dan idaman kita, tiada perlu sama sekali kita mengharap balasan kebaikan yang kita lakukan dari manusia. Rasulullah berpesan, “A’thi man haromaka, beri seseorang yang tak mau memberimu!.”

Abuya meski memiliki tempramen tinggi namun ia memiliki hati yang demikian lapang. Ada murid yang tak mengerti berterimakasih, air susu dibalas dengan air tuba. Saking begitu keterlaluannya tak jarang sampai para murid yang lain tega mengatakannya dengan kalimat “fulan celeng!”. Di kala Abuya berkunjung ke Singapura, tak dinyana murid itu datang, namun justru Abuya menyambutnya: “ Ahlan wasahlan, gimana kabarnya?”.

من جاءنا فمرحبا به ومن صد عنا يكفينا صدوده
Sesiapa yang mendatangiku maka marhaban selamat datang dan sesiapa yang menentangku, cukup bagiku pertentangannya

Inilah tasawuf yang demikian tinggi. “Laisa at-Tasawwuf fisshuthur, innama at-Tasawwuf fisshudur. Tasawuf letaknya bukan di buku, melainkan dihati!”.

Bahwa hidup itu adalah ladang ujian. Seseorang akan mendapatkan ujian dari berbagai arah. Ada yang di uji dengan hadirnya seorang istri, yang lain diuji dengan temannya, ada pula yang diuji melalui anaknya, dan lain-lain.

Jika saja kita dimusuhi seseorang, lantas orang yang kita musuhi mendapatkan musibah, kita tiada boleh untuk menampakkan kegembiraan dalam hal itu. Jangan sampai jika ada seseorang yang memusuhi kita lantas mendapatkan musibah, katakan ia tertabrak mobil, kita langsung mengadakan semacam slamatan atau tasyukuran. Siapa tahu Allah membalik semuanya sehingga akhirnya kita diuji dengan hal yang sama dan orang yang kita musuhi justru mendapatkan rahmat dari Allah.

Kalau bisa dengan orang yang memusuhi kita, kita terus berusaha berbuat baik. Abuya hidupnya seperti itu. Jika ada yang memusuhi Abuya, justru Abuya menyuruh untuk mengirimkan gula dan makanan untuk orang itu.

Akhir catatan, kita perlu mengkonsistenkan sebuah doa yang diajarkan Rasulillah ini, yakni: Allahumma inni audzubika min jahdil bala’ wa darkissyaqo’ wa su’il qodlo wa syamatatil a’da’. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari musibah yang berat, celaka yang amat dalam, dan ketentuan yang buruk, serta kegembiraan para musuh terhadap musibah yang menimpa kita.

Semoga bermanfaat
Rabu, 6 April 2016

Senin, 04 April 2016

SEKELUMIT KISAH TENTANG PERANG MU'TAH

Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke-8 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.

Pemicu peperangan ini adalah terbunuhnya Al Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah Saw kepada Raja Bashra. Tiga ribu orang tentara berkumpul usai Rasulullah Saw menyerukan supaya kaum muslimin agar berangkat menuju Syam.

Rasulullah Saw sendiri tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian, perang ini bukan ghazwah, melainkan sariyah. Namun demikian, hampir semua ulama sirah menamakannya ghazwah karena banyaknya jumlah kaum Muslimin yang berangkat dan arti penting yang dikandungnya.

Sebelum berangkat, Rasulullah Saw berpesan kepada mereka, “Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila Ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.” Selanjutnya, Nabi Saw mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya disana, mereka menyerang dengan meminta pertolongan kepada Allah.

Ibnu Ishaq berkata: "Rasulillah melepas kepergian para sahabat beserta para panglima mereka dikala keluar dari Madinah. Di sela-sela pelepasan itu, Abdullah bin Rawahah menangis. Para sahabat menanyainya: "Apa yang membuat kau menangis?"

Ia menjawab: "Demi Allah aku tak mencintai dunia dan juga tak terikat pada kalian. Akan tetapi aku mendengar Rasulullah dikala membaca suatu ayat dari Al-Qur'an, beliau menuturkan tentang neraka:

{ وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71

Artinya: 'Dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan'

"Aku tak tahu bagaimana، apa yang akan menimpaku dikala aku melewatinya.""

Sahabat yang tak ikut berperang berteriak, berseru dikala mereka para pasukan sedang berjalan: "Semoga Allah menjadi pembela kalian dan kalian kembali kesini dalam kondisi baik-baik saja." Lantas Abdullah bin Rawahah berkata:

"Akan tetapi aku memohon ampunan kepada Allah yang Maha pengasih، pukulan yang tajam yang menghempaskan buih, atau tikaman pada tanganku yang haus yang mematikan, pada peperangan yang mengoyak bagian dalam tubuh dan hati, sampai dikatakan dikala orang-orang melewati kuburanku, semoga Allah membimbing orang yang telah berperang, bahwa ia telah mendapatkan petunjuk."

Setelah kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah, musuh pun mendengar keberangkatan mereka. Mereka kemudian mempersiapkan pasukan yang jauh lebih besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraklius mengerahkan lebih dari seratus ribu tentara Romawi, sedangkan Syurahbil bin Amr mengerahkan seratus ribu lagi tentara yang terdiri atas kabilah Lakham, Judzan, Qain, dan Bahra’.

Mendengar berita ini, kaum Muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah Mu’an guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang di antaranya berpendapat, “Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah Saw guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi atau memerintahan sesuatu yang harus kita lakukan.” Akan tetapi, Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Ia bahkan mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api:

“Hai saudara-saudara, mengapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itulah, marilah kita maju! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari dua kebajikan: menang atau mati syahid.”

Lalu pasukan kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum Muslimin. Zaid bin Haritsah bersama kaum Muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung tombak musuh. Ja’far kemudian mengambil alih panji peperangan dan maju menerjang musuh dengan berani. Di tengah sengitnya pertempuran, ia turun dari kudanya lalu membunuh, melesat, menerjang pasukan Romawi seraya bersyair,

“Alangkah dekatnya surga!
Harumnya semerbak dan segarnya minuman.
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi
Yang kafir nun jauh nasabnya
Pastilah aku yang memeranginya.”

Ia terus maju bertempur sampai tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan. Semuanya di bagian depan. Panji peperangan kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia maju memimpin pertempuran seraya bermadah,

“Wahai jiwa, engkau harus terjun
Dengan suka atau terpaksa.
Musuh-musuh telah maju ke medan laga.
Tidakkah engkau rindukan surga.
Telah lama engkau hidup tenang
Engkau hanya setetes air yang hina.”

Ia terus maju bertempur sampai gugur menjadi syahid. Kaum Muslimin kemudian menyepakati Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Ia kemudian menggempur musuh hingga berhasil memukul mundur. Pada saat itulah, Khalid mengambil langkah strategi menarik tentaranya ke Madinah.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita gugurnya tiga orang panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far, dan Rawahah kepada mereka. Beliau kemudian bersabda, “Zaid memegang panji, kemudian gugur. Panji itu diambil oleh Ja’far dan ia pun gugur. Panji itu diambil oleh Ibnu Rawahah dan ia pun gugur...” Saat itu, beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan sabdanya, “... Akhirnya panji itu diambil oleh ‘Pedang Allah’ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniakan kemenangan kepada mereka (kaum Muslimin).”


Hadits ini menegaskan seperti yang nampak bahwa, Allah ta'ala mendukung kaum muslimin dengan pertolongan pada akhirnya. Tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian periwayat sirah bahwa pasukan muslim dipukul mundur dan bercerai berai, dan selepas itu mereka kembali ke Madinah. Mungkin maksud dari ucapan ini adalah bahwa pasukan muslim tak mengejar orang Romawi dan orang yang bersama mereka dikala mereka kocar kacir. Pasukan muslim mencukupkan dengan tersibaknya pos-pos mereka, karena ketakutan yang mereka rasakan terhadap pasukan muslim. Kaum muslim akhirnya berbelok kembali ke Madinah, dan tak diragukan lagi bahwa hal ini adalah taktik jitu yang diterapkan oleh Khalid bin Walid rodliyallahu anhu.

Ibnu hajar berkata: "Terdapat dalam kitab mengenai peperangan milik Musa bin Uqbah, dan ini adalah riwayat yang paling sahih, ia berkata: Lantas panji itu diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah sampai ia gugur. Kemudian Pasukan muslim sepakat mengangkat Khalid bin Walid. Sehingga Allah mengalahkan musuh dan memenangkan pasukan muslim. "

Al Imad bin katsir berkata: "Bisa jadi dua pendapat ini dikorelasikan bahwa Khalid bin Walid memegang kaum muslimin dan bermalam, kemudian memasuki pagi ternyata ia rubah kondisi pasukan, pasukan sayap kanan dijadikan pasukan sayap kiri, dan pasukan sayap kiri dijadikan pasukan sayap kanan, agar pihak musuh menduga bahwa bala bantuan pasukan muslim telah tiba. Akhirnya Khalid berhasil memukul mundur mereka, dan mereka berhasil meloloskan diri, Khalid tak mengejarnya dan menganggap bahwa kembali dengan kaum muslimin adalah harta rampasan perang (ghonimah) terbesar."

Menjelang masuk kota Madinah, pasukan kaum Muslimin disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda, “Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikanlah kepadaku anak Ja’far!” Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja’far dan digendong oleh Nabi Saw.

Orang-orang meneriaki pasukan dengan ucapan, “Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah.” Akan tetapi, Rasulullah saw membantah mereka dengan bersabda, “Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mundur untuk menyerang balik, insya Allah.”

Wallahu a’lam.

Semoga bermanfaat.
Selasa, 5 April 2016

Sumber: Fiqh Sirah, as-Syahid as-Syaikh Dr. Muhammad Said Ramadlan al-Bouthy

Minggu, 03 April 2016

SUSU, SEBUAH ISYARAT FITRAH

Suatu saat Abu bakar bercerita: “Dikala kami keluar bersama Rasulillah dari Makkah ke Madinah, kami melewati seorang penggembala, sementara Rasulillah dalam kondisi kehausan. Lantas aku perahkan sedikit susu untuk beliau, aku mendatangi beliau dengan membawa susu itu. Beliau meminumnya sampai aku lega.

Dalam hadits ini, ada sekian kemungkinan yang terjadi, bisa jadi si penggembala kambing adalah kafir harby, kafir yang legal untuk diperangi yang harta bendanya boleh untuk dikuasai (al istila’ ala malih), sehingga tak masalah jika Sayyiduna Abu Bakar langsung begitu saja memerah susu kambing itu tanpa meminta izin terlebih dahulu. Bisa jadi seorang penggembala itu adalah seorang penunjuk jalan ke Madinah sehingga diperbolehkan untuk mengambil susunya. Atau barangkali sudah merupakan kebiasaan bahwa kala ada orang lewat diperbolehkan bagi mereka untuk memerah dan meminum susu penggembala kambing. Atau barangkali karena sebab darurat.

Ada banyak ragam kafir. Dan istilah kafir harby, yakni kafir yang legal untuk diperangi berlaku hanya ketika saat-saat berperang. Kita tidak boleh semena-mena menuduh seseorang sebagai kafir harby, kemudian merampas harta bendanya.

Seseorang yang menemani, atau khodim harus cerdas, harus peka dalam keadaan yang terjadi. Tidak melulu mesti disuruh terlebih dahulu baru mengerjakan. Tapi mesti tanggap dengan apa yang semestinya dia lakukan. Sayiduna Abu Bakar dalam hal ini tanpa disuruh terlebih dahulu, ia langsung tanggap dan mengerti bahwa Rasulillah dalam keadaan kehausan. Sehingga ia berusaha mencari sesuatu untuk menghilangkannya.

Mengenai masalah susu, disamping memang susu halal secara hukum, namun disisi lain susu mengandung isyarat kesucian dan fitrah. Bahwa orang Islam hidup mesti dilingkupi dengan kesucian.

Dahulu, dikala Rasulillah sedang Mi’roj, beliau di suguhi susu dan khomr, ternyata Rasulillah lebih memilih meminum susu. Sehingga Malaikat Jibril berkata: “Segala puji bagi Allah yang menunjukkanmu kepada kesucian, jika saja kau pilih khomr, maka ummatmu akan tersesat dan terperangkap kedalam keburukan.”

Agama Islam tak akan seperti yang dialami oleh Bani Israil. Mereka berani merubah prinsip pokok dan mendasar dalam beragama. Kita akan terus menemukan didalam Islam thoifah-thoifah yang konsisten menegakkan hak dan membela agama Islam. Meski memang pergeseran nilai senantiasa terjadi dan merupakan sebuah hal yang tak bisa dihindari.

" لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك " رواه مسلم ( 1920 )

“Ada sekelompok dari umatku, mereka tetap berada pada kebenaran, mereka tidak akan terpengaruh oleh orang yang menghinanya, sampai datang keputusan Allah, dan mereka pun dalam kondisi seperti itu”. (HR. Muslim 1920 )

Semoga kita termasuk thoifah yang selalu konsisten dalam kebenaran, tak terpengaruh hanya sebab godaan dunia yang amat sedikit ini. Amin ya Robbal alamin.

Semoga bermanfaat
Senin, 4 April 2016