"Yang penting adalah ketaqwaan seseorang walaupun tukang sapu." (Abi Ihya).
Kadang kita menilai dan mendudukkan seseorang berdasarkan unsur-unsur duniawi yang ia miliki. Mulai dari paras, warna kulit, ras, suku, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kekayaan, garis keturunan, kecerdasan, gelar, pangkat, dan kedudukan.
Seseorang yang senang beribadah, namun ia hanya memiliki unsur-unsur duniawi yang rendah tidak akan mendapatkan perhatian dari masyarakat, bisa jadi keberadaannya tidak dianggap oleh mereka.
Sebaliknya seorang pelaku keburukan, dengan sematan unsur-unsur duniawi yang kuat, ia akan menjadi pusat perhatian dimata mereka. Keberadaannya akan diperhitungkan, dan suaranya akan di dengar.
Katakan saja, seorang kyai dengan keilmuan yang luar biasa, namun ia tidak memiliki sepeda motor terlebih mobil, rumahnya jelek, katakan ia orang yang miskin, dengan kyai yang biasa-biasa saja tapi ia kaya, mobil punya, rumah mewah, bahkan sudah pergi haji. Maka bisa dipastikan, masyarakat secara umum akan lebih tertarik dan patuh dengan kyai model kedua, dibandingkan kyai model pertama.
Seperti inilah pada umumnya standar penilaian yang diberlakukan ditengah masyarakat. Orang kaya secara otomatis akan dihormati, orang miskin meski baik hati akan sulit mendapat penghormatan. Mereka yang disebut secara khusus dipodium adalah mereka yang punya power dunia yang kuat.
Namun Allah ta'ala memiliki standar penilaian manusia sendiri, yang dilihat dan menjadi pertimbangan bagi Allah tidak lain adalah ketaqwaan seseorang. Semakin tinggi kualitas taqwa seseorang ia akan ditempatkan pada strata yang tinggi. Tidak penting apakah ia golongan orang terhormat atau tidak, tidak penting sama sekali.
Yang mengerti secara pasti tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah, kadang seseorang yang dianggap sampah dihadapan manusia mendapatkan strata yang tinggi dihadapan Allah, dan sebaliknya kadang seseorang dengan strata yang tinggi di mata manusia, nyatanya ia hina dihadapan Allah.
Betapa banyak seseorang yang diklaim sebagai orang yang bertaqwa menurut penilaian seseorang, sehingga ia pun mendapatkan kehormatan, berduyun-duyun orang-orang menziarahi makamnya, ngalap barokah, sementara disana didalam kubur orang itu sedang di siksa. Dan betapa banyak orang-orang yang biasa menurut pandangan manusia, makamnya tak terawat, batu nisannya hampir roboh, tak ada sama sekali orang yang sudi menziarahinya, sementara ia demikian mulya dihadapan Allah.
Ketaqwaan bukan tentang sematan gelar yang diberi masyarakat, seperti kyai, nyai, ustadz, ustadzah, haji, hajjah, habib, syarifah, gus, ning, dan lain sebagainya, hanya Allah yang mengerti strata ketaqwaan seseorang.
Ya, walaupun tukang sapu, yang terpenting adalah sisi ketaqwaannya. Seperti pada zaman Rasul, ada wanita tukang sapu yang tak begitu dianggap, kematiannya tidak dikabarkan kepada Rasulullah, namun akhirnya Rasul sendiri yang tanya dimana kok tidak pernah terlihat, akhirnya para sahabat baru menjelaskan bahwa ia sudah meninggal dunia, Rasulullah marah luar biasa dan bergegas kemakamnya untuk mendoakannya, sungguh beruntung tukang sapu itu.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar