Selasa, 06 Oktober 2015

ALLAHUMMA SALLIMNA!

img-20151007-wa0007.jpg

Banyak orang tertipu dengan merasa bahwa dirinya adalah orang yang mulia. Sebab kemuliaan yang disematkan orang-orang terhadap orang tuanya. Ia merasa tak lagi perlu mengikhtiarkan ilmu secara mendalam. Ia mengira bahwa kemuliaan yang disematkan orang-orang terhadap orang tuanya akan pula ia dapatkan dengan mudah meski ia tak belajar secara serius dan mendalam. Ia kira anak macan pasti jadi macan, sehingga banyak diantara mereka yang hanya menggunakan "keramat gandul" sebagai alat untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka lupa bahwa kemuliaan yang didapat oleh orang tuanya didunia adalah buah ketaqwaan yang diberikan Allah melalui proses panjang yang dijalani berpuluh tahun.

Padahal jaman telah menyatakan bahwa status bawaan (ascribed status) sudah tidak laku. Yang ada hanyalah status yang diusahakan (achived status). Terlepas dari ekspedisi ilmu bukan untuk mencari status tapi itu hanyalah efek otomatis kepada pemilik ilmu yang akan muncul meski tanpa kita inginkan. Yarfa'illaahulladziina aamanuu minkum walladziina uutul 'ilma darojaat.

Ada pula mereka yang justru malah sibuk di lain dunia tanpa tertarik sedikit pun menempuh apa yang dulu ditempuh oleh orang tuanya. Mereka merasa bahwa estafet selanjutnya bukanlah tanggung jawabnya. Sehingga banyak ditemukan lembaga yang mati tersebab anak-anaknya yang tiada mau memikul amanah orang tuanya. Ia telah berlaku zhalim dengan tidak mau meniru laku yang diikhtiarkan orang tuanya. Bi abihi iqtada Adiyun fil karam- faman yusyabih Abahu fama zhalam.

Kita mengenal Nabi Ibrahim, seorang Nabi yang berjulukan Khalilullah yakni kekasih Allah. Kedudukan yang cukup luar biasa. Seorang Nabi ulul azmi. Namun begitu ayahnya yang bernama Azar seorang pembuat patung berhala tiada sama sekali merasakan manfaat dari Nabi Ibrohim. Sampai mati ia tetap dalam kekafirannya. Begitu juga istri Nabi Luth yang bernama Walihah juga tak mendapat manfaat dari Nabi Luth. Anak Nabi Nuh Kan'an pula tiada mendapat manfaat dari sang ayah. Juga paman Rasulullah Abu Lahab pun tiada mendapatkan manfaat. Bahkan seorang Musa Samiri yang sedari kecil mendapatkan pendidikan langsung dari Jibril tiada mendapat manfaat sama sekali, ia akhirnya menjadi musuh orang mukmin dan mati dalam kondisi kafir.

Maka apalah artinya seorang ayah yang terhormat, katakan seorang kyai jika sang anak tak meniru jejak langkah yang ditempuh oleh bapaknya. berusaha sedemikian rupa menyiapkan diri untuk meneruskan estafet perjuangan sang ayah. Tak ada gunanya sebutan gus jika ia tak mewarisi keilmuan dan ketaqwaan sang ayah. Tak ada manfaatnya sebutan ning jika mereka tak berusaha meniru ayahnya dalam keilmuan dan ketaqwaan. Maka jangan mau tertipu dengan sikap orang-orang yang kelihatannya menghormati dan memulyakanmu sebab sejatinya ia tak memulyakan kecuali kepada orang tuamu dan ilmunya, bukan sama sekali kepadamu. Jangan sok dengan berujar "Bapakku kyai!" Iya bapakmu kyai kamu bukan kyai. Maka bukan lelaki seorang yang hanya mengandalkan power keluarganya terlebih ayahnya tanpa berusaha memunculkan inner power.

Dan tentu saja ekspedisi ilmu secara prinsip tiada sama sekali diniatkan sebagai ajang pencarian status dan pangkat di tengah masyarakat. Hanya saja jika ada orang yang berilmu dan bertaqwa lantas mendapatkan penghormatan dari manusia, itu hanya sebentuk pemuliaan yang diberikan Allah didunia sebelum di akhirat bagi pembawa ilmu dan ketaqwaan.

Ya, La sabila ilal amni, tiada jalan merasa aman! Semoga kita dijauhkan dari tipuan yang dilancarkan setan, semoga kita bisa terus tahrirunniyah. Sebab apa yang kita cari jika bukan semata ridlo-Nya.

Allahumma sallimna!

‪#‎6Oktober2015‬
‪#‎SebuahRenunganMateriTaushiyah‬.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar