Senin, 26 September 2016

Doa Seorang Guru Dambaan Setiap Santri

Syabib Ibn Al Ghorqodah berkata: Aku mendengar banyak orang dari Bani al Bariqy menceritakan, dari Urwah bin al Ja'd al Bariqy, seorang Qodhi perdana di negeri Kufah. Bahwa Rasulullah memberinya satu dinar, agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau. Maka ia pun membelikan dua ekor kambing untuk beliau. Lalu ia berinisiatif untuk menjual salah satu kambing itu dengan harga satu dinar. Sehingga ia datang menemui Rasulullah dengan membawa seekor kambing dan plus uang satu dinar. Tersebab merasa senang dengan apa yang ia kerjakan, Rasulullah seketika mendoakan keberkahan dalam jual belinya. Dan konon setelah itu, jika ia semisal menjual debu saja, ia pasti akan mendapatkan laba. 3642

Bagaimana kita melihat seorang Urwah mendapatkan doa Rasulullah tanpa meminta terlebih dahulu. Dan kemudian ia merasakan betapa memang doakan keberkahan beliau benar-benar diijabah oleh Allah. Dalam satu kesempatan, Urwah pernah bercerita, “Aku masuk pasar Kufah untuk berdagang, maka aku mendapatkan laba 40.000 dirham.” Padahal pada waktu itu uang 8 dirham sudah sangat cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Maka sebagai seorang santri, kita harus berusaha menyuguhkan khidmah terbaik sehingga bisa membuat guru atau orang yang kita khidmahi merasa senang. Munculkan ide-ide cemerlang yang bisa membuat senang. Dan jangan hanya menunggu perintah.

Abi Ihya’ ketika masih menjadi santri, di kala Abuya al Maliki di Thoif, Abuya ingin untuk qodlil hajah. Maka beliau bergegas mengecek WC terlebih dahulu, ternyata WC yang ada dipenuhi dengan kotoran. Tanpa pikir panjang beliau langsung membersihkannya memakai tangan. Selepas selesai, ternyata Abuya tahu tentang apa yang dikerjakan santrinya itu. Sehingga beliau langsung mendoakan: “Barokallohu fik, Barokallohu fik, barokallohu fik.”

Seharusnya seseorang dikala mendapatkan hal yang menyenangkan dari orang lain, ia menyambutnya dengan mendoakan orang itu dengan kebaikan. Barokallohu fik.

Selain itu, doa adalah sebuah hal yang selayaknya dimintakan kepada seorang shalih. Sebab hanya doa sebuah hal yang paling layak dan pas untuk dimintakan kepada mereka. Meski barangkali mereka menawarkan kepada kita untuk meminta kebutuhan apa saja. Akan tetapi doa mereka lebih penting untuk kita mintakan daripada harta benda atau yang lainnya.

Abi Ihya’ memiliki tugas khidmah menjaga telefon dari Abuya disetiap malam sabtu di kantor As-Shofwah Surabaya. Di setiap akhir percakapan dengan Abuya, Abuya pasti menawarkan kepada Abi: “Isy lak hajah?”, “Kau pengin apa?”. Dan disetiap itu pula Abi selalu menjawab: “Ad-da'awat Abuya”, “Cukup doa Abuya”.

Sayyidina Anas juga mendapatkan doa Rasulullah yang berupa tiga hal, panjang umur, keberkahan rizqi, dan banyak anak. Dan lihat ia diberi umur panjang lebih dari seratus tahun, rizqi yang ia dapat dari ladang sukses besar bahkan bisa dipanen lebih banyak dari kebanyakan orang, dan anak turunnya beliau lebih dari 500 anak cucu.

Dalam hadits di atas. Urwah memang menjual sebuah kambing yang bukan miliknya. Akan tetapi karena tujuannya tiada lain adalah untuk menyenangkan Rasulullah, menurut Qoul Qadim hal ini diperbolehkan. Namun menurut Qoul jadid hal ini tidak diperbolehkan sebab ada hadits Hakim bin Hazm yang menyatakan: “La tabi' ma laisa ‘indak!”, Jangan kau jual apa yang bukan milikmu.

Imam Rifa'i seorang Penggagas Thoriqoh Rifaiyyah pernah menghidupkan tanah tak bertuan (Ihya' al Mawat) di Mesir. Sehingga tempat itu menjadi ramai dengan kegiatan keagamaan. Di suatu hari ia didatangi seorang yang mengaku sebagai pemilik tanah. Tanpa pikir lagi, beliau langsung mempersilahkan orang itu jika ingin mengambil alih kepemilikan tempat tersebut.

Hal ini memberikan pelajaran yang teramat besar. Jika suatu saat ada hak yang kita miliki dirampas oleh orang, kita harus belajar untuk bersikap legawa. Yakinkan dalam diri bahwa Allah akan mendatangkan sebuah ganti yang lebih besar dan agung untuk kita. Sebuah hal yang mudah sekali diucapkan, tidak demikian dalam ranah pengamalan.

Wallahu ta'ala a'lam
#TaklimShohihMuslim

Minggu, 25 September 2016

Bagaimana Cara Minum Ala Rasulullah

Kita sudah mengerti, betapa Rasulillah shalallahu alaihi wasallam adalah seorang figur yang mengajari adab tentang sebuah hal dengan demikian detail. Maka seharusnya dalam setiap apa yang beliau ajarkan itu, kita ambil hal itu sebagai sebuah tuntunan. Sebab maklum bahwa apa yang beliau ajarkan tak ada lain kecuali merupakan sebuah wahyu yang di wahyukan.

Seperti dalam cara bagaimana Rasulillah makan dan minum. Karena dengan mengikutinya disamping merupakan bukti kecintaan kita, sebuah cara menghidupkan sunnah, ternyata apa yang diajarkan Rasulillah amat banyak menyimpan hikmah.

Kita melihat betapa seseorang mendapatkan gelar doktor hanya sebab ia meneliti manfaat menjilati jemari selepas makan dari hadits yang mengajarkan hal itu. Orang lain mendapatkan gelar doktor sebab meneliti hikmah tentang perintah Rasul supaya mencelupkan sekalian lalat yang hinggap di minuman kita. Oleh sebab itu, kita seharusnya mencontoh apa yang beliau teladankan, dan tidak perlu bertanya-tanya dan protes tentang hal itu.

Rasulillah adalah seorang Nabi yang jarang menderita sakit, ada yang menyebutkan bahwa Rasulillah hanya sakit dua kali selama hidupnya. Maka hal ini seharusnya yang kita contoh, bagaimana beliau melakukan kiat-kiat dalam menjaga kesehatan, terlebih dalam makan dan minum.

Rasulillah mengajarkan jika kita hendak makan dan minum agar jangan sampai berlebihan. Larangan semacam itu muncul ternyata adalah sebuah isyarat bahwa makan minum berlebihan mengandung banyak akibat negatif, lebih-lebih dalam masalah kesehatan. Dan kesehatan mengungkapkan fakta bahwa mayoritas penyakit dipicu oleh makan dan minum yang berlebihan.

Selain itu, Rasulillah mengajarkan agar supaya ketika kita hendak minum. Kita jangan sampai bernafas di dalam minuman yang kita minum. Sebab ternyata setelah diteliti, nafas yang kita lepaskan di minuman mengandung CO 2 yang tidak baik bagi kesehatan.

Sebaiknya jika kita ingin bernafas, kita bernafas di luar gelas atau diluar tempat minuman itu. Dan jangan juga meminum dengan sekali teguk, akan tetapi apa yang diajarkan Rasulillah adalah meminum dengan tiga kali tegukan. Satu lagi, jangan lupa untuk membaca basmalah dan mengakhirinya dengan hamdalah. Sebab Rasulillah melakukan hal itu, bahkan Rasulillah membaca basmalah dan hamdalah di setiap tegukan. Dalam sebuah hadits di sebutkan:

ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﺘﺎﺩﺓ، ﻋﻦ ﺃﺑﻴﻪ، «ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻧﻬﻰ ﺃﻥ ﻳﺘﻨﻔﺲ ﻓﻲ اﻹﻧﺎء»

Dari Abdillah bin Abi Qatadah, dari ayahnya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang bernafas di dalam bejana/gelas.

Di riwayat yang lain, Rasulillah menghela nafas di luar gelas atau minuman tiga kali. Dan hal itu seperti yang dijelaskan Rasulillah di nilai lebih menyegarkan, menghilangkan penyakit dan lebih nikmat. Dalam sebuah hadits di sebutkan:

ﻋﻦ ﺃﻧﺲ، «ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻛﺎﻥ ﻳﺘﻨﻔﺲ ﻓﻲ اﻹﻧﺎء ﺛﻼﺛا

Dari Anas, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bernafas di (luar) bejana/gelas tiga kali.

ﻋﻦ ﺃﻧﺲ، ﻗﺎﻝ: ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺘﻨﻔﺲ ﻓﻲ اﻟﺸﺮاﺏ ﺛﻼﺛﺎ، ﻭﻳﻘﻮﻝ: «ﺇﻧﻪ ﺃﺭﻭﻯ ﻭﺃﺑﺮﺃ ﻭﺃﻣﺮﺃ»، ﻗﺎﻝ ﺃﻧﺲ: «ﻓﺄﻧﺎ ﺃﺗﻨﻔﺲ ﻓﻲ اﻟﺸﺮاﺏ ﺛﻼﺛﺎ

Dari Anas, ia berkata: Bahwa Rasulillah shallallahu alaihi wasallam bernafas di (luar) minuman tiga kali. Dan beliau bersabda: “Sungguh hal itu lebih menyegarkan, menghilangkan penyakit, dan lebih nikmat”. Anas berkata: “Maka aku bernafas di (luar) minuman tiga kali.”

Hadits-hadits diatas dalam redaksi yang disebutkan, seolah bertentangan dengan hadits yang melarang bernafas di dalam bejana/ gelas. Namun para Ulama memberikan pemahaman untuk menjami’kannya bahwa yang di maksud adalah “Fi khorijil ina'/syarob” yakni diluar bejana, gelas, atau minuman.

Wallahu ta'ala a'lam
#NgajiShohihMuslim

Rabu, 21 September 2016

Sterilkan Majlis Anda Dengan Doa Kafarotul Majlis

Seseorang dikala sedang duduk bersama dalam indahnya suatu majlis, bisa jadi majlis yang indah itu terkotori oleh lisan yang tak bertulang. Maka seseorang membutuhkan adanya kafaroh untuk mensterilkan majlis itu.

Hal itu jika ia berada dalam sebuah majlis yang baik. Bagaimana jika majlis itu memang bukan majlis yang baik? Sebuah majlis yang tiada substansi kecuali dosa. Majlis melawak, mengghibah, dll. Sementara kita tahu bahwa akan terus ada Malaikat pengintai yang selalu waspada dan siap sedia merekam seluruh amal dan gerak gerik manusia.

Dalam sebuah riwayat, Sayyidina Abdullah bin Amr bin Ash pernah menyampaikan bahwa, “Sebuah kalimat yang tiada diucapkan tiga kali oleh seseorang di sebuah majlisnya kala ia hendak beranjak, kecuali dengannya terampunkan dosanya. Dan tiada diucapkan disebuah majlis yang baik dan majlis dzikir, kecuali dengannya di stempel kebaikannya layaknya penyetempelan pada suatu lembaran, yakni:

ﺳﺒﺤﺎﻧﻚ اﻟﻠﻬﻢ ﻭﺑﺤﻤﺪﻙ، ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻧﺖ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮﻙ ﻭﺃﺗﻮﺏ ﺇﻟﻴﻚ

“Maha suci Engkau ya Allah, membersamai puja-puji kepada-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.

Hadits semacam ini, meski disandarkan kepada sahabat, namun secara hukmi merupakan hadits marfu' sebab tiada indikasi adanya ijtihad dari rowi yang meriwayatkan.

Dalam sebuah riwayat yang lain, dengan redaksi yang agak berbeda, yakni:

ﺳﺒﺤﺎﻧﻚ اﻟﻠﻬﻢ ﻭﺑﺤﻤﺪﻙ، ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻧﺖ، ﺃﺳﺘﻐﻔﺮﻙ ﻭﺃﺗﻮﺏ ﺇﻟﻴﻚ

“Maha suci Engkau ya Allah, membersamai puja-puji kepada-Mu. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.

Selain itu, termasuk kebiasaan sahabat dalam mengakhiri sebuah majlis, selain membaca doa kafarotul majlis, adalah dengan membaca surat al-Ashr. Maka bagaimana kita menyemarakkan kebiasaan-kebiasaan baik semacam ini.

Majlis yang indah terkadang juga bisa terkotori dengan adanya sebuah laporan yang seseorang tentang kejelekan satu pihak. Abuya amat marah dikala ada seorang santrinya yang lapor kepada beliau perihal kejelekan santri yang lain. Akan tetapi jika beliau sendiri yang bertanya, maka tentu saja santri yang ditanya harus menjawab dengan apa adanya. Rasulullah dalam sebuah kesempatan menyampaikan:

ﻻ ﻳﺒﻠﻐﻨﻲ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻲ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ ﺷﻴﺌﺎ، ﻓﺈﻧﻲ ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﺃﺧﺮﺝ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﻭﺃﻧﺎ ﺳﻠﻴﻢ اﻟﺼﺪﺭ

“Tiada perlu seseorang dari sahabatku menyampaikan sebuah hal tentang orang lain. (Yakni sebuah hal yang aku tak suka, dan aku bisa jadi marah). Sebab sungguh Aku senang keluar kepada kalian dengan kondisi hati yang selamat (dari keburukan kalian).”

Hal ini jika hal tersebut bukan sebuah kefasikan. Akan tetapi jika berupa hal fasik yang membahayakan. Maka tiada masalah.

Maka hidup berjamaah seharusnya tak terjadi kubu-kubuan sehingga bisa hidup bersama dengan penuh keindahan. Sebab jika terjadi fanatisme kubu biasanya akan ada pihak yang hobi laporan tentang kubu lain. Seharusnya kita selalu membaikkan asumsi kita (husnudzon) terhadap orang lain. Bahwa seseorang menjadi aktivis jamaah berarti ia menginginkan kebaikan untuk dirinya. Sehingga seharusnya masing-masing tak hobi melihat kesalahan pihak lain, akan tetapi senantiasa mengintropeksi dirinya sendiri.

Namun, memang pada satu kondisi justru lebih baik melakukan su'udzon kepada orang lain. Sebagai sebuah sikap kewaspadaan terhadap keburukannya. Apalagi kini kita hidup dalam zaman yang amat banyak terjadi penipuan. Ada hadits yang berbunyi:

احترسوا من الناس بسوء الظن
“Lindungi dirimu dari (keburukan) seseorang dengan su'udzhon.”

Wallahu ta'ala a'lam

Selasa, 20 September 2016

Wejangan Sang Kinasih Terhadap Ibnu Abbas

Suatu saat Sayyidina Ibnu Abbas, sepupu Rasulillah -kala itu ia baru berusia belasan tahun- membonceng Rasulullah dikala beliau menaiki onta. Sebuah ketawadluan yang teramat tinggi ditunjukkan Rasulillah terhadap sahabatnya itu. Rasulullah justru memboncengkan Ibn Abbas, bukan yang dibonceng. Ternyata memang bukan hanya Ibn Abbas yang pernah dibonceng Rasulillah, dalam kitab shiroh disebutkan ada kira-kira 30 sahabat Rasulillah yang pernah dibonceng Rasulillah.

Ibnu Abbas memang seorang figur sahabat yang amat tekun dalam belajar. Ia tak pernah melewatkan waktu untuk hal-hal yang tiada berguna. Seluruh waktunya digunakan untuk belajar dan belajar. Selepas ia menjadi dewasa akhirnya ia menjadi orang yang begitu alim.

Dikala itu, dikala Ibnu Abbas dibonceng itu, Rasulullah menyampaikan:
“Nak, aku ajarkan sebuah hal untukmu: Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah kau akan menemukan bawa Allah membersamaimu...”

Menjaga Allah berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Merasa bahwa kita terikat dengan aturan yang diterapkan oleh Allah. Maka Allah akan menjagamu diduniamu dan akhiratmu.

Dikala kita mendapatkan predikat sebagai santri, sebenarnya kita telah mengantongi taufiq dan barokah. Maka selepas pulang tinggal bagaimana menjaga taufiq kesantrian itu jangan sampai melenyapkannya, menjaga barokah itu, jangan sampai melemparkannya. Sehingga Allah akan menjaga kita.

Renungkan kembali apa yang pernah disampaikan Abuya: “Sampai kapanpun kau adalah seorang santri.” Sehingga jangan sampai predikat ini tercerabut dari dalam diri kita.

“..Bila kau mau meminta, mintalah sama Allah. Dikala kau mau meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah...”

Seseorang dikala meminta tolong memang seharusnya hanya meminta kepada Allah. Akan tetapi hal ini tiada berdampak pada larangan bertawassul. Jika ada kelompok yang gebyah uyah melarang bertawassul, maka sebenarnya mereka teramat masih dangkal dalam mengaji. Sebab yang ditawassuli hanyalah washilah, sementara ghoyah tiada lain melainkan kepada Allah.

“Tiada tempat berlindung dan tiada tempat untuk mencari keselamatan dari Allah kecuali hanya kepada Allah, La malja'a wala manja minallohi illa ilaik.”

Allahumma la mani'a lima a'thoita wala mu'thiya lima mana'ta wala yanfa'u dzaljaddi minkal jadd. Ya Allah tiada penghalang bagi apa yang Engkau berikan dan tiada pemberi bagi apa yang Engkau halangi, dan tidak memberi manfaat kekayaan dan kemuliaan kepada pemiliknya, dari-Mulah segala kekayaan dan kemuliaan.”

“..Ketahuilah bahwa sungguh jika saja semua orang berpadu untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sebuah hal, mereka takkan memberimu manfaat sama sekali kecuali sebuah hal yang telah ditentukan Allah kepadamu. Dan jika saja semua orang berpadu untuk membahayakanmu dengan sebuah hal, mereka takkan membahayakanmu kecuali dengan sebuah hal yang telah ditentukan Allah atasmu. Pena telah terangkat, dan lembaran telah menjadi kering.”

Kita tiada pernah terlepas dari Allah. Maka jalan terbaik adalah mengembalikan semuanya kepada Allah. Sebuah hal yang tidak dikehendaki Allah takkan pernah terwujud. Meskipun kita mengusahakan apapun. Teruslah bertawakkal kepada Allah. Meski tentu saja kita harus “akhdzul asbab” dalam apa saja. Sebab ada hukum kausalitas yang diterapkan oleh Allah. Teruslah berikhtiar tanpa meninggalkan ketawakkalan.

Bertawakkal semestinya dengan totalitas. Akan tetapi tawakkal bukan berarti membuat seseorang melanggar prosedur akhdzul asbab. “I'qilha fatawakkal. Ikatlah onta itu lantas tawakkallah.”

Jika seseorang ingin mendapatkan rizqi. Maka seharusnya kita mengambil sebab dengan melakukan sebuah hal. Jangan hanya diam saja menunggu rizqi Allah jatuh dari langit. “Khudzil asbab wala ta’tamid alal asbab. Ambillah sebab dan jangan kau berpegangan dengan sebab.”

Bertawakkal bukan tentang kepintaran orang membaca kitab gundul. Sebab banyak orang yang amat lihai dalam membaca kitab gundul akan tetapi masih sering mengeluh. Maka siapapun kita, bertawakkal adalah tentang proses belajar untuk menerapkannya tanpa henti.

“Sesungguhnya manusia itu diciptakan memiliki sifat berkeluh kesah. Apabila ia tertimpa keburukan ia akan berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia menjadi kikir”. (QS. Al Ma'arij: 19-20)

Kadang seseorang mengalami putus harapan, dikala ia telah berusaha berpeluh-peluh menggapai yang terdamba akan tetapi ia tak juga mendapatkannya. Maka jangan putus harapan, akan ada saat dimana harapan kita diberikan-Nya, dan bertawakkallah.

فاذا تأخر مطلب فلربما # من ذلك التأخير كل مطلب
Jika seseorang tak menggapai-gapai apa yang ia damba, maka barangkali selepas itu akan tergapai semua yang terdamba.

Jika kita sedang hendak mencari jodoh. Maka berusahalah tanpa henti dan bertawakkallah, meski harus mengalami penolakan berkali-kali. Jika kita ingin menjadi alim maka belajarlah, meski mengharuskan gagal berkali-kali, jangan pernah putus harapan. Dan apa saja asa dan cita-cita kita berikhtiarlah tanpa henti dan bertawakkallah.

يا قلب ثق بالله # فهو المعطي المانع
وارض بقضاء الله # انك لله راجع

Duhai hati, percayalah kepada Allah. Ialah yang Maha memberi yang Maha menghalangi.
Legawalah dengan ketentuan Allah, sungguh kau kepada Allah akan kembali.

Wallahu ta'ala a'lam

Kesalahan Fatal Salafi Dalam Memaknai Term Thoifah

ﻻ ﻳﺰاﻝ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ ﺃﻣﺘﻲ ﻇﺎﻫﺮﻳﻦ، ﺣﺘﻰ ﻳﺄﺗﻴﻬﻢ ﺃﻣﺮ اﻟﻠﻪ ﻭﻫﻢ ﻇﺎﻫﺮﻭﻥ
Masih akan tetap ada kelompok ummatku yang menunjukkan (kebenaran), sampai dekat hari kiamat dan mereka terus saja menampakkannya

Dalam tubuh kaum muslimin, sampai kapanpun akan kita temukan sekelompok orang yang terus konsisten untuk tolong menolong dalam mengalahkan musuh-musuh agama dan berusaha meluhurkan kalimat Allah. Hal ini adalah suatu kabar yang telah dijanjikan Rasulillah.

Sekelompok ini bukanlah kelompok yang fanatik kepada golongannya. Menepis jauh-jauh sikap fanatisme semacam ini. Sekelompok yang terus maju berjuang secara konsisten untuk berjuang atas nama Islam bukan kelompoknya, tak peduli apakah mereka menemukan pihak pendukung atau justru malah ditentang.

Sekian carut marut yang terjadi sekarang ini, sekian banyak kemunduran dan pergeseran nilai terjadi di dalam tubuh kaum muslimin. Seseorang dimana-mana menderita penyakit wahn. Betapa kini kebaikan sengaja dicampur dengan keburukan. Akan tetapi akan tetap terus hadir ditengah-tengah kita orang-orang yang selalu konsisten memegang agama, memperjuangkan agama dengan konsistensi tinggi.

Ilmu adalah kehidupan Islam. Sementara kini kita temukan sekian banyak Para Ulama meninggal dunia. Padahal di hati-hati merekalah ilmu-ilmu yang indah bersemayam. Akan tetapi meski begitu, Islam akan terus eksis dengan Imdad Para Ulama yang akan terus meregenerasi.

Salafi memaknai hadits semacam ini sebagai sebuah pernyataan bahwa hanya satu kelompok yang mendapatkan kebenaran. Al Haqqu min Robbik, fama ba'dal haqqi illa dlolal. Kebenaran dari Tuhanmu, dan tiada selepas kebenaran melainkan kesesatan. Di dukung lagi dengan hadits tentang perpecahan ummat, 73 kelompok masuk neraka kecuali hanya satu kelompok saja. Yakni Ma ana alaihi wa ashaby. Yang dipahami oleh Salafi sebagai kelompoknya.

Inilah doktrin yang dijejalkan para Salafi. Salafi begitu berbangga dengan kelompoknya. Mereka tidak lagi berfikir seperti kita tentang apakah amal kita di terima atau tidak. Yang ada dipikiran mereka adalah merasa diri menjadi seorang satu-satunya pengikut Salaf yang berhak masuk surga.

Coba kita memahami hal ini dengan benar, bahwa ungkapan thoifah adalah memakai isim nakiroh. Sehingga lafalnya memiliki cakupan umum. Maka yang dimaksud bukan sekelompok secara khusus akan tetapi umum.

Dulu Islam merupakan Ummat yang tak bercerai-berai. Setelah bercerai-berai Islam menjadi Thoifah. Sehingga kini Islam dipahami tidak seuniversal dulu, akan tetapi sesuai dengan pemahaman masing-masing kelompok. Di dalam Islam ada kelompok yang konsisten dalam berdzikir maka jangan sampai di remehkan. Ada lagi kelompok yang fokus dalam mempelajari politik Islam juga jangan di remehkan, dan lain sebagainya. Yang penting jangan sampai merasa paling benar sehingga meremehkan kelompok lain.

Kelompok-kelompok itu ibarat bagian-bagian tubuh yang sedang bercerai berai. Suatu saat ketika Islam kembali merengkuh kekuatan yang besar, kelompok itu akan bersatu padu menjadi satu tubuh kembali.

Para ulama memahami maksud Thoifah dengan sekian ragam makna:

- _Al Mujtahidun_

Merekalah orang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang sangat tinggi sehingga berperan besar dalam menyelamatkan ummatnya.

Bahwa ada yang berpendapat bahwa pintu Ijtihad terus terbuka akan tetapi kita lihat tidak ada orang yang masuk. Maka Mujtahid tak senantiasa hadir, sebab Allah mengambil ilmu tidak dicabut dengan hilang begitu saja akan tetapi dengan wafatnya ulama.

- _Al Murobitun Fi tsughur wal mujahidun li i’lai kalimatillah._

Ada kelompok tertentu yang memperjuangkan Islam dengan kemampuannya secara konsisten. Termasuk yang berperan disini adalah pondok pesantren. Sebenarnya makna asal dari Murobithun adalah tentara yang siaga di pos jaga perang akan tetapi sekarang bisa juga dimaknai sebagai pondok pesantren yakni sebagai pos perjuangan. Maka selepas pulang ke rumah kita mesti mengambil bagian dalam hal ini, dengan memperjuangkan Islam dan berdakwah.

Murobithun adalah mereka yang mengambil bagian dalam perjuangan Islam dengan menghalau sisi ekstrimisme, liberalisme, dan interpretasi yang digemborkan oleh orang-orang bodoh.

- ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻮﻭﻱ: ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ اﻟﻄﺎﺋﻔﺔ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﻣﻦ ﺃﻧﻮاﻉ اﻷﻣﺔ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺷﺠﺎﻉ ﻭﺑﺼﻴﺮ ﺑﺎﻟﺤﺮﺏ ﻭﻓﻘﻴﻪ ﻭﻣﻔﺴﺮ ﻭﻣﺤﺪﺙ ﻭﻗﺎﺋﻢ ﺑﺎﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭاﻟﻨﻬﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﻨﻜﺮ ﻭﺯاﻫﺪ ﻭﻋﺎﺑﺪ ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ اﺟﺘﻤﺎﻋﻬﻢ ﺑﺒﻠﺪ ﻭاﺣﺪ

Kesimpulannya yang di maksud dengan Thoifah menurut Imam Nawawi adalah Jamaah yang beragam yang konsisten dengan Islam dengan kapasitas pribadinya masing-masing. Ada pihak yang fokus dalam politik Islam, ada yang spesialis Hadits, ada yang Zahid, ada yang menggeluti ekonomi, ada pula yang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, dll. Yang terpenting semuanya berusaha untuk memperjuangkan Islam dengan cara dan kapasitasnya masing-masing. Tidak mesti kumpul dalam satu kelompok atau sebuah negara. Dan tidak merasa sebagai kelompok yang paling benar dan menyalahkan dan menganggap remeh kelompok lain.


Wallahu ta'ala a'lam.

Rabu, 07 September 2016

Hidupkan Hati Dengan Menghidupkan Sunnah

Sebuah hal yang pernah dilakukan oleh Rasulillah, jika kita niatkan untuk mengikuti Rasulillah, maka kita akan mendapatkan pahala. Biniyyatin sholihah tanqolibul adah ibadah.

Sunnah memang perlu dihidup-hidupkan. Tersebab seseorang yang menghidupkannya dianggap telah mencintai Nabi, dan dengan cinta inilah kita akan dibersamakan dengan beliau kelak di surga. Dengan menghidupkan sunnah seseorang akan menggapai puncak iman tertinggi dan hati kita akan senantiasa hidup. Maka kita perlu mengasah kepekaan kita terhadap sunnah dan seruan yang digelorakan oleh Nabi.

_Ya hayyu ya Qoyyum
Ahyil qulub tahya
Washlih lanal a'mal
Fiddini waddunya_

Rasulullah Duduk Bersila
“Suatu Hari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dikala lepas shalat shubuh, beliau duduk sila di tempatnya hingga mentari terbit berpendaran putih.”

Hal ini adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan Rasulullah. Ada sisi penting untuk duduk selepas shalat, apalagi setelah shalat shubuh. Disamping hal itu mencakup ittiba' dengan cara duduk Rasulillah, kita juga akan didoakan Malaikat. Allahummaghfirlahu Allahummarhamhu. Beginilah manhaj yang diterapkan Abuya, menyenandungkan wirid-wirid selepas shubuh sampai terbit mentari.

Di dalam shalat memang dikenal dengan sekian model duduk. Di madzhab Syafii dikenal duduk iftirosy dan tawaruk. Akan tetapi ada kemudahan di dalam Islam, yakni di saat seseorang melakukan shalat sunnah dengan banyak rakaat, ia lebih di sarankan untuk duduk iftirosy meski dikala Tahiyyat, untuk lebih meringankan dan memudahkannya meneruskan shalat yang selanjutnya.

Rasulullah Melarang Dua Orang Berbisik
Dalam kesempatan lain Rasulillah juga menekankan: “Jangan berbisik dua orang mengabaikan orang ketiga. Sebab hal itu menyinggung dirinya.”

Jika ada tiga orang kemudian dua orang ingin berbisik. Seharusnya meminta izin terlebih dahulu dengan orang ketiga. Agar ia tidak merasa tersinggung.

Akan tetapi jika orangnya berjumlah empat maka tiada masalah. Sebab masih ada teman lain yang mendampinginya.

Ini sama kasusnya dengan dikala kita bertamu. Jika ada panggilan masuk, sementara kita sedang ditemui tuan rumah, seharusnya kita tidak menerimanya, kecuali meminta izin keluar terlebih dahulu dan memang dalam kondisi mendesak. Sebab hal itu mengurangi adab dan menyinggung perasaan tuan rumah.

Ponsel sebuah benda teknologi yang akhir-akhir ini berhasil membuat orang-orang mengabaikan karibnya, membuat mereka tak memiliki adab.

Pemilik Majlis Lebih Berhak Dengan Majlisnya
Rasulullah pernah juga menyampaikan: “Dikala seseorang hendak beranjak dari tempat duduknya kemudian ia kembali lagi ke majlis itu, maka ia lebih berhak untuk duduk ditempatnya semula.”

Namun Rasulullah mengajarkan, jika seseorang hendak kembali ke majlisnya, supaya ia meletakkan apa yang ia bawa sebagai sebuah tanda.

Kaab bin Al Iyady menuturkan, bahwa ia seringkali bolak balik mengunjungi Abu Darda'. Suatu saat Abu Darda' menceritakan: Rasulullah dikala duduk dan kami duduk di sisinya, lantas beliau beranjak, jika beliau hendak kembali ia akan melepaskan sandal atau apa saja yang beliau bawa untuk ditinggal di majlis itu. Para sahabat mengerti tentang isyarat semacam itu sehingga membuat mereka tidak bubar.

Hal ini juga isyarat bagaimana seorang murid semestinya tidak meninggalkan majlis sebelum guru beranjak terlebih dahulu. Ini yang akan membuahkan keberkahan majlis. Sebab didalam majlis ada doa yang dirapalkan malaikat yang akan sempurna kita dapatkan jika kita duduk sampai majlis selesai.

Mengharumkan Majlis Dengan Dzikir
“Tiada kaum yang beranjak dari majlis yang mereka tiada dzikir kepada Allah didalamnya, kecuali meraka beranjak layaknya seonggok bangkai keledai (dalam bau busuk dan kotornya), Dan majlis itu bagi mereka menyebabkan penyesalan.”

Sekarang kita memasuki era dimana banyak orang masuk sebuah kafe untuk hanya memesan kopi seharga Rp. 2000 akan tetapi duduk cangkruknya 5 jam.

Seharusnya kita berusaha menghidupkan majlis dengan dzikir kepada Allah. Bukan obrolan yang tak mengandung faidah atau justru merupakan sebuah dosa seperti berghibah ria. Sebab semua hal yang terucap akan direkam dengan sempurna oleh Malaikat yang esok hari akan dimintakan pertanggung jawaban. Pada saat itulah seseorang baru merasakan penyesalan dengan apa yang ia lakukan.

Tidak hanya itu, bahwa dikala hendak duduk, atau akan berbaring seharusnya seseorang membukanya dengan berdzikir kepada Allah. Atau bahkan setiap sesuatu yang mengandung sisi penting seharusnya diawali dengan basmalah. Agar muncul keberkahan. Ilmu yang cukup sederhana, mengawali semuanya dengan basmalah dan mengakhirinya dengan hamdalah.

Semoga kita dimudahkan dalam menjalani sunnah dan apa-apa yang digelorakan Rasulullah. Sehingga membuat hati kita senantiasa hidup dan kita akan meraih puncak iman tertinggi. Amin Allahumma amin.

Wallahu ta'ala a'lam
Semoga bermanfaat.

Selasa, 06 September 2016

Sesaat Untuk Tuhanmu Sesaat lain Untuk Dirimu

Handlolah Al Usaidy, seorang sahabat yang termasuk tim penulis wahyu. Suatu hari ia berjalan bertemu Sayyidina Abu Bakar, ia tiba-tiba menangis. Lantas berkata:

“Hadlolah munafik, Abu Bakar!, dikala aku sedang bersama Rasulillah lalu beliau menuturkan terkait neraka dan surga seolah aku benar-benar melihatnya di depan mata. Namun dikala sudah balik ke rumah, aku sibuk mengurusi istri dan pekerjaan. Maka aku menjadi banyak lalai.”

“Jika semacam itu, demi Allah aku juga sama. Ayolah kita berangkat saja menemui Rasulillah.” sergah Abu Bakar.

Maka keduanya akhirnya berangkat menemui Rasulillah. Tatkala Rasulillah melihatnya. Beliau bertanya:

“Kau kenapa Handlolah?”

“Hadlolah munafik, Rasulillah! Dikala aku sedang bersama engkau lalu engkau menuturkan terkait neraka dan surga seolah aku benar-benar melihatnya di depan mata. Namun dikala sudah balik ke rumah, aku sibuk mengurusi istri dan pekerjaan. Maka aku menjadi banyak lalai.”

Rasulullah akhirnya menjawab, “Kalau saja kau terus-terusan dalam kondisi dikala kau sedang bersama denganku maka Malaikat akan menjabat tanganmu, di majlis-majlis dan jalan-jalan, juga di atas tempat tidurmu. Akan tetapi Handlolah, sesaat dan sesaat.”

Seseorang sebagai seorang manusia memang memiliki kebutuhan-kebutuhan (hajah udlwiyyah) yang semestinya di tunaikan. Tak seperti Malaikat yang tak memilikinya. Maka tak heran jika Malaikat hanya melakukan sebuah tugas yang diperintahkan oleh Allah. Ada yang hanya sujud saja, ada yang cuma rukuk saja, dsb.

Namun manusia tak mungkin semacam itu. Tak mungkin seseorang terus-terusan ingat sama Allah. Sehingga disamping berusaha terus terhubung kepada Allah, maka ada saat bagi kita untuk memenuhi kebutuhan layaknya manusia sebagaimana mestinya. Saa’atan Robbak Saa’atan nafsak. Sesaat untuk Tuhanmu sesaat untuk dirimu. Ada saat kita fokus dalam menghadirkan diri kepada Allah (saa’atul hudluur), ada saat pula seseorang perlu mencukupi kebutuhan jasmani dan rohaninya (saa’atul futuur)

Kita mengenal Abuya al Maliki betapa beliau sosok yang Allamah, akan tetapi beliau adalah figur Ulama yang tidak mempermasalahkan jika seorang Kyai suatu saat memasuki Mall atau pasar. Sebab ia sendiri yang lebih mengerti tentang apa yang menjadi kebutuhannya. Tak perlu kemudian sesumbar: “Tidak pantas Kyai ke Mall!”. Sebab Abuya saja dikala berkunjung ke Singapura beliau juga menyempatkan diri untuk jalan-jalan ke Mall membawa serta murid-muridnya.

Seseorang juga kadang memerlukan rekreasi. Bahwa Rasulillah saja terkadang juga mengajak para sahabat untuk rekreasi. Memberi tawaran tugas pada mereka. Ada yang memilih untuk menyembelih kambing, ada yang menguliti, ada yang memotong dagingnya, ada juga yang membakarnya, maka Rasulullah memilih untuk mencarikan kayu bakarnya.

Hadits ini mengesankan bahwa Islam itu indah dan mudah. Memang kita mengerti dalam bersikap seseorang memiliki pilihan untuk menerapkan ibadah dalam level hal (biasa) atau level maqam (istimewa). Ada seseorang bersedekah dikala banyak uang maka ia memilih level hal, ada juga yang tetap bersedekah meski sedang tidak punya uang, maka ia dalam posisi maqam. Ada yang mewajibkan qurban di tiap tahun, ada juga yang qurban sekali untuk seumur hidup. Bahkan ada yang menghukumi sunnah muakkad. Yang penting tidak sok dalam amal yang ia lakukan. Merasa diri telah melakukan amal yang luar biasa dan memandang orang lain dengan pandangan merendahkan.

Terkait dengan hal ini, maka memahami hikmatuttasyri' merupakan sebuah hal yang amat penting dipahami oleh calon Kyai. Tidak gampang melarang sebuah hal. Sedikit-sedikit haram. Tidak memahami orang yang tertimpa permasalahan. Seseorang butuh solusi dalam memecahkan problem kehidupan, bukan malah menambah beban yang ia rasakan. Ingat-ingat lagi cerita tentang penjahat yang membunuh puluhan orang yang pada akhirnya divonis masuk surga. Sebab fatwa solutif yang disarankan seorang Kyai yang ia temui. Saat itu ia bertanya apakah Allah berkenan menerima taubatnya jika ia bertaubat?. Maka Sang Kyai menjawab dengan mantap, InsyaAllah, Allah akan menerima taubatmu.

Wallahu ta'ala a'lam

Senin, 05 September 2016

*Kedengkian Yahudi Terhadap Rasulullah dan Hobi Mereka Dalam Memanipulasi Ayat*

Sebenarnya orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengerti siapa Rasulillah sebenarnya. Sebab mereka telah menemukan karakteristik diri Rasulillah seperti apa yang tertera di kitab mereka. Maka keengganan mereka dalam mengikuti ajaran Rasulillah bukan sebab tiada tahu, akan tetapi sebab penyakit kedengkian dan aniaya yang mereka idap. Bahkan sebenarnya, seperti dalam ayat al Quran, mereka mengenal Rasulillah layaknya mengenal anak-anak mereka sendiri.

“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran padahal mereka mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah :146)

Padahal dulu disaat Rasulillah sebelum hadir, orang-orang itu seringkali menceritakan karakter Rasulullah kepada anak-anak mereka, sehingga membuat anak-anak sampai begitu merindukan kehadiran Rasulillah.

Bahkan ada anak yang sampai enggan makan dan minum, hingga membuatnya demam. Maka bapaknya berusaha mengobati anaknya dengan menjemurnya dibawah terik matahari pagi. Disaat itu, ternyata datang seseorang, di perhatikannya orang itu lamat-lamat, Akhirnya ia menemukan bahwa ia adalah sosok yang berkarakter persis dengan yang selama ini diceritakan ayahnya. Sehingga ia seketika berteriak kencang, “Ini Rasulullah!”.
Sosok itu memang adalah Rasulullah. Akan tetapi bapaknya menimpali, “Bukan, bukan orang ini”. Anak tersebut tak percaya dengan kata-kata bapaknya, ia langsung menyambut Rasul dengan menyerukan Syahadat, “Asyhadu an lailaha illallah wa annaka Rasulullah!”. Tak lama selepas itu pada akhirnya anak itu meninggal dunia. Ya, ia meninggal dunia dengan mengantongi iman yang baru.

Ya, seseorang ketika mengidap penyakit dengki, ia akan terus berusaha menghilangkan nikmat yang diperoleh orang lain. Sampai nikmat itu betul-betul lenyap atau orang tersebut mati. Setiap kenikmatan akan menghadirkan orang yang dengki. Kullu dzi nikmatin mahsud.

Selain itu, Yahudi memang pihak yang amat suka menyembunyikan sebuah kebenaran, yang sebenarnya mereka telah ketahui hakikatnya.

Dulu ada seorang laki-laki Yahudi yang zina dengan seorang wanita. Mereka tidak meminta fatwa dari tokoh mereka justru ada yang menyarankan,

“Kau pergilah ke Nabi ini, ia akan memberimu keringanan, Jika ia memberikan fatwa dengan fatwa selain Rajam maka kita akan menerimanya, sehingga hal ini bisa dijadikan hujjah kelak disisi Allah.”

Mereka orang Yahudi memang mengakui bahwa Rasulillah membawa agama yang mudah, ringan, dan gampang. Tiada yang diberatkan. Namun bukan berarti bisa digampang-gampangkan seenaknya sendiri.

Maka Rasulillah demi ditanya tentang hukum bagi keduanya, beliau bertanya:

“Apa yang kau temukan di Taurat tentang hukum rajam?.”

“Tidak ada itu rajam, Kita menghukum pelaku zina dengan mengungkap kejelekkan mereka dimuka umum dan mereka di jilid.” Jawab mereka.

“Kau dusta, disana ada yang menjelaskan tentang rajam, datangkan Taurat dan buka!” kata Abdullah bin Salam, seorang Yahudi yang sudah masuk Islam.

Mereka pun menghadirkan taurat, seorang dari mereka menaruh tangannya pada ayat yang menjelaskan rajam, dan hanya membaca ayat sebelum dan sesudah itu.

“Heh, singkirkan tanganmu!” kata Bin Salam.

Ia pun mengangkat tangannya, sungguh disana ada ayat yang menjelaskan rajam.

Merekapun menyatakan: “Muhammad benar, disana ada ayat yang memerintah rajam. Maka Rasulillah memerintah keduanya agar dirajam.

Ya, orang-orang Yahudi memang seringkali dengan entengnya merubah ayat-ayat di dalam taurat demi mendapatkan segepok uang. Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh oknum dai yang justru ada di pintu-pintu neraka, merekalah dai yang hobi menjual ayat-ayat Allah demi mendapatkan segepok uang dan kenikmatan dunia yang lain. Merubah hukum-hukum Allah untuk ditukar dengan dunia.

Dulu seorang Maiz bin Malik tetiba datang menemui Rasulillah. Ia adalah seorang yang pendek dan berotot, datang tanpa mengenakan surban. Ia sekonyong-konyong mengakui, bersaksi empat kali untuk dirinya sendiri, bahwa ia pernah berzina. Rasulillah menanggapi: “Ah kau barangkali cuma mencumbuinya atau cuma bermain mata dengannya, atau sekedar memandang wajahnya?”

“Tidak, demi Allah aku zina ya Rasulallah!”

Maka Rasulullah memerintah untuk merajamnya.

Kadang memang kita tiada menyukai sebuah hal, akan tetapi ternyata itulah yang baik bagi kita. Dan sebaliknya kadang kita suka dengan sebuah hal, namun Allah justru memberi hal lain yang tiada kita suka. Akan tetapi ternyata itulah yang terbaik bagi kita. Kita akan menemukan hikmah di setiap kejadian sebab Allah memberi apa yang baik bagi kita bukan yang kita inginkan.

Wallahu ta'ala a'lam

Minggu, 04 September 2016

Meraih Jiwa Yang Indah, Lapang, dan Tentram Dengan Cara Nabi

Syaithan akan terus mengajak kita untuk menggagalkan melakukan kebaikan. Sebab perilaku kebaikan merupakan perbuatan yang sering dilakukan oleh hamba yang sholih.

Maka dalam hal apapun, semestinya kita melakukan hal-hal yang bersebrangan dengan kebiasaan yang dilakukan syaithan. Jika syaithan makan dan minum dengan memakai tangan kiri. Maka kita harus berusaha memakai tangan kanan. Rasulillah bersabda:

ﺇﺫا ﺃﻛﻞ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻠﻴﺄﻛﻞ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ، ﻭﺇﺫا ﺷﺮﺏ ﻓﻠﻴﺸﺮﺏ ﺑﻴﻤﻴﻨﻪ ﻓﺈﻥ اﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻳﺄﻛﻞ ﺑﺸﻤﺎﻟﻪ، ﻭﻳﺸﺮﺏ ﺑﺸﻤﺎﻟﻪ
Dikala kalian hendak makan, makanlah dengan memakai tangan kanan. Dikala hendak minum maka minumlah dengan tangan kanan. Sebab sungguh Syaithan makan dengan tangan kiri. Dan minum juga memakai tangan kiri.

Lain dari itu, memakai tangan kanan merupakan isyarat memulyakan nikmat Allah. Sebab nikmat Allah memiliki hak yang mesti ditunaikan, yakni bersyukur dengan memuliakan nikmat itu, tidak merendahkannya.

Memakai tangan kanan juga bisa membuat jiwa kita akan menjadi indah (thibunnafsi) karena efek dari menaruh sebuah hal pada tempatnya.

Dalam hidup kita semestinya berusaha mempunyai jiwa yang indah (thibunnafsi), yang lapang (insyirohunnafsi), sekaligus yang tenang nan tentram (ithmi'nanunnafsi). Maka cara meraihnya adalah dengan menaruh sebuah hal pada tempatnya untuk meraih keindahan dalam jiwa, tabah dan sabar (tahammul) untuk mendapatkan kelapangan jiwa, dan dengan dzikir kepada Allah untuk memiliki ketenangan dan ketentraman jiwa.

Jiwa yang indah, lapang, dan penuh dengan ketenangan adalah bagian apa yang disebut oleh Rasulillah sebagai “Ghinan Nafsi”. Dalam sebuah hadits disebutkan:

ليس الغنى عن كثرة العرض و لكن الغنى غنى النفس
Bukanlah kekayaan dengan memiliki banyak harta benda akan tetapi yang dimaksud dengan kaya adalah dengan kayanya hati.

Selain dalam masalah makan dan minum, memakai tangan kanan juga seharusnya dilakukan ketika seseorang hendak mengambil atau memberikan sesuatu kepada orang lain. Juga dalam hal-hal lain yang dinilai baik oleh agama.

Dulu ada seorang yang diperingatkan Rasulillah untuk makan memakai tangan kanan. “Makanlah dengan tangan kanan!”. Akan tetapi orang itu justru menjawab: “Oh, tidak bisa saya”. Ia menjawab dengan nada jumawa. Maka Rasulillah pun menanggapi: “Ia kau takkan bisa!”. Sehingga pada akhirnya orang itu benar-benar tidak bisa mengfungsikan tangan kanannya. Tangan itu seolah lumpuh. Menurut Ibnu Mandah orang itu adalah Busur bin Ro'il ‘Aidi al Asyja'i.

Dalam makan hendaknya kita tiada lupa membaca basmalah dan doa, menggunakan tangan kanan, makan dari sisi tepi piring. Jika makan bersama-sama maka seharusnya kita tidak mengambil kecuali makanan yang ada di hadapan kita. Yang disebut terakhir ini menurut Imam Syafi'i adalah sebuah kewajiban. Karena ungkapan perintah menunjukkan isyarat wajib. Sehingga jika kita hendak mengambil makanan yang tidak dihadapan kita, kita mesti izin dengan pihak yang bersangkutan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

كل مما يليك
Makanlah apa yang dihadapanmu!

Demikianlah figur Rasulillah, beliau adalah sosok Nabi yang mengajarkan ummatnya tidak hanya dalam masalah-masalah besar saja, akan tetapi bahkan perkara-perkara kecil semuanya diajarkan adab-adabnya oleh beliau. Beliau adalah seorang Murobby paling utama dan sempurna. Sebab secara definitif, yang dimaksud dengan Murobby adalah sosok figur yang mengajarkan hal-hal kecil sebelum yang besar.

Wallahu ta'ala a'lam