Kamis, 22 Agustus 2013

TUKANG SOTO

Tak habis pikir, manusia-manusia berotak seribu giga itu, dengan keahliannya membaca 'kitab gundul', kala aku tanya "setelah lulus mau kemana kang?" dengan santai mereka menjawab, "saya ingin berbisnis".

Jawaban yang mengingatkanku pada cerita murobbyku, tentang santri yang setelah pulang ternyata jualan soto.

Ah, kalau inginnya berbisnis, kenapa tidak dari mula saja mengambil kuliah bisnis. Barangkali sekarang ini mereka sudah jadi bisnisman yang handal.

Karena pada dasarnya, semua memiliki jalannya masing-masing. Kalau ingin perbaikan mengenai agama, ambil jurusan keagamaan. Kalau ingin jadi dokter ya monggo kuliah di kedokteran.

Terlalu haihata jika mengharapkan institusi pesantren yang nyata-nyata salaf mampu mencetak seorang dokter. Barangkali 'tukang suwuk' masih imkan. :D

Mungkin dari sampean ada yang 'mbatin' lho apa salahnya santri berbisnis?

Memang siapa yang menyalahkan jika santri berbisnis? Justru seharusnya santri harus mampu menjelma, masuk di semua elemen masyarakat. Agar mampu mewarnai kehidupan mereka.

Yang disayangkan adalah, kenapa tidak berpikir tentang bagaimana mentransformasikan 'segudang' ilmu yang telah dimiliki ketengah-tengah masyarakat luas. Tidak hanya mandeg 'lazim' teruntuk diri sendiri.

Kita tahu bahwa, almuta'adhi afdhol min allazim. Suatu hal yang menjalar lebih utama ketimbang yang stagnan, mandeg, dinikmati pribadi.

Maka sudah semestinya, kita mulai berfikir tentang transformasi keilmuan pesantren ketengah-tengah masyarakat.

Mungkin fenomena inilah yang disebut, berilmu tanpa ghiroh. Banyak ilmu tapi tiada azam untuk mendistribusikannya.

Ilmu seolah menjadi semacam pengetahuan belaka, alias maklumat. Bukan lagi merupakan mafahim yang terealitakan.

Kalau seperti ini, kenapa tidak ada sedikit saja rasa malu pada mereka pihak-pihak yang tak berilmu. Namun memiliki semangat juang yang tinggi untuk menjadi 'anfauhum linnas'

akhirnya: masih perlulah banyak belajar....:D

(istana cinta 44131)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar