Selasa, 05 Januari 2016

Kalam Hikmah Abi #29

"Ngajiyo supoyo aji." (Abi Ihya).

Ngaji adalah satu bukti syukur seorang hamba terhadap nikmat akal yang telah dikurniakan Allah kepada manusia. Ngaji dalam wilayah yang lebih luas tidak hanya berkaitan dengan keilmuan agama semata, namun semua ragam keilmuan yang bermanfaat dan mampu menimbulkan rasa khasyah yang besar kepada Allah hendaknya juga menjadi tujuan pencarian keilmuan manusia beriman. Dengan mengerti betapa besarnya kehebatan dan kekuasaan Allah terhadap alam raya kita bisa semakin cinta dan takut kepada-Nya. Semakin seseorang menyadari akan keterbatasannya menyelami satu macam ilmu, semakin ia sadar akan kelemahan dirinya dan betapa kekuatan Allah demikian dahsyat.

Harga diri seseorang sangat erat kaitannya dengan seberapa besar pengetahuan dan keilmuan yang ia miliki. Meski memang mendapatkan kedudukan ditengah masyarakat bukan menjadi satu tujuan dalam pencarian ilmu. Tapi seberapa manfaat seseorang untuk masyarakat bergantung pada seberapa banyak keilmuan dan kecakapan yang ia miliki.

Ngaji berarti relasi antara dua orang yang saling mempengaruhi, satu sebagai pihak yang memberikan ilmunya, satu lagi sebagai pihak yang menyerap ilmu tersebut. Berarti sangat mengherankan jika dalam proses mengaji, seorang santri tak memiliki guru yang mengarahkan. Saking pentingnya guru dalam menjalankan proses ini, Kinasih sampai menganggap bahwa seseorang yang tak memiliki guru berarti gurunya setan.

Membaca buku memang dinilai penting, tapi mengaji satu ilmu hanya dengan membaca buku tanpa ada arahan dari sang guru justru akan membawa kesalahpahaman yang fatal. Buku tidak bisa kita ajak bicara, sebab ia tiada memiliki ruh, namun guru adalah sosok yang memiliki ruh yang akan membimbing ruh dan pikiran kita secara langsung maupun tidak untuk memahami apa yang sedang kita pelajari.

Ngaji adalah kegiatan manusia berakal, ngaji tidak dibatasi oleh usia, siapapun kita jika kita masih mendapatkan kurnia akal semestinya tidak menghentikan proses ini, sampai kapanpun, sampai kita dimasukkan ke liang kubur. Ngaji bukan milik anak-anak saja, yang orang tua hanya bisa marah-marah jika anaknya tidak berangkat TPQ tapi ia sendiri bandel dan asyik menonton televisi. Ngaji bukan hanya milik ibu-ibu, seorang suami justru semestinya memiliki kesemangatan ngaji lebih ketimbang si istri meski badan capek seharian bekerja, insyaAllah masih bisa disiasati untuk menghadiri majlis taklim seminggu sekali.

Masyarakat kita, sangat semangat kala diajak menyemarakkan majlis dzikir, majlis shalawat, majlis yasin dan tahlil tapi sangat lesu diajak meramaikan majlis-majlis taklim. Seseorang mampu mengikuti majlis dzikir hingga tengah malam, bahkan sampai berada diluar kota sekalipun, tapi demikian malas jika diajak untuk mengaji. Majlis taklim dimana-mana sepi peminat, hanya segelintir orang yang mau memakmurkannya, mereka merasa proses ini bukan lagi menjadi kewajibannya selepas mereka dahulu menamatkan pendidikan TPQnya. Masyarakat harus dicerdaskan dengan banyaknya kajian di berbagai majlis taklim. Jangan cuma tahlilan yang aktif tapi bagaimana mengikuti ngaji lebih aktif. Akhirnya mereka akan tercerahkan dan menjadi muslim yang cerdas yang mengerti bagaimana ia bersikap, bagaimana halal haram, bagaimana menjadi muslim yang terbina, sehingga Islam menjadi agama yang besar dalam kuantitas, kuat dalam kualitas, sehingga mendapatkan aji ditengah masyarakat luas.

Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar