Sabtu, 23 Mei 2015

Kinasih, aku merindukanmu!

Aku tiada pernah menjumpaimu, namun entah
kerinduanku begitu memuncak dikala mendengar
namamu disebut, sifat-sifatmu dibacakan,
perangaimu disampai paparkan.

Aku cuma mengenalimu lewat cerita orang-orang,
melalui lembaran-lembaran warisan orang-orang
dulu yang merekam sedikit banyak tentang
semuamu yang aku punguti di sudut-sudut lemari.
Aku bukanlah orang yang pengalaman jatuh cinta,
namun kala aku mengenali satu-satu dari sosokmu
aku merasakan kebahagiaan yang tidak cukup
diungkap dengan rentet kata. Membuat aku
demikian gandrung mengkhayalkan meski sekejap
menatap paras putih bercahaya yang engkau
punya.

Kinasih, jujur aku begitu rindu dan penasaran
dengan sosokmu, yang menurut yang aku baca,
adalah sosok terindah dari siapa saja. Lebih dari
wajah tampan Nabi Yusuf, yang waktu kecil aku
pahami sebagai Nabi paling tampan. Tapi ternyata
salah, sebab Nabi Yusuf hanya diberi separo
keindahan langit bumi seisinya, namun engkau
diberi keindahan seluruh semesta. Yang padahal
dengan separo keindahan saja, Nabi Yusuf
berhasil menghipnotis para wanita dikala
mengupas apel hingga tidak terasa mengupas
jemari mereka sendiri. Entah seperti apa
sosokmu? Kinasih, Sahabatmu Abu Hurairah,
pernah melukiskan keindahanmu, katanya ia tiada
pernah melihat sesuatu yang lebih indah
ketimbang engkau, seakan mentari bersinar
diwajahmu. Kinasih, aku merindukanmu.
Seorang sahabatmu, disuatu malam yang indah
bertabur bintang, dengan rembulan purnama yang
menyuguhkan senyum simpul menawan, melihat
paras agungmu, maka ia takjub dan mengerti
bahwa cahaya rembulan purnama kala itu tidak
lebih indah ketimbang sorot cahaya yang
menyemburat dari wajah memesonamu. Lalu
seperti apakah Kinasih, wujudmu? Yang padahal
sekedar menatap cahaya rembulan kala purnama
saja mampu membuat mereka para penyair
menggubah deret panjang puisi indah tentang
keindahan, lantas bagaimana jika yang mereka
lihat adalah keindahanmu yang sangat besar?
Kinasih, sekujur tubuhmu bertabur keindahan
yang luar biasa, dari ujung rambut hingga ujung
kuku mengandung pesona yang tidak mudah untuk
sekedar dilafalkan dengan aksara. Kala engkau
mencukur rambut, banyak dari sahabatmu yang
mengelilingimu, tidak untuk apa dan apa, namun
hanya untuk memunguti rambut muliamu,
mengambil tsawab berkah darinya. Kinasih,
bahkan Sayyidina Khalid bin Walid sampai tak
pernah lupa menyelipkan rambut muliamu di topi
perangnya sehingga ia merasa memiliki
keberanian sepertimu. Hingga suatu saat kala
perang berkecamuk, lalu kemudian rambut muliamu
terjatuh, ia masih saja mencarinya. Bukankah ini
sebuah cinta yang luar biasa.

Ya Sidii, betapa beruntungnya, sahabatmu S.
Abdullah bin Zubair yang kala itu secara diam-
diam meminum darah bekammu, yang kemudian
engkau katakan bahwa tubuhnya tidak terkena api
neraka.

Ya Sidii, betapa bahagianya Ummi Sulaim yang
berhasil mengumpulkan keringat wangimu untuk
dijadikan parfum baginya, Yang kita mengerti
bahwa tiada parfum yang lebih wangi jika
dibandingkan keringatmu.

Ya Sidii, cintaku memang tak seperti cinta para
sahabat kepadamu, tapi ijinkanlah aku
mencintaimu dengan cinta yang sederhana.
Menyebut-nyebut sosokmu di sebagian waktuku,
menghidupkan sedikit sunnahmu yang aku mampu,
membayangkanmu melalui lembaran warisan orang
dulu. Cinta yang biasa-biasa saja yang aku punya
yang aku mampu.

Barangkali aku belum mampu untuk kemudian
mencintaimu lebih ketimbang diriku sendiri, sebab
seperti inilah aku yang lemah yang masih saja
terkubang dalam dosa dan salah. Yang padahal,
sahabatmu Zaid bin Datsanah sangat tidak suka
jika engkau terkena duri kecil saja sementara ia
bersenang-senang di kediamannya. Kinasih,
ampunkan salahku.

Kinasih, paling tidak aku ingin belajar menjadi
pecinta sejatimu, dengan melantunkan shalawat
dan salam diwaktu senggangku.

Maka, masukkanlah aku ya Rasul, menjadi bagian
'saudara' yang merindukanmu yang akan
dikumpulkan bersama sosok agungmu.

#maktabah indah nan barokah
15 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar