Rabu, 23 Desember 2015

Selamat Hari Lahir, Duhai Baginda

Ya Baginda, kami iri dengan sahabat Khalid yang dikala perang menyelipkan rambut muliamu pada topi perangnya.
Ya Kinasih, kami iri dengan Ummu Sulaim yang sempat memeras keringat wangimu dan menjadikannya parfum yang wanginya lebih ketimbang parfum paling mahal sekalipun.
Ya Rasul, kami iri dengan sesosok yang selepas membekammu, lalu ia meminumi darah mulia mencampurkannya dengan darahnya.
Ya Nabi, betapa beruntungnya terompah yang menemanimu naik ke langit kala kau menghadap Tuhan.
Ya Habiby, entah seperti apa kegembiraan awan mendung yang menaungimu kala engkau dalam perjalanan.
Entah ya Kinasih, suka cita yang bagaimana yang dirasakan onta yang menemani hijrahmu.
Betapa bahagianya, duhai cinta, cincin yang melingkar dijemari kelingkingmu.
Betapa senangnya batang kurma yang kau sandari kala menyampaikan wejangan keindahan itu.
Betapa senangnya tiap sesuatu yang menemani hidupmu. Pakaianmu, perabot rumah tanggamu, kendaraanmu, dan apapun yang ada ditiap hadirmu.
Betapa mulianya makanan dan minuman yang masuk dalam rongga tubuhmu.
Ya Nabi, betapa menjadi debu yang kau injak lebih kami impikan tinimbang apapun.
Betapa menjadi air yang menyirami tubuh muliamu lebih kami angankan ketimbang sesuatupun.

Ya Rasul, Syafaati kami, ummat pendosa yang kau khawatirkan keselamatannya.
Sang pendosa yang masih saja menuruti nafsu syahwati. Tapi masih saja kau kasihani.

Ya Baginda, entah, kami tak kuasa membuktikan kecintaan kami padamu kecuali hanya melalui lisan. Yang kala kau memerintah satu hal kamilah yang pertama kali melanggarnya, yang kala kau melarang satu hal, kamilah yang paling awal melakukannya. Maka layakkah itu disebut cinta? atau justru adalah simbol sifat nifaq yang semakin menggurita.

Ya Nabi, shalawat dan salam kami senandungkan bagimu, sejumlah kedipan tiap mata, sejumlah tarikan nafas yang menghela

Ya Nabi, shalawat dan salam kami lantunkan, sebesar gunung-gunung yang menjulang, sebesar langit bumi yang membentang.

Ya kinasih, shalawat dan salam kami haturkan teruntukmu, seluas samudra yang membiru, seluas cakrawala yang digelar.

Ya Baginda, shalawat dan salam, kucurahkan bagimu, seindah gemintang yang bersinar, seelok matahari dan rembulan.

Ya Kekasih, shalawat dan salam padamu, sejumlah butiran pasir yang ditebar, sejumlah hewan tumbuhan yang dipendar, sejumlah tetes air hujan yang berjatuhan, sebanyak semburat cahaya yang menyala.

Kurniakan setetes cinta, bagi hamba, duhai kurnia.

Aku ucapkan tulus dari hati terdalam,
selamat hari lahir, duhai sang rupawan. Atasmu setiap keindahan, bagimu seluruh kemuliaan.

Selasa, 22 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #25

"Yang penting adalah ketaqwaan seseorang walaupun tukang sapu." (Abi Ihya).

Kadang kita menilai dan mendudukkan seseorang berdasarkan unsur-unsur duniawi yang ia miliki. Mulai dari paras, warna kulit, ras, suku, jenis kelamin, tingkat pendidikan, kekayaan, garis keturunan, kecerdasan, gelar, pangkat, dan kedudukan.

Seseorang yang senang beribadah, namun ia hanya memiliki unsur-unsur duniawi yang rendah tidak akan mendapatkan perhatian dari masyarakat, bisa jadi keberadaannya tidak dianggap oleh mereka.

Sebaliknya seorang pelaku keburukan, dengan sematan unsur-unsur duniawi yang kuat, ia akan menjadi pusat perhatian dimata mereka. Keberadaannya akan diperhitungkan, dan suaranya akan di dengar.

Katakan saja, seorang kyai dengan keilmuan yang luar biasa, namun ia tidak memiliki sepeda motor terlebih mobil, rumahnya jelek, katakan ia orang yang miskin, dengan kyai yang biasa-biasa saja tapi ia kaya, mobil punya, rumah mewah, bahkan sudah pergi haji. Maka bisa dipastikan, masyarakat secara umum akan lebih tertarik dan patuh dengan kyai model kedua, dibandingkan kyai model pertama.

Seperti inilah pada umumnya standar penilaian yang diberlakukan ditengah masyarakat. Orang kaya secara otomatis akan dihormati, orang miskin meski baik hati akan sulit mendapat penghormatan. Mereka yang disebut secara khusus dipodium adalah mereka yang punya power dunia yang kuat.

Namun Allah ta'ala memiliki standar penilaian manusia sendiri, yang dilihat dan menjadi pertimbangan bagi Allah tidak lain adalah ketaqwaan seseorang. Semakin tinggi kualitas taqwa seseorang ia akan ditempatkan pada strata yang tinggi. Tidak penting apakah ia golongan orang terhormat atau tidak, tidak penting sama sekali.

Yang mengerti secara pasti tingkat ketaqwaan seseorang hanyalah Allah, kadang seseorang yang dianggap sampah dihadapan manusia mendapatkan strata yang tinggi dihadapan Allah, dan sebaliknya kadang seseorang dengan strata yang tinggi di mata manusia, nyatanya ia hina dihadapan Allah.

Betapa banyak seseorang yang diklaim sebagai orang yang bertaqwa menurut penilaian seseorang, sehingga ia pun mendapatkan kehormatan, berduyun-duyun orang-orang menziarahi makamnya, ngalap barokah, sementara disana didalam kubur orang itu sedang di siksa. Dan betapa banyak orang-orang yang biasa menurut pandangan manusia, makamnya tak terawat, batu nisannya hampir roboh, tak ada sama sekali orang yang sudi menziarahinya, sementara ia demikian mulya dihadapan Allah.

Ketaqwaan bukan tentang sematan gelar yang diberi masyarakat, seperti kyai, nyai, ustadz, ustadzah, haji, hajjah, habib, syarifah, gus, ning, dan lain sebagainya, hanya Allah yang mengerti strata ketaqwaan seseorang.

Ya, walaupun tukang sapu, yang terpenting adalah sisi ketaqwaannya. Seperti pada zaman Rasul, ada wanita tukang sapu yang tak begitu dianggap, kematiannya tidak dikabarkan kepada Rasulullah, namun akhirnya Rasul sendiri yang tanya dimana kok tidak pernah terlihat, akhirnya para sahabat baru menjelaskan bahwa ia sudah meninggal dunia, Rasulullah marah luar biasa dan bergegas kemakamnya untuk mendoakannya, sungguh beruntung tukang sapu itu.

Wallahu a'lam.

Senin, 21 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #24

"Ulama yang sebenarnya adalah yang mendahulukan khosyah diatas ilmu." (Abi Ihya).

Khasyah menduduki wilayah yang sangat penting dalam menerjemahkan kriteria seseorang bisa disebut sebagai alim. Seseorang dengan ilmunya yang luar biasa belum bisa disebut sebagai alim kala ia tidak memiliki rasa khasyah, yakni satu perasaan takut kepada Allah ta'ala, khawatir akan keselamatan dirinya dari siksa Allah.

Seseorang dikala semakin hebat ilmunya dituntut memiliki perasaan khasyah semakin kuat. Jika tidak, maka ilmunya sama sekali tidak akan membawa kemanfaatan baginya, malah justru akan menjerat dan mencelakakannya didunia sebelum akhirat.

Dalam kalam Allah ta'ala, surat Fathir ayat 28, disana ada satu isyarat yang menjelaskan bahwa. khasyah harus lebih dikedepankan daripada ilmu. Sebab kata "yakhsya" lebih didahulukan daripada kata "ulama'".

Seseorang yang hanya memiliki ilmu saja tanpa khasyah, akan membawanya berani melakukan penjualan agama, menukar kebahagiaan akhirat dengan harta benda dunia. Sepertinya lidahnya demikian manis dengan hafalan dalil al-Qur'an hadits demikian banyak, namun hatinya lebih buas ketimbang serigala. Apa yang ia mengerti hanya sebatas pengetahuan belaka tanpa amal, ia belajar mendalam tentang agama namun tidak mau beribadah. Ia memahami hukum halal haram, tapi berani menghalalkan perkara yang haram dan mengharamkan perkara yang halal. Sehingga orientasinya adalah bagaimana dengan pengetahuan agama yang ia miliki, ia bisa mendapatkan keuntungan dunia yang besar.

Ya, ulama' adalah mereka yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dan rasa khasyah yang besar terhadap Allah. Kepada merekalah semestinya kita mendekat, sebab keberkahan hidup akan bisa kita dapatkan kala kita bersanding dengan orang-orang saleh macam mereka.

Ya Allah, jangan jadikan aku bagian orang yang menukar kebahagiaan akhirat dengan dunia, kurniakan kepadaku bagian rasa khasyah yang mampu menjadi penghalang antara aku dan maksiat. Ya Arhamarrahimin.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #23

" Jejeg lan ajeg anggayoh barokahing urip, istaqim kama umirta!." (Abi Ihya)

Tentang istiqamah, atau konsisten, Allah ta'ala telah menyampaikannya dalam surat Huud ayat 112, yang artinya lebih kurang:

Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (QS. Huud : 112)

Istiqamah adalah satu hal yang tiap kali kita shalat, kita mohonkan kepada Allah ta'ala, melalui surat al Fatihah yang kita baca. Ihdinasshirathal mustaqim. Yang berarti permohonan supaya bisa terus konsisten menapaki shirath kala di dunia agar mampu menapaki shirath akhirat dengan sukses.

Ibnu Malik, dalam alfiyahnya juga menyinggung pentingnya pesan istiqamah, sehingga ia menjadikan istiqamah sebagai contoh satu ungkapan yang sah disebut sebagai term kalam dalam nahwu. Ka istaqim!. Jika bukan sebab pentingnya istiqamah, mestinya ia akan memilih kata yang lain sebagai contoh.

Dalam menjalankan sesuatu, apapun itu, sebuah hal yang demikian sulit dilakukan adalah istiqamah. Kita mungkin bisa memulai satu hal yang fresh dan baru dengan semangat yang membara, tapi mempertahankannya adalah satu tantangan tersendiri. Apapun kebaikan yang kita lakukan yang terbaik adalah bila kita berhasil konsisten menjalankannya meski kebaikan itu dinilai kecil.

Para sahabat Nabi adalah figur istiqamah yang luar biasa, sahabat Bilal bin Rabah tiada pernah batal wudlu melainkan ia segera berwudlu dan shalat sunnah dua rakaat. Sayyidina Ali tiada pernah meninggalkan sedekah setiap hari, pernah suatu saat agar ia bisa bersedekah, ia sampai rela menjadi buruh sebab tidak memiliki apa-apa untuk sedekah. Sayyidina Muawiyah Bin Muawiyah konsisten dalam membaca surat al-ikhlas ditiap rakaat shalatnya. Dan lain sebagainya.

Konsisten dalam menjalankan satu hal, bahkan dinilai lebih istimewa ketimbang seribu keramat. Seekor keong dengan keterbatasannya akhirnya mampu mengalahkan laju sang kancil sebab keistiqamahan yang ia bangun. Ya, seseorang dengan modal kecerdasan saja akan terkalahkan oleh seseorang yang biasa-biasa saja namun kuat dalam istiqamahnya.

Istiqamah akan melahirkan keberkahan yang tiada terkira, sebuah hal yang berawal sederhana dengan istiqamah pada akhirnya akan menjadi luar biasa, sebuah hal yang awalnya kecil dengan istiqamah pada akhirnya akan menjadi besar. Semua berawal dari istiqamah, keberkahan sesuatu ditentukan. Dan memang bukan perkara yang mudah, namun patut diperjuangkan.

Akhir catatan, kita boleh melakukan berbagai ragam kebaikan dan aktivitas positif yang demikian banyak. Namun, pertanyaannya adalah bisakah kita terus mempertahankannya, meneruskannya, hingga ruh tak lagi menempel diraga? Semoga.

Kalam Hikmah Abi #22

"Orang wirid itu ibarat mengasah pedang, jika kita butuh kita tinggal tebaskan." (Abi Ihya).

Pesantren di Jawa ada banyak ragam model, ada pesantren yang hanya fokus terhadap keilmuan saja, ada pesantren yang lebih mengedepankan wirid ketimbang ilmu, ada pesantren yang fokus terhadap keduanya, yakni keilmuan dan wirid.

Manhaj yang diterapkan Abuya al-Maliki adalah yang terakhir, yakni fokus sekaligus terhadap dua hal, ilmu dan wirid. Di pesantren Abuya di Rushaifah, para santri disibukkan untuk melakukan dua hal itu, jika tidak terkait ilmu maka wirid. Sebab dipahami bahwa ilmu seringkali menggoda pemiliknya untuk merasa sombong, dan hal itu bisa dinetralisir dengan wirid. Maka berbagai macam ratib dan hizib serta aurod yang terkumpul dalam kitab karya Abuya, seperti Syawariqul Anwar menjadi santapan wirid para santri tiap hari. Abuya pernah berkata: " Seharusnya seorang santri memiliki bacaan wirid yang menjaganya dari kesesatan."

Begitu juga di Nurul Haromain Pujon, pesantren yang masih dalam pengawasan Abuya al-Maliki itu juga menerapkan manhaj yang sama, ilmu dan wirid. Maka tak heran jika setiap selesai shalat, ada saja ratib, hizib, atau wirid yang dirutinkan para santri.

Membaca wirid ibarat mengasah pedang, seorang santri jika berada di pesantren selama tiga tahun saja semisal, bukankah telah ratusan kali membaca wirid-wirid itu? Bukankah berarti pedang yang ia perlukan kelak di masyarakat telah ia asah sedemikian rupa?

Kebutuhan akan wirid dirasa sampai pada wilayah yang urgen, karena tidak mungkin seseorang berdakwah ditengah masyarakat hanya mengandalkan keilmuan yang ia miliki, dakwah model seperti itu akan hambar dirasakan masyarakat. Apalagi jika harus menghadapi teror dan ancaman dari pihak-pihak yang gerah dengan dakwah yang kita lakukan, kebutuhan akan hal satu ini menjadi semacam pelumas yang bisa melancarkan kebuntuan-kebuntuan yang terjadi.

Akhir catatan, Jika seorang polisi memiliki pistol untuk menyerang dan tameng sebagai pelindung, maka pistol dan tameng seorang santri adalah ilmu dan wirid. Sehingga akan terbentuk suatu keseimbangan yang indah.

Wallahu a'lam.

Minggu, 20 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #21

"Termasuk dari birrul walidain: kalau punya kesusahan jangan bilang orang tua." (Abi Ihya).

Didunia ini, yang tidak memiliki orang tua sama sekali hanya Nabi Adam. Dewi Hawa memiliki orang tua meski hanya bapak yakni Nabi Adam, Nabi Isa pun memiliki orang tua meski hanya ibu yakni Dewi Maryam. Selain Nabi Adam semua manusia dimuka bumi manapun dari awal kali manusia diciptakan sampai hancurnya alam semesta bisa dipastikan memiliki orang tua.

Orang tua adalah sosok yang paling berjasa dalam kehidupan seseorang. Seorang anak tidak akan pernah ada didunia ini sebelum mereka terlahir. Dan pada kenyataannya cara Allah melestarikan kehidupan manusia adalah melalui mereka. Tidak serta merta seseorang begitu saja ada.

Maka Islam mendudukan mereka sebagai sosok yang mesti mendapatkan penghormatan dan pemuliaan nomor satu, terlebih sosok ibu. Meskipun mereka non muslim. Memuliakannya adalah dengan kita berbuat baik kepadanya, atau dalam term yang lain disebut sebagai birrul walidain.

Birrul walidain adalah satu tindakan yang semestinya dilakukan dan diusahakan oleh seseorang yang mengaku ingin mendapatkan ridlo dari Tuhan. Karena ridlo-Nya hanya bisa diraih jika kita berhasil membuat orang tua kita ridlo.

Tentu saja birrul walidain tidak ada kaitannya dengan perbuatan dosa, artinya jika orang tua kita menyuruh satu hal yang berseberangan dengan prinsip syariat maka kita tidak boleh melakukannya atas nama birrul walidain. Selain hal itu, semua perbuatan baik yang bisa menyenangkan orang tua dan meraih ridlonya semestinya kita lakukan dan usahakan. Meskipun kedua orang tua kita berlaku zhalim dengan kita, tetap saja kita mesti berbuat baik kepada mereka, jika tidak, pintu neraka akan dibukakan untuk kita.

Termasuk bagian penting dari birrul walidain adalah, dikala kita punya kesusahan, hal yang membuat kita galau dan menangis, kita tidak perlu menyampaikan semua itu kepada orang tua. Tutup semua kesusahan yang kita rasakan ketika berada dihadapan mereka. Cukup ceritakan apa yang bisa membuat mereka bahagia. Pandangi mereka dengan wajah yang ceria, dengan pandangan yang menentramkan dan menyiratkan kasih sayang, maka kita akan mendapatkan pahala seperti menunaikan haji mabrur. Sebab jika kita menceritakan kesedihan kita, orang tua kita pasti akan kefikiran, terbebani dan ikut masuk dalam kesedihan yang kita rasakan. Sampaikan cerita bahagia dan simpan rapat-rapat cerita-cerita duka nestapa.

Tantangan terberat dalam birrul walidain adalah dikala seseorang telah beristri. Seorang istri semestinya terus mendorong suaminya agar suaminya terus berbakti kepada ibunya, bukan malah menjadi penghalang ia birrul walidain kepada sang ibu. Alqamah seorang sahabat yang rajin beribadah, tapi gara-gara ia lebih mementingkan istrinya ketimbang sang ibu, akhirnya ibunya murka dan kemudian membuatnya sempat tak bisa mengucapkan kalimat tauhid ketika sekarat.

Terkait dengan birrul walidain, bahwa surat al Baqarah adalah cerita tentang anak salih yang berbuat baik kepada orang tuanya. Seolah mengingatkan kepada kita akan urgensifnya birrul walidain. Anak salih itu adalah anak yang miskin yang setiap hari mencari kayu bakar dan hasilnya dibagi tiga, sepertiga untuk ibunya, sepertiga untuk dirinya dan sepertiga untuk sedekah. Dan sebab berbaktinya kepada sang ibu pada akhirnya anak itu berhasil menjadi orang yang kaya raya, sebab menjual sapi seharga emas seberat tubuh sapi itu.

Akhir catatan, seberapa besar kebaikan yang kita perbuat kepada orang tua, sebesar itulah kelak kebaikan yang akan dilakukan anak-anak kita kepada kita. Jangan bermimpi kelak kita punya anak yang saleh dan penurut jika sebagai anak kita seringkali membangkang terhadap orang tua. Apa yang kita tanam, itu yang akan kita panen.

Sabtu, 19 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #20

"Jangan menganggap remeh nikmat Allah, meski itu sak upo, merasa tidak butuh, bisa jadi bala' turun sebab hal itu. Kalau sampai membuang karena basi, maka itu bukannya tidak butuh tapi karena basi, tidak masalah." (Abi Ihya)

Nikmat yang diberikan Allah kepada kita memang beragam, ada yang terkesan kecil ada yang terkesan besar. Namun yang mesti dilihat adalah bukan bentuk dari nikmat itu sendiri melainkan sosok yang memberi.

Jika kita diberi seseorang yang spesial sesuatu yang sebenarnya tidak begitu berharga, katakan kita dikasih orang yang kita cintai cincin seharga sepuluh ribu. Maka kita akan berusaha menjaga dan merawat cincin itu sebaik-baiknya. Sebab yang kita pandang bukannya cincin tapi si pemberi cincin.

Begitu juga dengan nikmat Allah. Jika kita benar-benar menganggap Allah sebagai sosok yang kita cintai, maka apapun bentuk pemberian Allah, entah itu terlihat besar atau sangat kecil, kita semestinya berusaha menjaga, merawat dan mempergunakan nikmat itu dengan semestinya.

Kita mesti sadar diri, bahwa apapun yang kita miliki adalah pemberian Allah, bukan semata hasil dari usaha yang kita lakukan. Kita sampai kapanpun butuh kepada Allah, butuh terhadap kasih sayang-Nya, butuh terhadap curahan nikmat-nikmatnya. Maka tidak elok jika dikala Allah telah sudi mencurahkan nikmat yang banyak kepada kita, lalu kita bersikap dengan satu sikap yang memberi kesan bahwa kita meremehkan nikmat Allah, merasa tidak butuh dengan nikmat itu. Islam sampai mengajarkan menjilati jemari selepas makan bukankah satu isyarat bahwa sekecil apapun itu, jika itu adalah nikmat yang berasal dari-Nya, tidak berhak dan tidak pantas bagi kita untuk meremehkannya. Maka jika kita sedang makan, ada makanan yang jatuh dan masih bersih semestinya kita ambil. Bapak ibu kita dulu bahkan sampai menjemur nasi sisa demi mengekspresikan rasa butuh dan tidak mengabaikan terhadap nikmat-Nya yang sebenarnya jika mereka membuangpun karena basi tidak mengapa, tapi lebih baik jika kita terpaksa harus membuang makanan, kita niatkan saja untuk sedekah dengan makhluq Allah yang lain.

Yang mengenaskan adalah seseorang yang tidak bisa mengukur kapasitas perutnya sendiri. Dikala ia makan, ia mengambil makannya sendiri, namun ia tidak berhasil memakannya dengan habis. Dikala di restoran, memesan makanan dan minuman ini itu demikian banyak, tapi semuanya hanya sekedar dicicipi rasanya. Hati-hati dengan hal ini, bisa jadi Allah cabut kenikmatan itu sehingga ia jatuh miskin. Tak usah gengsi menghabiskan makanan atau minuman yang kita pesan sampai habis tak bersisa, kalau perlu minta bungkus saja makanan yang masih banyak tersebut.

Ini bukan dalam kategori rakus, tapi bagaimana kita tidak membuangnya percuma, siapa yang mau memakan bekas sisa kita? Maka sadarlah wahai orang-orang kaya, makan adalah kebutuhan bukan gaya hidup. Sederhanalah dan pahami kapasitas perut anda sendiri. Tidakkah anda melihat diluar sana masih banyak orang yang untuk mendapatkan sesuap nasi saja begitu kesulitan.

Wallahu a'lam.

Jumat, 18 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #19

"Al Ma'mur ma'dzur, jangan pernah menyalahkan orang yang diperintah/kurir, karena ia hanya sekedar menjalankan perintah" (Abi Ihya)

Al Ma'mur ma'dzur, maknanya orang yang diperintah mendapatkan maaf dan pemakluman.

Istilah ini sebenarnya adalah terkait dengan bahasan pembunuhan, seseorang yang diperintah oleh seorang imam untuk membunuh fulan, jika orang tadi tidak mengerti bahwa pembunuhan yang ia lakukan adalah tanpa hak maka yang mesti menanggung konsekuensi membunuh seperti kafarah, qisas atau diyat bukan dia tetapi adalah pihak yang memerintah, dalam hal ini yakni si imam.

Istilah ini juga berkait dengan masalah dikala orang-orang mencaci angin yang terasa panas atau dingin, hal ini tidaklah bijak sebab angin hanyalah makhluk yang diperintah.

Nah, terkait dengan hal ini, bahwa jika kita memerintah seseorang, lantas orang tadi keliru dalam melaksanakan perintah kita, kemudian kita mencelanya, maka sebenarnya pihak yang keliru besar dan patut dicela adalah kita sendiri. Kenapa kita memerintah atau meminta tolong seseorang yang tidak memiliki pemahaman yang baik terhadap apa yang kita maksud. Salahkan diri sendiri jangan buru-buru menyalahkan orang lain. Maka sebelum meminta tolong, lihat dulu kapasitas orang yang kita mintai tolong itu, apakah ia memang bisa menjalankannya dengan baik.

Namun bukan berarti, jika kita adalah pihak yang diperintah kemudian seenaknya dalam menjalankan tugas atau perintah lalu berdalih al ma'mur ma'dzur.

Ya, ungkapan ini hanya berlaku bagi pihak yang meminta tolong atau memerintah, sebagai penghibur dikala orang yang diperintah salah dalam menjalankan perintah, bukan sebagai dalil bagi pihak yang diperintah.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #18

"Ketika kita terkena bala, maka intropeksilah diri, jangan malah: 'Oh, mungkin Allah akan mengangkat derajatku', kemliti men!." (Abi Ihya)

Memang sebagai seorang yang beriman, dalam menjelajahi kehidupab pendek didunia ini, pastinya akan mengalami ujian atau cobaan. Baik berupa hal yang membuat kita takut, lapar, kekurangan harta benda atau hal lain. Hal ini tidak kita alami kecuali sebagai ujian keimanan dan bukti cinta Allah kepada kita. Tidak mungkin seorang mukmin lolos begitu saja dengan pernyataan berimannya tanpa dites terlebih dahulu. Maka berbahagialah kita, yang pasrah dengan apa yang digariskan Allah dan mengembalikan semua itu kepadanya dengan mengatakan: innalillah wainna ilaihi rojiun, sungguh kita semua milik Allah dan sungguh kita akan kembali kepada-Nya.

Di samping itu, ada pula bala' yang turunnya sebab dosa dan kesalahan fatal yang kita lakukan. Kemaksiatan yang kita lakukan kadang juga memicu turunnya bala'. Maka dikala kita terkena bala' alangkah lebih baik jika kemudian yang kita lakukan adalah intropeksi diri, barangkali ada dosa yang membuat Allah ta'ala murka. Bukan malah dengan pedenya kita katakan: "Oh, barangkali Allah akan mengangkat derajatku". Meski memang kadang bala' menimpa seseorang, bukan untuk apa-apa hanya sebagai tes kenaikan derajat, atau tes penghapusan dosa, atau karena ia akan mendapatkan surpise dari Allah ta'ala.

Akhir coretan, terkait dengan bala', seorang pecinta kelas tinggi bahkan pernah berkata: "Aku tiada merasa beda antara kenikmatan dan cobaan, yang membuatku senang hanyalah apa yang bisa membuat Allahku ridla".

Wallahu a'lam

Kalam Hikmah Abi #17

"Kalau ada orang memuji, katakan saja 'Alhamdulillahilladzi azh-harol malich wa satarol qobih' ( Segala puji hanya bagi Allah yang menampakkan kebaikan dan menutup keburukan)." (Abi Ihya)

Manusia dengan karakter aslinya, selalu senang ketika mendapatkan pujian, baik sebab ketampanan, pangkat, kepintaran, prestasi, penghargaan yang ia peroleh, atau hal lain yang membuat banyak orang terkagum-kagum dan akhirnya melontarkan hujan pujian yang deras kepadanya.

Hal itulah yang justru kala ditanggapi dengan sikap yang salah akan menyebabkan orang itu hancur berkeping-keping, sebab kondisi diri yang serasa terbang melayang bagai layang-layang yang akhirnya talinya putus.

Sebab tak jarang seorang pemuji mengatakan sesuatu dengan lebay, hiperbolis, dan sampai ketingkat dusta. Maka pihak yang dipuji tidak perlu ambil pusing dengan apa yang ia katakan, cukup katakan kalimat diatas.

Karena pada dasarnya semua orang memiliki aib dan kekurangan yang oleh Allah ditutup rapat demi citra baiknya di mata manusia, dan ini adalah termasuk hal spesial yang dianugerahkan Allah bagi ummat Sang Baginda shallallahu alaihi wasallam. Dulu sebelum zaman Sang Baginda, kala ada seseorang melakukan sebentuk kemaksiatan di suatu malam, di pagi harinya ia akan dapati persis didepan rumahnya tertulis perilaku maksiat dan namanya, sehingga orang-orang tahu maksiat apa yang ia lakukan. Namun Allah ta'ala begitu sayang dengan ummat Sang Baginda, sehingga tak sedikit aib dan cela seseorang ditutup rapat oleh Allah, sampai yang terlihat hanyalah sisi baiknya saja.

Maka adalah hal yang tidak elegan jika ada seseorang yang memuji kita, kita langsung serasa mekrok terbang melayang. Cukup kendalikan hati kita dengan kalimat diatas.

Dan bagi pemuji, alangkah baiknya tidak usah lebay dalam memuji, dan lebih baik tak usah melemparkan pujian kepada orangnya secara langsung, tapi pujilah orang itu dikala ia tidak berada dihadapanmu.

Wallahu a'lam

Nasehat Cinta

Perasaan boleh tertawan cinta, tapi menikah adalah tentang kepasrahan total terhadap-Nya melalui istikharah pada titik nol. Kepada-Nya...

Sebab cinta bisa tumbuh dengan kulina, tidak dengan kepribadian dan karakter seseorang, tidak cukup merubahnya hanya dalam hitungan bulanan atau bahkan tahunan. Maka kenalilah calon wanitamu sedalam-dalamnya, cari tahu sikap dan karakternya melalui orang-orang disekitarnya yang bisa kita percaya...

Mengenali calon wanitamu tak cukup melalui dirinya dan keluarganya. Namun, tanyakan pada orang lain yang dekat dengannya.

Bisa jadi wanitamu dan keluarganya bersikap baik hati dan perhatian padamu. Namun ternyata banyak orang lain yang mengenalinya terzhalimi oleh lakunya.

Bisa jadi yang ia tunjukkan kepadamu adalah bahwa ia seseorang yang jujur dan tulus dalam bersikap. Namun ternyata banyak temannya yang merasa tertipu dan dibohongi olehnya dan atau orang tuanya.

Sebab menikah, bukan hanya tentang hubungan dua insan sahaja. Namun ia adalah penyatuan dua keluarga yang berbeda latar belakangnya.

Jika sudah mantap, maka pasrahkan semuanya pada Gusti, semoga ia wanita yang terbaik bagimu, orang tuamu, dunia dan akhiratmu.

Kamis, 17 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #16

"Kalau kita punya sesuatu baru maka katakan: Masya Allah Laquwwata illa billah." (Abi Ihya)

Masya Allah La quwwata illa billah, sebuah kalimat yang tercantum dalam surat al-Kahfi ayat 39-41. Yang artinya lebih kurang:

"Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu 'Masya Allah' tidak ada kekuasaan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku lebih kurang dari pada kamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik dari pada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ke tentuan (petir) dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi.”

Sang Baginda pernah bersabda: "Tiada suatu nikmat pun yang diberikan oleh Allah kepada seseorang hamba dalam harta atau anaknya, lalu si hamba mengucapkan, Masya Allah Laquwwata illa billah (ini adalah apa yang dikehendaki Allah, tiada kekuatan bagiku untuk mengadakannya melainkan dengan pertolongan Allah), maka tiada suatu malapetaka pun yang akan menimpanya selain dari kematian.

Membaca kalimat ini adalah ungkapan kelemahan seorang hamba, semua kenikmatan yang ada pada kita semuanya berasal dari Allah azza wajalla, bukan semata hasil dari usaha yang kita lakukan.

Kita mengenal Qarun, seorang miliader pada zamannya, akhirnya dihancurkan oleh Allah sebab ia merasa bahwa apa yang dia miliki adalah murni dari hasil kerja kerasnya.

Lelaki pemilik kebun yang indah dalam ayat tadipun akhirnya mendapatkan teguran keras dari Allah, sebab tidak menyandarkan apa yang ia miliki kepada Allah, akhirnya kebunnya hangus dihantam petir.

Maka, alangkah indahnya kala kita mempunyai sesuatu baru, apapun itu, demi untuk menyukurinya dan mengembalikan semua kenikmatan itu kepada sang Pemberi, kita ucapkan Masya Allah laquwwata illa billah.

Bahkan Abuya al-Maliki mengajarkan, lebih baiknya di atas pintu rumah kita, kita tempeli kalimat ini, supaya disetiap kita memasuki rumah kita teringat untuk membacanya kembali, sehingga Allah ta'ala akan berkenan memberikan tambahan kenikmatan yang lebih besar ketimbang apa yang kita miliki.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #15

"Belajar kepekaan sangat penting, dan itu bisa dilatih dengan memperhatikan hal terkecil sekalipun" (Abi Ihya)

Awal kali mendengar term dzauq, atau kepekaan adalah kala diri ini menginjakkan kaki di altar suci almamater Pujon.

Dzauq dipahami sebagai hal yang lebih dikedepankan ketimbang ilmu. Dzauq adalah bagaimana kita bisa memahami orang lain dan segala sesuatu dengan peka, yakni tanpa loading yang lambat, cepat tanggap.

Ilustrasi yang konkrit dari dzauq seperti dikala seorang guru memanggil kita, " Fulan, kemari!". Sementara kita dalam kondisi badan yang masih kotor, maka kala kita mengedepankan dzauq, kita akan segera menyambut panggilan itu tanpa lagi peduli dengan penampilan kita yang masih belum bersih. Sebab kita tidak ingin membiarkan sang guru menunggu lama.

Sebenarnya ilmu tentang hal ini tidak akan kita peroleh kecuali secara langsung berinteraksi dengan sohibuddzauq. Sebab ilmu seperti ini tidak akan kita temukan hanya melalui membaca buku.

Hanya saja, cara melatih dzauq adalah dengan memperhatikan hal-hal paling kecil, seperti dikala kita menyuguhkan secangkir kopi kepada tamu, gagang cangkirnya kita hadapkan kepada tamu tersebut, sehingga tamu kita tidak lagi perlu memutar cangkir terlebih dahulu sebelum ia meminum. Juga seperti kala ada banyak sandal didepan rumah kita, untuk memudahkan tamu atau orang yang punya sandal tersebut, kita putar dan tata sandal tersebut sehingga kala orang yang punya sandal keluar dari rumah dan hendak memakainya tidak lagi perlu membalikkan badan terlebih dahulu.

Maka dzauq adalah juga pelajaran tentang bagaimana menyenangkan dan memudahkan urusan orang lain mulai dari perkara remeh sekalipun.

Wallahu a'lam.

Muhammad, Sang Baginda Yang Dinantikan

Seorang bayi kecil yang ditunggu-tunggu kelahiran-Nya oleh jagad raya, yang semenjak berada di rahim Sang Ibu setiap bulan sekali terdengar panggilan dari langit dan bumi, "Berbahagialah, telah tiba saatnya kehadiran Abul Qasim shallallahu alaihi wasallam sebagai pemberian yang diberkahi.

Seorang bayi yang kelahirannya telah dinantikan oleh banyak orang, bahkan oleh kaum yahudi nasrani. Sehingga pada suatu siang ada orang Yahudi yang berteriak: "Wahai orang-orang Yahudi'" Lantas mereka bergegas berkumpul, lantas berkata: " Heh, ada apa?!", ia kemudian menjawab: Telah muncul bintang Ahmad, ia dilahirkan dimalam ini.

Dan kemudian ada pula seorang Yahudi yang merupakan salah satu penduduk Makkah, pada saat malam dimana Rasul shallallahu alaihi wasallam dilahirkan berkata, "Wahai orang Quraisy, apa ada seorang bayi yang malam ini dilahirkan?". Ada yang menjawab "Ga ngerti", Lantas si Yahudi bilang: "Coba kalian cek, sebab pada malam ini seorang bayi yang kelak menjadi Nabi Ummat ini dilahirkan, diantara kedua bahunya ada tanda. Ternyata setelah dicek ada seorang bayi yang barusan dilahirkan, buru-buru ia menghampiri ibunya dan melihat sang bayi. Ketika si Yahudi melihat tanda kenabian di tubuh bayi itu ia tersungkur nyaris pingsan, lantas berkata: "Lenyap sudah kenabian dari Bani Israil". Benar, bayi itu dilahirkan bukan dari rahim Bani Israil, namun justru dari keturunan Nabi Ibrahim, dari klan Quraisy.

Ialah Muhammad, seorang bayi yang kelahirannya membuat gempar jagat raya, membuat padam api yang disembah sekian ribu tahun, membuat istana Kisra gempa. Seorang bayi mungil yang semenjak bayi telah disunat, calon Nabi akhir zaman, Nabi termulia, pamungkas para Nabi.

Muhammad dilahirkan tidak dibulan yang mulya layaknya Ramadlan, Muharram, maupun Shafar. Namun, bayi itu lahir di bulan biasa yang akhirnya menjadi istimewa berkat kehadiran Sang Baginda Pamungkas, tiada lain adalah Rabi'ul Awwal. Pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal tahun gajah ia dilahirkan. Hari kelahirannya dinilai lebih istimewa daripada malam lailatul qadar.

Maka semesta bahagia dengan kelahiran sang baginda, pada saat itu Juwairiyyah seorang budak milik Abu Lahab berlari menghampiri tuannya mengabarkan akan kelahiran keponakannya, maka Abu Lahab bahagia sekali hingga ia memerdekakan Juwairiyyah sebagai ungkapan syukur yang mendalam.

Abu Lahab, seorang yang telah dicap sebagai penghuni neraka itu, akhirnya mendapatkan remisi hukuman setiap hari senin di neraka. Sebab kebahagiaan yang ia tunjukkan akan kelahiran manusia terbaik shallallahu alaihi wasallam. Maka bagaimana dengan kita yang muslim mukmin yang menjadikan Sang Nabi sebagai idola dan hobi membacakan shalawat teruntuknya? Yang kala bulan Rabiul Awwal telah nampak seringkali menyiapkan penyambutan yang luar biasa bagi ungkapan kebahagiaan yang mendalam akan kelahirannya.

Maka adalah sebuah kenistaan yang teramat mendalam mengenang kelahiran Sang Baginda Nabi dengan menggelar acara semacam Maulid Nabi dianggap sebagai satu hal yang bid'ah, sesat. Sebuah klaim yang menyakitkan dan dungu sekali.

Akhirnya, apapun komentar mereka, bahwa cukuplah Rasul sebagai pembela yang akan menjadi pemberi syafaat kelak di hari qiyamat. Shallallahu alaihi wasallam.

Rabu, 16 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #14

"Baca laqod ja'akum terus menerus insya Allah akan membuat kita tertular sifat-sifat Rasulullah"

Dua ayat terakhir dari surat at-taubah itu artinya kurang lebih:

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arasy yang agung”.(QS.At-Taubah :128-129).

Sebuah ayat yang disana memuat sifat-sifat Rasulullah yang agung, empati dan kepedulian yang besar seorang Nabi terhadap umatnya, keinginan yang besar akan keislaman dan keselamatan umatnya. Ialah Baginda yang Rouf yang Rohim, dua sifat yang sebenarnya adalah bagian dari asmaul husna. Namun sifat tersebut justru disematkan sendiri oleh Allah kepada Rasul termulya, Sang Baginda Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Ialah seorang Nabi yang menginginkan seluruh umatnya mendapatkan keselamatan dan masuk surga. Ialah Nabi yang kala kaumnya membangkang justru Ia doakan dengan kebaikan, Allahummahdi qoumi fainnahum la ya'lamun. Yang sesuatu yang disebut dan di ingat kala sakaratul maut datang tidak lain adalah "umatku umatku".

Maka meneladani sifat-sifat Sang Baginda shallallahu alaihi wasallam semestinya kita usahakan. Berawal dari menelaah dan merenungkan perjalanan hidup manusia termulia itu sehingga bisa mengerti dan termotivasi untuk meniru sebisanya. Karena apa lagi yang lebih menarik setelah mengenal Sang Baginda selain ingin meniru sikap dan perilakunya.

Dalam kitab Ihya ulumiddin, ada keterangan yang menyebutkan keutamaan ayat ini, disana dikatakan, barang siapa kontinu membaca Laqod ja'akum Rosulummin anfusikum hingga akhir surat, ia tiada akan meninggal dalam kondisi hancur, tenggelam, terbakar, atau dipukul dengan besi, meski memang riwayatnya dinilai dloif.

Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini juga bisa menangkal dari gangguan setan yang terkutuk dan pihak otoriter yang keras kepala.

Maka membacanya terus menerus dengan harapan semoga bisa ketularan sifat-sifat terpuji Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang belas kasih, peduli, penyayang bukanlah satu hal yang tidak terpuji. Sebab memuji Rasul dengan sifat-sifatnya yang indah adalah pekerjaan pecinta yang tidak bisa diremehkan, dan semoga melalui keberkahan yang turun sebab menyebut sifat agungnya kita bisa benar-benar dikaruniai meski setetes sifat mulia itu.

Allahumma sholli ala sayyidina Muhammad arroufirrohim wa 'ala alihi washohbihi wasallim.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #13

"Menyukuri dengan membaca hasbanah 450x (hasbunalloh wani'mal wakil), akan melanggengkan nikmat yang diperoleh. (Abi Ihya)

Hasbanah, sebuah ungkapan kepasrahan total yang mula-mula diucapkan oleh Nabi Ibrahim kala ia dilemparkan digunung api yang berkobar-kobar.

Kalimat itu juga yang dibaca oleh Sang Baginda shallallahu alaihi wasallam kala orang-orang kafir berkata:

"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: Hasbunallohu wani'mal wakil (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung)."

Sang Baginda shallallahu alaihi wasallam juga seringkali merapalkan kalimat itu kala tertimpa masalah yang pelik. Beliau kala seperti itu, mengusap kepala dan jenggotnya lantas menghela nafas tinggi-tinggi sembari berucap: Hasbunalloh wani'mal wakil.

Abuya al Maliki juga melanggengkan wirid hasbanah ini ditiap malam, dan awal ijazah yang seringkali beliau berikan kepada seseorang adalah kalimat ini.

Mengenai bilangan pembacaannya, yang masyhur menurut para ulama adalah 450x, ada juga yang mengatakan 950x, 19000x, 4000x, dan 7000x.

Ya, dengan membacanya, Allah akan menjadi penolong dan pelindung kita disemua urusan, melindungi kita dari sikap buruk yang dilancarkan orang lain, menyiapkan bagi kita pertolongan, membuat orang-orang mencintai kita, dan pula mampu mengkayakan kita. Sehingga dengan rutin membacanya, Allah akan melanggengkan dan bahkan menambah kenikmatan-kenikmatan-Nya. Sebab hal itu juga termasuk ungkapan riil rasa syukur kita akan setiap curahan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #12

"Sebaiknya amalan kita, kita rahasiakan dari orang lain" (Abi Ihya)

Secara manusiawi kebanyakan manusia sangat senang jika kebaikan yang ia perbuat diketahui oleh orang lain, disebut-sebut dimana-mana.

Secara manusiawi, seseorang akan berusaha menjaga citra dirinya di masyarakat agar mereka tahu bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang baik.

Ya, secara umum seseorang akan berusaha melakukan amal kebaikan untuk menghindarkan cap jelek dari masyarakat.

Seperti itulah kebanyakan orang, mereka beramal masih dalam wilayah pencitraan kebaikan di mata orang lain. Ia ingin dikenal sebagai orang yang baik, pemurah, dermawan, dan spirit dunia lainnya. Bukan semata sebab ingin membahagiakan-Nya.

Maka memang amat sulit menghindarkan diri dari hal itu kecuali dengan kita berusaha menyembunyikan kebaikan apapun yang kita lakukan. Sehingga sampai pada tingkat tidak lagi peduli dengan anggapan manusia tentang kita. Terserah saja kita mau dikenal sebagai orang baik, atau jelek yang paling penting adalah bagaimana berusaha meraih cinta dari-Nya.

Inilah tujuan dari penyembunyian amal, yakni bisa mensterilkan amal dari motivasi-motivasi keliru yang ujung-ujungnya adalah dunia dan pencitraan diri.

Tapi memang ada saat dimana kita tidak semestinya beramal secara diam-diam, yakni dikala kita menjadi figur yang dijadikan teladan oleh masyarakat. Maka menampakkan amal supaya masyarakat meniru dan meneladani apa yang kita lakukan adalah lebih baik dari pada harus menyembunyikannya.

Wallahu a'lam.

Selasa, 15 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #11

"Seluruh yang kita lakukan, kita harus 'pasang niat' agar seluruhnya bernilai ibadah." (Abi Ihya)

Tujuan penciptaan manusia telah dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur'an, yakni hanya untuk beribadah. Lantas bagaimana caranya tujuan mulia tersebut bisa kita usahakan? Apakah mungkin seseorang dengan kesibukannya yang padat mampu mengusahakan hal itu?

Cara yang tepat dan praktis dalam merealisasikan tujuan penciptaan tersebut tidak lain adalah dengan memasang niat yang baik di setiap apapun aktivitas yang kita lakukan.

Ya, ibadah tidak akan berbenturan dengan aktivitas harian kita. Semuanya bisa ternilai ibadah kala kita pintar meletakkan niat saleh di kesibukan kita itu.

Dua orang boleh sama-sama makan, tapi orang yang cerdas makan dengan meniatkannya supaya kuat dalam mengabdi kepada Allah dan Rasulullah, sementara yang satu makan hanya demi mengusir lapar belaka. Maka orang pertama akan sukses mendapatkan kenyang dan pahala, sementara yang lain hanya akan mendapatkan kenyang belaka.

Dan hal ini berlaku bagi semua bentuk aktivitas yang kita lakukan, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Niatkan kala kita mandi, memakai parfum, mencuci baju, agar kita tampil prima dihadapan manusia, tidak membuat mereka tak nyaman dengan bau badan kita. Niatkan kala kita berangkat bekerja untuk menyenangkan anak dan istri, tidak hanya agar dapat uang dan menjadi kaya. Niatkan saat kita berhubungan dengan pasangan agar Allah memberi kita anak saleh salehah demi meneruskan perjuangan kita. Niatkan kala kita hendak tidur, untuk menyiapkan fisik untuk kembali mengabdi kepada-Nya. Wal hasil, apapun bentuk aktivitas kita, kita mesti pasang niat yang bagus sehingga aktivitas itu tidak berlalu begitu saja tanpa menghasilkan pahala.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #10

"Kita masing-masing mempunyai kelebihan, maka syukurilah. Jangan merendahkan diri!" (Abi Ihya)

Semua manusia dicipta memang memiliki dua hal, yakni kelebihan dan kekurangan. Tiada manusia di muka bumi ini yang tak memiliki kekurangan melainkan para Nabi saja. Juga tidak akan ada manusia di muka bumi ini yang tak memiliki kelebihan. Semua diciptakan dan di setting Allah dengan demikian supaya mereka bisa saling menutupi kekurangan masing-masing dengan saling tolong-menolong.

Seseorang yang kelihatannya sempurna, jika kita mau lebih jeli sedikit mengamati kehidupannya, akan kita dapati bahwa ia pun memiliki kekurangan ini itu yang tidak sederhana.

Sebaliknya seseorang yang kelihatannya memiliki banyak kekurangan, maka jika kita lihat dengan seksama. Ia pun juga memiliki kelebihan yang luar biasa.

Maka siapapun kita, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak percaya diri (inferiority complex). Sebab kita masing-masing punya keahlian yang tidak dimiliki orang lain. Seorang manager disebuah kantor bonafit belum tentu bisa mengurusi kebersihan rumahnya sendiri. Maka tidak ada alasan bagi pembantu rumah tangga untuk merasa rendah dengan profesinya. Sebab ia mampu dan ahli melakukan pekerjaan yang bosnya tidak mampu melakukannya.

Inilah setting kehidupan yang indah dari Allah, sehingga masing-masing dari kita, siapapun itu membutuhkan jasa pihak lain untuk meringankan bebannya.

Yang paling penting adalah, bagaimana mengusahakan menjadi ahli dalam bidangnya. Apapun bidang yang kita geluti. Dan jangan pernah meragukan potensi besar yang telah dikaruniakan oleh Allah kepada kita. Teruslah berusaha maju meraih impian dan cita-cita demi membahagiakan Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a'lam.

Senin, 14 Desember 2015

7 Oktober 2015

"Al-Kayyisu (Orang yg cerdas), adalah yg mentaatkan dirinya (Daana Nafsahu) pada perintah Alloh dan RosulNya, dan mengerjakan amal untuk kehidupan setelah mati (akhirat). Sedangkan org yg lemah, adalah yg mengikuti hawa nafsunya dan berharap2 kosong pada Alloh" -Makna Hadits-

Ada beberapa hal terkait kalimat "Daana Nafsahu" dalam hadits di atas yg dijabarkan oleh para 'ulama,
1. Ketaatan dan ketundukan pada Alloh dan RosulNya.
Memahami Islam tidak hanya sekedar maklumat (pengetahuan), namun sebagai sebuah Mafahim (pemahaman yg diikuti dgn pengamalan).
2. Selalu memperhitungkan diri (Introspeksi/Muhasabah).
Mencoba untuk memperhitungkan dirinya, menghitung2 keburukan dan kesalahan yg dilakukan. Sehingga bisa melihat akibat yg baik dari padanya.
3. Menundukkan nafsu, dan menghinakannya
Menjadi raja bagi dirinya, menjadi kholifah bagi nafsunya. Menguasai segala sesuatu, bukan dikuasai oleh salah satu dari dalam dirinya, entah itu berupa Nafsu, Syahwat, maupun setan.

Itulah penjabaran para 'ulama terkait Al-Kayyisu (Orang yg cerdas) yg "Daana Nafsahu".

Ada beberapa teori sangat bagus yg pernah dibahas para 'ulama terkait dgn realisasi Al-Kayyis oleh setiap Muslim. Yg kita kenal kemudian dgn kalimat "Bit-Takrir Yahshulut-Taqrir wa bit-Taqrir Yahshulut-Tanwir" (dgn pembiasaan, menjadikan sebuah ketetapan, dan dari ketetapan menjadi sebuah pencerahan).

Kita ambil salah satu contoh saja, membiasakan sholat jamaah, yg sebagaimana kita ketahui akan banyak dan besarnya Fadhilah sholat jamaah. Sehingga dikatakan, seandainya saja tidak ada satu fadhilahpun dalam sholat jamaah kecuali "Amiin", maka hal itu sudah mencukupi. Jika bisa kita coba menjadikanny sebuah kebiasaan/ketetapan dalam diri, maka bisa kita bayangkan, berapa banyak pencerahan, tuntunan serta rahmat Alloh yg kita dapatkan...

Dari itulah, perlu adanya bagi setiap kita, kaum Muslimin untuk mencoba menundukkan dan menghinakan nafsu kita, serta membiasakannya menjadi sebuah ketetapan dalam diri. Mencoba mengikuti teori-teori luar biasa yg telah dirumuskan para 'ulama, dan mencoba mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari2.

Butuh proses tentunya, karena tidak ada hal luar biasa di zaman ini yg didapatkan dgn instan, tanpa adanya perjuangan.

Adapun ttg Al-'Ajiz (Orang bodoh), yg selalu mengikuti dan mengumbar nafsunya hingga teledor dan lalai pada Alloh, namun berharap2 ksong bahwa hal itu bisa membawanya sampai pada Alloh. Inilah yg kemudian disebut oleh para 'ulama dgn istilah "Maghruur" (Tertipu). Tertipu dgn amal dan keyakinannya yg salah.

Dalam hal ini, penggunaan kata Al-'Ajiz yg berarti lemah oleh Rosul, merupakan sebuah tegoran lembut sebagai sebuah pengingat dan sentilan untuk perasaan mereka. Bentuk kasih sayang beliau agar umatnya bisa merasa bahwa dirinya salah, mengakui hal itu, dan bertaubat kembali pada Alloh. Karena merupakan kerugian yg sangat besar, saat ssorg merasa dirinya tidak melakukan dosa, bahkan meyakininya sebagai sebuah ibadah. Na'udzubillah... Sedang Rosul sendiri telah memberi tuntunan termudah, bahwa "Al-I'tirof Yamhul-Iqtirof" (hanya dengan pengakuan dosa saja -pada Alloh- bisa menghapus dosanya).

-Taklim Pagi-
Sunan Turmudzi

5 Oktober 2015

"Dilarang makan daging kurban setelah 3 hari" -Makna Hadits-

Terdapat sebuah riwayat bahwa para shahabat Rosul -umat terbaik yg selalu patuh pada Alloh dan RosulNya-, mencairkan lemak dari daging2 hewan kurban untuk dijadikan minyak. Melihat hal tersebut, Rosululloh menanyakannya, untuk apa mereka melakukan hal itu. Para shohabat menjawab, hanya demi menjalankan perintah Rosul saja, tentang larangan beliau untuk memakan daging kurban setelah 3 hari. Mendengar hal tersebut, Rosululloh pun menjelaskan bahwa larangan tersebut, beliau sampaikan hanya demi meratakan daging kurban saja. Agar para Badui yg datang ke kota Madinah saat itu juga bisa mendapatkan jatah daging kurban. Karena saat itu adalah masa susah, maka beliau mengeluarkan larangan tersebut agar setiap org menyedekahkan dagingnya untuk para Badui. Berhubung saat ini adalah masa makmur, maka beliau memperbolehkan para shohabat untuk berbuat apapun dgn daging kurban yg dimiliki. Disimpan, dimakan ataupun disedekahkan.

Sebuah bentuk strategi Rosululloh dalam mengatur kehidupan sosial para shohabat. Demi mencapai kemakmuran dan ketentraman bersama.

Ada sebuah riwayat Rosululloh melarang untuk menyewakan rumah pada shohabat lain, untuk kemudian membolehkannya. Ada pula sebuah riwayat bahwa Rosul melarang menyimpan harta lebih dari kebutuhannya sehari2, dan memerintahkannya untuk disedekahkan pada shohabat lain yg tidak mampu, untuk kemudian membolehkannya saat memasuki masa kemakmuran.

Dari hal ini ada beberapa hal yg bisa kita garis bawahi dari sikap para shohabat terhadap perintah2 Rosul.
1. Mentaati secara langsung meski belum mengetahui ada apa di balik perintah tersebut. Karena mereka meyakini, bahwa apa yg datang dari Alloh dan RosulNya adalah hal terbaik bagi mereka
2. Mengetahui dan memahami keadilan Rosul dalam memutuskan segala sesuatu. Menunjukkan bahwa apa yg beliau putuskan tidaklah dari hawa nafsu beliau, melainkan sebuah wahyu dari Alloh
3. Mendapatkan ajaran penting. Bahwa segala yg Rosul ajarkan, sampaikan, dan perintahkan, tidaklah untuk kepentingan beliau pribadi. Tapi semua itu hanya demi kepentingan umat beliau. Demi kepentingan bersama. Demi kasih sayang dan perhatian beliau pada umat.

Dari itulah, bisa kita pelajari bahwa apa yg diajarkan dalam Islam, tidak harus selalu dinalar terlebih dahulu oleh logika demi mendapatkan keyakinan dalam diri. Tapi sebaliknya, cobalah untuk meyakini dalam diri, bahwa segala apa yg dituntunkan Rosul merupakan tuntunan dan ajaran terbaik untuk kehidupan kita di dunia ini. Sebuah bentuk kasih sayang dan perhatian Alloh dan RosulNya pada kita para umatnya.

-Taklim Pagi-
Shohih Muslim

17 September 2015

الحياء
disebutkan secara khusus oleh Rosululloh dikarenakan pentingnya rasa malu itu.

Dalam islam ada perintah dan larangan, seseorang akan mengerti dan menjauh dari larangan, itu karena rasa malu yang dimilikinya.

إذا كان شرعيا ثم يسمى بالحياء الإيماني او الحياء من الله، والحياء من الناس ليس فيه ثواب
malu itu harus kepada Alloh, tidak boleh malu karena manusia, tetapi jika malu karena manusia itu disebabkan karena khawatir dicela, maka boleh2 saja dan ini arahnya ke kebaikan, yakni etika.

Malu itu ada dua :
١ـ. نفساني
Yaitu malu yang Alloh ciptakan dalam diri semua manusia seperti malu jika aurotnya terbuka.
Alloh menjadikan aurot sebagai keanggunan tersendiri, maka jika aurotnya dibuka berarti dia tidak punya malu.

٢ـ إيماني
Yaitu malu yang mencegah seorang mukmin dari perbuatan maksiat dikarenakan takut kepada Alloh.


TA'LIM PAGI INI
(Sunan Abu Dawud)
Akhi Fakhrurrozy

16 September 2015

Di zaman ini telah berkembang dalam membangunkan malam menggunakan tarhim adapula yang menggunakan adzan awwal.

Adapun bacaan adzan
الصلاة خير من النوم
itu asal usulnya yang menambahi adalah Sayyidina Bilal itupun di adzan pertama Qiyamullail, bukan adzan shubuh. Akan tetapi berhubung orang2 di akhir zaman tidak ada yang bangun maka التصويب
atau lafadz
الصلاة خير من النوم
diletakkan di waktu shubuh.

Adapun jawaban التصويبdalam adzan (shodaqta wa barorta) itu tidak warid, begitupula doa sujud sahwi tidak ada riwayatnya
سبحان من لا ينام ولا يسهو
Adzan itu sendiri mempunyai 2 fungsi :
1. Mengundang sholat fardhu
2. Adzan awwal qobla shubuh

Adapun sholawat itu merupakan murobbi bagi orang yang tidak mempunyai guru, maka dari itu orang yang membaca sholawat akan mendapat jaminan dari Rosululloh sebagaimana dzikir yang mendapat jaminan dari Alloh.

Rosul memberikan kebebasan dalam bersholawat karena setiap orang mempunyai selera masing2 dalam mencapai manisnya ibadah.


TA'LIM PAGI INI.
(Sunan Tirmidzi)
Akhi Fakhrurrozy

15 Desember 2015

Dalam setiap kesempatan Sayyidina Abu Bakar selalu berkoordinasi dengan Rosululloh lewat musyawarah demi kepentingan umat.

Ketika itu Sayyidina Abu Bakar membawa sisa makanan ke Rosululloh untuk disuguhkan kepada 12 orang pemimpin beserta anak buahnya, kita harus meyakini adanya barokah dalam makanan dan tidak perlu khawatir kekurangan jika itu disuguhkan untuk tamu.

Segala sesuatu termasuk makanan sedikit yang tidak habis dimakan oleh para sahabat yg berjumlah banyak merupakan salah satu mukjizat Rosululloh ..

Termasuk mukjizat Rosululloh juga adalah ketika itu para sahabat mengeluhkan kemarau yang berkepanjangan sehingga beliau memohon Alloh menurunkan hujan, turunlah hujan hingga 7 hari lamanya, hujan tidak kunjung reda hingga banyak rumah roboh.

Akhirnya para sahabat kembali memohon kepada Rosululloh agar hujan bisa reda, Rosul tersenyum seraya berdoa :
اللهم حوالينا ولا علينا
seketika hujan reda dan gumpalan awan hitam menyingkir.

Doa ini juga yang pernah dibaca olek KH. Abdul Hadi Langitan ketika hendak mengadakan acara Maulid besar-besaran yang ketika itu awan sangat gelap dan menunjukkan akan hujan.
Beliau keluar ndalem seraya berdoa dengan doa tersebut seketika awan menyingkir dan langit kembali cerah, semua itu termasuk karomah dari beliau.


TA'LIM PAGI INI

14 September 2015

Macam macam penyembelihan.

الذبح
Menyembelih dg cara menidurkan hewannya.
النحر
Mnyembelih dg tdak ditidurkan, bisa dgn berdiri atau duduk, urat nadinya dicutat dg alat yg bengkok agar bisa putus.
العقر
Menyembelih dengan cara memanah, menembak atau menombak hewan yang sedang lari. Hal ini dilakukan karena hewan sulit ditaklukkan dan membahayakan.

Dalam surat Al-Kautsar (فصل لربك وانحر) menjelaskan tentang ibadah vertikal (hububgan dengan Alloh) dan ibadah horisontal (hubungan dengan sesama makhluk) bukan menggunakan lafadz حبل من الله و حبل من الناس sebagaimana banyak orang salah kaprah.

Rosululloh memperbolehkan kita menyembelih dengan sesuatu apapun yg bisa memutus urat nadi kecuali :

1. Menyembelih dengan tulang karena tulang itu sendiri mutanajjis oleh darah juga dilarang istinja' dengan tulang dan tupang juga merupakan makanan jin.

2. Menyembelih dengan kuku karena kuku adalah berang (alat) menyembelihnya orang habasyah (dulu kuffar) sehingga من تشبه بقوم فهو منهم (barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka)

TA'LIM PAGI INI

Kalam Hikmah Abi #9

"Jangan pernah berlaku semena-mena dengan siapapun, padune dadi kyai mlekoto santrine, terus ngomong 'Barokah-barokah', itu namanya kyai zhalim, kyai tanpa santri mau ngajar siapa?'" (Abi Ihya)

Hidup secara berdampingan memang harus ada harmoni yang tercipta. Orang tua menyayangi yang lebih muda, sebaliknya yang muda menghormati kepada yang lebih tua. Ini masih dalam wilayah relasi umum tanpa terkait dengan relasi keilmuan.

Dalam kitab yang masyhur dikaji di Pesantren yang berjudul Ta'limul muta'allim, menjadi sebuah prasyarat supaya ilmu seorang santri bermanfaat baginya didunia dan akhirat adalah menghormati ilmu dan guru, bahkan sampai kepada siapa saja pihak yang masih berkaitan dengan guru tersebut. Maka sebagai seorang santri sejati memulyakan guru melalui khidmah kepadanya adalah kesempatan yang ditunggu-tunggu. Sebab hal ini diyakini yang mampu membawa keberkahan dan kemanfaatan kelak selepas pulang ke rumah.

Namun, yang disayangkan adalah jika penghormatan santri kepada guru itu disikapi secara berlebihan oleh sang guru, atau orang lain yang masih dekat dengannya seperti gus dan neng. Atas nama satu hal, yakni barokah mereka malah memperlakukan dan mempekerjakan santri secara semena-mena. Seorang gus dan neng tak jarang hanya bisa memerintah ini itu tanpa bisa dijadikan teladan dan akhirnya hanya akan melahirkan generasi penikmat yang siap menghancurkan pesantren yang dirintis ayah kakeknya puluhan tahun.

Tentu saja mengajari santri senang berkhidmah adalah hal yang mesti dilakukan. Dari mulai bersih-bersih rumah, mobil, pakaian, halaman, toilet, memasak, menyetirkan mobil, atau hal lain yang itu akan menggerus kesombongan santri dan akan melahirkan pribadi rendah hati, dengan catatan tanpa sikap semena-mena. Toh sebagai seorang santri pastinya kita selalu ingin memulyakan sang guru dengan apapun caranya. Paling tidak, seseorang yang telah mau susah payah berkhidmah kepada kita, kita senangkan dengan memberinya uang atau hal lain yang mampu membuat santri itu senang dan merasa menjadi spesial, jangan cuma menjual barokah.

Ya, guru menyayangi murid, murid menghormati dan memulyakan guru. Sebab setiap kita membutuhkan orang lain, tak terkecuali guru pastinya membutuhkan murid.

Wallahu a'lam.

Minggu, 13 Desember 2015

Kalam Hikmah Abi #8

"Tidak cukup mengisolir diri dengan keilmuan yang mumpuni, sementara masyarakat sekitar tidak terjamah" (Abi Ihya).

Pada mulanya seseorang dituntut untuk mempelajari ilmu yang sesuai dengan kondisi yang terjadi padanya, atau dikenal dengan term ilmu hal. Lalu setelah itu, tugas bagi seorang pemilik ilmu adalah mengamalkan apa yang ia pahami. Sebab amal adalah buah dari ilmu, maka percuma jika berilmu saja tanpa mau mengamalkan, mengejawentahkan dalam ranah aksi. Dan tidak cukup sampai disitu, seorang pemilik ilmu setelah berhasil mengamalkan, hal selanjutnya yang mesti ia ikhtiarkan adalah menyebarkan mafahim itu ketengah masyarakat. Sebab kita mengerti bahwa, al-Muta'adhi afdholu min al-Lazim, yakni yang menjalar lebih afdol ketimbang yang stagnan.

Jika kita mau menelisik, kita akan temukan di masyarakat banyak sekali orang yang butuh terhadap sentuhan dakwah, sampai pada hal yang kecil sekalipun seperti baca al-Qur'an. Banyak dimana-mana baik di desa maupun kota seorang muslim yang belum bisa membaca al-Qur'an, praktek shalat, dll yang itu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Maka siapa lagi yang mesti mengambil aksi untuk menjawab kebutuhan itu semua jika bukan para pemilik ilmu?.

Ya, kita mengerti bahwa dakwah bukan hanya berbentuk pengajaran. Namun bukankah dakwah model lain sudah cukup kiranya ditangani oleh pihak luar, sebab hal yang lebih urgensif yang mesti diikhtiarkan oleh pemilik ilmu ialah memberikan pengertian dan pemahaman akan ajaran Islam kepada masyarakat, yang katanya disebut dengan ilmu hal.

Tentu saja sikap mengisolir diri dengan keilmuan mumpuni bisa digolongkan sebagai Katimul ilm, penyembunyi ilmu. Sebab jika sampai masyarakat tak mengerti bagaimana menjadi muslim yang semestinya sementara ada kita disana yang hanya sibuk memikirkan keselamatan diri sendiri, bisa jadi kita yang akan mendapatkan tuntutan keadilan Allah kelak di hari qiyamat dari mereka, sebab perilaku kita yang mereka anggap sebagai suatu kezhaliman.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #7

"'Nyapuho!' kok takon 'Ndi sapune?' berarti seng di perintah goblok!." (Abi Ihya)

Makna: "'Tolong Sapu!' kok lantas tanya, 'Mana sapunya?", berarti yang diperintah goblok"

Sebuah bahasa pendidikan yang berasal dari Guru Murobbi untuk orang-orang dekatnya. Sebab jika sepintas dilihat, bahasa ini terkesan menohok. Maka bahasa ini tidak bisa dipakai untuk lawan bicara yang tidak memiliki kedekatan dengan Sang Guru. Bahasa semacam: man laisa lahul wirid fahuwal qirid (siapa yang tidak punya wirid maka dia monyet), man laisa lahul adab fahuwa kaddzubab (barang siapa yang tidak punya adab maka dia layaknya lalat) adalah bahasa-bahasa pendidikan yang hanya ditujukkan bagi santri-santri dekat saja.

Seorang Murobby adalah sosok pendidik moral yang tentu saja harus memberikan pendidikan secara maksimal, bisa melalui kata-kata, atau bahkan ketingkat pukulan kasih sayang jika memang itu diperlukan. Inilah gaya pendidikan yang diajarkan Rasulullah, Rasul sangat senang jika dirumah ada cemeti yang disiapkan sebagai salah satu sarana mendidik anak, tentu saja melalui tahapan-tahapan yang telah ditetapkan. Tidak seperti kini yang kala anak dimarahi sedikit, orang tua langsung tidak terima melaporkan gurunya itu ke Komnas HAM.

Abuya al-Maliky bahkan seringkali harus memakai tangan untuk mendidik kepekaan murid-muridnya, dan konon bahkan semenjak beliau wafat pukulan itu masih terkenang dan mereka rindukan. Dhorbul habib zabib, pukulan dari kekasih ibarat anggur.

Kembali ke topik, bahwa sebuah perintah dari seseorang, juga perintah melakukan sarana terwujudnya perintah itu. Allah memerintah shalat maka juga perintah mempelajari apapun yang bisa mensahkan shalat tersebut. Maka jika ada seseorang memerintah atau meminta tolong kepada kita menyapu semisal, sebagai orang yang peka jangan sampai kita malah tanya dimana sapunya, dimana 'engkrak'nya, kita mesti berusaha mencari sendiri atau bertanya kepada orang lain letak sapu yang dimaksud, yang penting orang yang memerintah kita melihat lantai yang dimaksud bersih. Ini pelajaran tentang kepekaan, atau dalam bahasa lain dikenal dengan term ad-Dzauq.

Wallahu a'lam

Kalam Hikmah Abi #6

"Berhadapan dengan orang itu harus mengedepankan 'ngalah'." (Abi Ihya)

Ngalah atau mendahulukan orang lain yang dalam istilah arab dikenal dengan istilah al iitsar adalah sikap yang sangat dicintai Rasulullah. Para sahabat Rasul senang mendahulukan orang lain meski diri mereka dalam keadaan kekurangan.

Pada satu saat ada seorang tamu yang menjumpai Rasul, lantas Rasul ingin menjamunya, ia bertanya pada istri-istrinya ternyata seluruhnya tidak memiliki kecuali hanya air putih. Maka Rasul menawarkan kepada sahabat barangkali ada yang berkenan menjamu tamu itu. Lantas dengan sigap seorang sahabat menyanggupinya. Sahabat itu bertanya pada istrinya, "apa ada makanan?" "Hanya ada makanan jatah untuk anak-anak", jawab sang istri. "Kalau begitu, alihkan perhatian anak-anak pada hal yang lain, kalau mereka minta makan, ajak mereka tidur, lalu jika tamunya mau masuk tolong lampunya dimatikan dan bergayalah seperti sudah makan.". Maka paginya ia bertemu Rasulullah dan Rasul takjub dengan apa yang dilakukan sahabat itu malam itu.

Mendahulukan orang lain dalam hal selain ibadah adalah hal yang baik, tapi mendahulukan orang lain dalam hal ibadah adalah hal yang justru makruh.

Para sahabat telah biasa menikmati jatah makanan yang biasanya dimakan dua orang dimakan oleh tiga orang. Jatah makanan yang aslinya untuk empat orang dimakan delapan orang. Sebab mereka suka mendahulukan orang lain dari pada diri mereka sendiri.

Maka berhadapan dengan orang, harus mengedepankan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Mendahulukan urusan orang lain melebihi urusan pribadi. Sebab mengalah bukan berarti kalah.

Satu saat meski kita pada posisi yang benar, kadang kita mesti mengalah ketimbang harus menuntut hak kita. Karena hal ini tidak bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang berjiwa besar.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #5

"Kalau pengin dapat nazhroh harus semangat!." (Abi Ihya')

Nazhroh adalah pandangan Rahmat, pandangan kasih sayang yang berasal dari Allah ta'ala teruntuk para hamba-Nya yang Ia cintai. Nazhroh adalah sesuatu yang sangat diidamkan oleh orang mukmin. Sebab jika seorang hamba telah mendapatkan nazhroh dari Tuhan-Nya berarti hamba itu telah masuk dalam jajaran hamba yang dicintai Allah.

Sebagai seorang hamba, beroleh nazhroh merupakan anugerah yang sangat besar yang ia nantikan. Dengan nazhroh segala penyakit raga dan jiwa akan lenyap tak bersisa.

Maka memperoleh nazhroh bukanlah perkara yang enteng, melainkan butuh kesemangatan dan kesabaran pantang menyerah, memegangi prinsip tanpa mau di iming-imingi dunia yang semu.

Seseorang yang menjual janji Allah dengan harga yang murah tidak akan pernah dilihat dan diajak bicara oleh Allah, justru akan disiksa dengan siksa yang pedih.

Wallahu a'lam

Kalam Hikmah Abi #4

"Jangan ada putus asa, hidup itu yang optimis!" (Abi Ihya)

Optimis atau tafau'l adalah sikap yang amat disukai oleh Allah dan Rasulullah. Seseorang dengan dosanya saja masih harus optimis, yakin bahwa ia memiliki Tuhan yang Maha Penyayang yang akan memaafkan dosanya meski sebesar gunung. Ia dilarang keras dalam berlaku pesimis, putus asa dalam meraih Rahmat dan Ampunan dari-Nya azza wa jalla. Apalagi hanya urusan impian dan cita-cita yang tidak lebih berat ketimbang dosa.

Dalam menjalani hidup di dunia ini semestinya kita selalu yakin dan optimis bahwa apa yang menjadi impian dan cita-cita kita pasti terwujud, sebab ada disana Allah yang kala Ia menghendaki satu hal ada, maka cukup dengan kun, maka akhirnya ada. Cukuplah bahwa doa dan usaha yang selalu menyertai aktivitas kita, dan optimisme yang menggeliat yang memotivasi langkah kita.

Semua orang punya kelebihan dan kekurangan, seseorang yang optimis tidak akan menganggap kekurangannya sebagai batu ganjalan baginya untuk meraih kesuksesan. Dan sebaliknya seseorang yang pesimis tidak pernah merasa bersyukur terhadap kelebihan yang ia miliki sehingga ia terus merasa menjadi orang yang hanya memiliki kekurangan tanpa pernah sadar ia memiliki kelebihan. Orang yang optimis mampu menghargai dirinya sehingga ia tahu cara menghargai orang lain. Orang yang pesimis tidak pernah mampu menghargai dirinya sendiri maka bagaimana ia bisa menghargai orang lain?

Kalam Hikmah Abi #3

"Orang ga lihat ilmumu, tapi orang lihat 3 hal: Basthul wajhi, ajere peraupan. Kafful adza, ora ngganggu tapi malah nyenengno. Badzlunnada, sak nduwene dikakke " ( Abi Ihya' )

Maknanya: Orang lain tidak melihat ilmumu, tapi mereka melihat 3 hal: Wajah yang berseri, Tidak menyakiti tapi justru menyenangkan, dan memberikan embun yakni memberikan apapun yang kita miliki.

Kadang kita berfikir menjadi seseorang yang berilmu adalah hal yang mesti kita ikhtiarkan, tapi ternyata ada hal yang lebih dilihat oleh orang lain, yakni akhlaq. Hal ini selaras dengan apa yang sering diwasiatkan Abuya al Maliki: al Akhlaq qoblal ilm, yakni akhlaq dulu sebelum ilmu. Sebab meski seseorang memiliki segudang ilmu namun akhlaqnya jelek, ia tidak akan pernah di terima oleh mmasyarakat.

Termasuk dari akhlaq sederhana namun sangat penting adalah tiga hal diatas. Yakni tidak bertemu dengan seseorang kecuali dengan wajah berseri yang menyenangkan. Hal ini akan mudah dilakukan kala hati kita sedang bahagia, tapi adalah hal yang lain jika hati kita dalam kondisi sedih. Maka berwajah ceria dalam kondisi apapun adalah akhlaq yang tinggi yang mesti kita latih.

Lalu kafful adza, tidak menyakiti justru menyenangkan. Kala seseorang belum bisa ketingkat menyenangkan orang lain, maka setidaknya ia mesti berusaha untuk tidak menyakitinya, lalu memproses diri selanjutnya untuk bisa menyenangkannya. Menyenangkan bisa dilakukan cukup hanya dengan modal kata-kata yang baik dan meneduhkan, salam dan sapaan penuh keakraban.

Yang terakhir adalah, memberikan embun. Kita mengerti bahwa seseorang yang meski bodoh tapi dermawan akan sangat disukai oleh orang lain ketimbang seseorang yang alim, ahli ibadah, tapi ia pelit. Maka memberikan apa yang kita punya meski hanya sepotong roti bisa menumbuhkan pertautan hati antar kawan. Sehingga rasa persaudaraan akan semakin tumbuh kuat.

Wallahu a'lam.

Kalam Hikmah Abi #2

"Nyenengno wong, nguwongno wong, nggatekno wong, ora nggelakno"(Abi Ihya' )

Maknanya: Menyenangkan orang lain, memanusiakannya, memperhatikannya, dan tidak mengecewakannya.

Sebuah pelajaran kehidupan tingkat tinggi. Seperti apa yang diteladankan oleh Baginda Nabi: Termasuk amal yang sangat di cintai Allah adalah menyenangkan hati orang mukmin, menghilangkan kesedihannya, membayarkan hutangnya atau memberikan makanan untuknya.

Maka menyenangkan adalah dengan memakai apapun yang kita miliki, dengan berbagi kebaikan kepada mereka, dengan kata-kata yang menyejukkan, senyuman manis yang tulus dari hati terdalam, sapaan akrab penuh penghormatan, atau apapun yang bisa menyenangkan, memanusiakan, membuat mereka merasa diperhatikan dan tak merasa dikecewakan. Meski hanya berupa raut wajah yang berseri, jika itu dirasa mampu membuat orang lain senang maka sepatutnya kita lakukan.

Orang yang suka menyenangkan orang lain, ia akan disenangkan oleh Allah di dunia dan di akhirat. Di akhirat ia akan mendapatkan pelita yang demikian bercahaya yang indahnya tiada tara.

Senangkanlah manusia, Allah akan menyenangkan kita!

Kalam Hikmah Abi #1

" Santri gelem mulang ora ono seng kleleran, ora ono!."(Abi Ihya' )

Maknanya: Santri mau mengajar, tidak ada yang hidupnya sia-sia tanpa manfaat, tidak ada!

Santri adalah label yang tinggi yang kedudukannya demikian luhur di sisi Allah. Layaknya yang di sabdakan Baginda Rasul:" Sesiapa yang Allah kehendaki baik, Allah akan memintarkan ia dalam masalah agama".

Maka menjadi santri adalah anugerah yang demikian agung yang tidak semua orang mampu mendapatkannya. Sehingga kala dari kita ada yang berhasil meraih label luhur tersebut tidak sepantasnya kemudian kita tak mensyukurinya. Mensyukuri label santri berarti mensyukuri ilmu yang telah Allah berikan, dan cara paling tepat bagi para pemilik ilmu adalah mengamalkan serta mengajarkan kepada manusia. Menjemput bola tidak hanya menunggu bola. Dengan niat tulus hanya ingin membahagiakan Allah dan Rasul-Nya serta meraih ridla-Nya.

Lalu mengenai dunia dan apa yang menjadi penghiasnya, pastinya secara otomatis akan membuntut dibelakang santri yang mau mengamalkan dan mengajarkan keilmuan yang ia miliki ketengah masyarakat luas. Sebab dunia ibarat rumput yang tumbuh bagi petani yang menanam padi, ia akan tumbuh tanpa kita usahakan. Namun tidak sebaliknya, padi ilmu tiada akan tumbuh kala yang kita tanam adalah rumput dunia.

Tak perlu gusar dengan masa depan, jika pada diri kita ada ilmu dan amal yang Allah berikan. Allah akan memulyakan kita didunia sebelum kelak diakhirat.