"Tidak cukup mengisolir diri dengan keilmuan yang mumpuni, sementara masyarakat sekitar tidak terjamah" (Abi Ihya).
Pada mulanya seseorang dituntut untuk mempelajari ilmu yang sesuai dengan kondisi yang terjadi padanya, atau dikenal dengan term ilmu hal. Lalu setelah itu, tugas bagi seorang pemilik ilmu adalah mengamalkan apa yang ia pahami. Sebab amal adalah buah dari ilmu, maka percuma jika berilmu saja tanpa mau mengamalkan, mengejawentahkan dalam ranah aksi. Dan tidak cukup sampai disitu, seorang pemilik ilmu setelah berhasil mengamalkan, hal selanjutnya yang mesti ia ikhtiarkan adalah menyebarkan mafahim itu ketengah masyarakat. Sebab kita mengerti bahwa, al-Muta'adhi afdholu min al-Lazim, yakni yang menjalar lebih afdol ketimbang yang stagnan.
Jika kita mau menelisik, kita akan temukan di masyarakat banyak sekali orang yang butuh terhadap sentuhan dakwah, sampai pada hal yang kecil sekalipun seperti baca al-Qur'an. Banyak dimana-mana baik di desa maupun kota seorang muslim yang belum bisa membaca al-Qur'an, praktek shalat, dll yang itu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Maka siapa lagi yang mesti mengambil aksi untuk menjawab kebutuhan itu semua jika bukan para pemilik ilmu?.
Ya, kita mengerti bahwa dakwah bukan hanya berbentuk pengajaran. Namun bukankah dakwah model lain sudah cukup kiranya ditangani oleh pihak luar, sebab hal yang lebih urgensif yang mesti diikhtiarkan oleh pemilik ilmu ialah memberikan pengertian dan pemahaman akan ajaran Islam kepada masyarakat, yang katanya disebut dengan ilmu hal.
Tentu saja sikap mengisolir diri dengan keilmuan mumpuni bisa digolongkan sebagai Katimul ilm, penyembunyi ilmu. Sebab jika sampai masyarakat tak mengerti bagaimana menjadi muslim yang semestinya sementara ada kita disana yang hanya sibuk memikirkan keselamatan diri sendiri, bisa jadi kita yang akan mendapatkan tuntutan keadilan Allah kelak di hari qiyamat dari mereka, sebab perilaku kita yang mereka anggap sebagai suatu kezhaliman.
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar