Sabtu, 20 Februari 2016

MENGGAPAI PUNCAK IMAN

Iman merupakan sebuah hal yang seringkali terdengar di telinga, yang sudah tak asing lagi bagi kita, yang orang paling awam pun dalam beragama semestinya telah akrab dengan term satu ini. Tapi sudahkah kita mengerti dan menghayati makna serta hakikat iman secara benar?.

IMAN KEPADA DAN KARENA ALLAH
Dalam kitab Syu'ubul Iman karya Syeikh As'ad Muhammad Said as-Shoghorji dijelaskan bahwa, keimanan terhadap Allah memiliki dua spektrum, yakni keimanan kepada Allah (al Iman Billah) dan keimanan karena Allah (al Iman Lillah) . Keimanan kepada Allah adalah melalui penetapan dan pengakuan akan eksistensi Allah ta'ala. Sementara keimanan karena Allah adalah dengan jalan menerima dan patuh terhadap-Nya.

Iman kepada Allah memang merupakan satu hal yang mampu mengentaskan seseorang dari predikat kafir menuju gelar muslim, sehingga ia mendapatkan suaka keamanan jiwa, raga dan kehormatan. Dengan menyatakan dua lafal syahadat melalui lisan, seseorang pada saat itu juga mendapatkan semua suaka itu. Sementara urusan hati, diserahkan sepenuhnya kepada Allah ta'ala. Sama sekali bukan menjadi urusan manusia.

Salah seorang sahabat Rasul yang bernama Usamah bin Zaid suatu ketika dikala terjadi peperangan ia melihat ada pihak kafir yang membunuh sekian banyak pasukan Islam, hal itu membuat ia harus mengawasinya secara khusus. Pada saat ditemukan kesempatan, ia langsung menghunus pedangnya siap membunuh pihak kafir tersebut. Namun tak disangka, orang itu justu mengucapkan kalimat Laa Ilaaha illallah. Akan tetapi Usamah menganggap bahwa ucapannya hanya supaya ia tak jadi dibunuh. Usamah tak sabar lantas langsung menghujamkan pedangnya hingga orang itu mati.

Ternyata Nabi mendengar berita itu, kemudian beliau memanggil Usamah dan bersabda padanya: "Kenapa kamu membunuh orang yg telah mengucapkan Laa Ilaaha illallah? "
Aku menjawab, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya lelaki itu mengucap demikian karena takut terhadap hunusan pedang". Rasulullah bertanya lagi: "Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak?".

Keimanan karena Allah (al Iman lillah) memang tidak akan menyebabkan seseorang yang tidak memilikinya mendapat predikat kafir seperti yang berlaku untuk keimanan kepada Allah (al Iman billah). Namun, ia akan mendapatkan predikat lain sebagai seorang pemaksiat. Kecuali dalam masalah shalat, sebab seseorang yang tidak menjalankannya, mendapatkan ancaman keras dari Rasulullah dan nyaris masuk dalam kelompok orang-orang kafir.

Atau dalam istilah lain, bahwa keimanan kepada Allah adalah akar /pokok, sementara keimanan karena Allah adalah cabang. Hal ini terbukti dengan kisah seorang anak Yahudi yang terbaring sakit lantas disarankan memeluk Islam oleh Rasulullah. Ia ternyata mau menurut saran Nabi hingga Nabi kala keluar dari rumah menyabdakan, "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan ia dari neraka".

Namun hanya bermodalkan pokok saja tanpa merepresentasikan melalui cabang-cabangnya yang merupakan wilayah iman karena Allah, keimanan seseorang tiada akan di nilai baik.

Dalam hidup, bisa jadi kondisi keimanan seseorang mengalami peningkatan dan penurunan. Pada suatu saat kala ia melakukan ragam bentuk ketaatan kepada-Nya, kondisi keimanannya berarti sedang mengalami peningkatan. Sementara pada saat yang lain, kala banyak bentuk ketaatan yang tidak ia jalankan, kemaksiatan yang justru ia lakukan. Maka imannya kemudian disebut sedang mengalami penurunan.

PUNCAK IMAN ADALAH MENGGAPAI PASRAH
Dalam surat al Anfal ayat 2-4 secara detail Allah telah memaparkan persyaratan seseorang bisa di sebut sebagai mukmin sejati, yakni mereka yang hatinya takut kala Allah di sebut, hobi tilawah al Qur'an, memiliki rasa pasrah (tawakkal) yang baik, serta selalu menegakkan shalat, dan berinfak. Jika saja persyaratan itu ada pada diri seseorang, maka ia telah berhasil menyempurnakan keimanannya, namun jika ada yang belum dipenuhi, maka ia belum meraih hakikat iman, bahkan diklaim sebagai orang yang kurang imannya.

Selain itu, keimanan yang sesungguhnya adalah keimanan yang mampu mengantarkan seseorang menggapai kepasrahan total kepada Allah (tawakkal). Maka barometer keberhasilan seseorang dalam mempelajari kurikulum keimanan dan tauhid bisa dilihat dari seberapa besar dan hebat kualitas kepasrahannya dengan apapun yang digariskan oleh Allah azza wajalla. Bukan hanya sekedar telah menamatkan sekian kajian kitab-kitab tauhid dan keimanan, namun dikala mendapatkan ujian dan masalah masih sering mengeluh dan belum mampu pasrah terhadap Allah. Inilah yang dikatakan sebagai puncak dari tauhid dan iman.

(51). قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚوَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus berpasrah (tawakkal)." (QS.at-Taubah:51)

Ummu Sulaim adalah figur wanita yang memiliki kepasrahan tingkat tinggi, suatu hari anaknya sakit sementara Abu Tholhah, sang suami sedang keluar rumah. Ia obati anak itu semampunya, namun Allah ternyata berkehendak lain, Allah justru mengambil anaknya itu.

Hati ibu siapa yang tidak sedih ditinggal mati anaknya sementara sang suami masih bekerja diluar. Namun ia berusaha membesarkan hatinya mengembalikan semua itu kepada Allah, pasrah dan ridlo dengan kehendak-Nya.

Tidak lama kemudian akhirnya pada suatu malam sang suami kembali ke rumah. Melihat suaminya pulang dari bekerja banting tulang, ia tidak mau menambah pikiran sang suami. Sehingga kala ditanya kabar anaknya, ia hanya menjawab, anaknya sekarang tenang.

Ia tidak langsung mengabarkan tentang kematian anaknya. Justru pada hari itu ia memasak masakan yang istimewa, dandan secantik mungkin, sehingga sang suami tertarik menggaulinya.

Selepas melayani sang suami, ia bertanya pada suaminya: “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” "Ya tentu boleh". Pertanyaan itu ia ulang sampai tiga kali dan dijawab dengan jawaban yang sama. Sang suami heran, apa sebenarnya maksud pertanyaan si istri, lantas akhirnya si istri menjelaskan, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.”.

Mendengar penjelasan itu si suami marah, kenapa tidak dari semenjak datang ia menjelaskan kematian anaknya namun justru ia malah mengajak suaminya makan enak dan bahkan diajak menggaulinya, akhirnya mereka sepakat untuk melaporkan perkara tadi kepada Rasulullah, entah apapun konsekuensinya, biarkan Rasulullah yang memberi keputusan. Pada keesokan harinya, mereka berdua berangkat menuju kediaman Rasulullah, ia menceritakan perihal yang terjadi kepada beliau. Tak disangka, selepas itu Rasul justru berdoa: "Barokallah fikuma fi ghobiri lailatikuma", Semoga Allah memberkahi kalian berdua pada malam kalian. Kemudian akhirnya si istri hamil lalu melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah. Konon selepas anaknya besar dan menikah, anak itu mempunyai sembilan anak yang kesemuanya menjadi ulama besar.

Maka kepasrahan adalah satu hal yang semestinya kita proses dalam menjalani kehidupan. Sehingga keimanan kita menjadi sempurna. Memang tidak mudah, namun bukan satu hal yang tidak mungkin untuk kita ikhtiarkan.

Wallahu yatawallal jami'a biri'ayatih.

Jum'at 19 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar