Minggu, 27 Maret 2016

MENERAPKAN SYARIAT BERSAMA MANHAJ WASATHY

Sebenarnya hukum meminum susu, sudah teramat jelas. Namun dalam kitab Sahih Muslim kenapa pula dijelaskan? Paling tidak, kita menjadi paham bahwa amanah ilmu yang di pikul oleh para Sahabat demikian terpercaya. Pada bab ini kita melihat perhatian Sahabat yang besar dalam mengikat seluruh perbuatannya dengan hukum. Sehingga bagaimana kita bisa meneladani mereka lalu bisa beragama dengan mengerti sebuah dasar atau dalil dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena jika hanya ikut-ikutan zaman, maka kita akan amat rentan terjerumus dalam kejelekan.

Rasulullah pernah bersabda:

لا تكونوا إمعة، تقولون إن أحسن الناس أحسنا، وإن ظلموا ظلمنا، ولكن وطنوا أنفسكم، إن أحسن الناس أن تحسنوا وإن أساءوا فلا تظلموا

Janganlah kalian menjadi manusia yang ikut-ikutan. Kau katakan : jika manusia berbuat baik, kami berbuat baik, jika mereka berbuat dholim kami berbuat dholim. Akan tetapi teguhkanlah pendirian dirimu. Jika manusia berbuat baik, berbuat baiklah, dan jika mereka berbuat jelek, maka kalian janganlah (ikut) berbuat dholim’ (Misykatul Mashobih 3/122)

Kaum muslimin di akhir zaman tiada lagi peduli dengan keterikatan dirinya dengan hukum, padahal istilah mukallaf mengharuskan kita terikat dalam hukum dalam apapun yang kita lakukan meskipun berupa hal kecil.

Kaum muslimin pada zaman ini, banyak yang berada pada dua kutub yang tidak elegan. Satu kutub bernama al-inqibadl, demikian eksklusif, keterlaluan, mudah mengharamkan. Dan kutub yang lain bernama al-inbisath, demikian inklusif, liberal, sehingga muncul ungkapan “Alah gitu aja kok ga boleh”. Padahal semestinya kita selalu memosisikan diri di tengah, wasathi, moderat. Sebab Rasulullah bersabda: al Qoshda al Qoshda tablughuu, moderatlah, moderatlah, kau akan sampai!.

Al-Ashlu fil af’al attaqoyyud bil ahkamissyar’iyyah. Bahwa asal dalam perbuatan adalah berkait dengan hukum syar’i. Tapi banyak dari kita merasa tidak terikat dengan hukum. Sepertinya telah nyata apa yang pernah di sampaikan oleh Rasulillah shallallahu alaihi wasallam:

لتنقضن عري الإسلام عروة عروة فكلما انتقضت عروة تشبث الناس بالتي تليها واولهن نقضا الحكم واخرهن الصلاة

Sampul (ikatan) Islam akan terlepas satu demi satu, maka setiap sampulnya terlepas, manusia akan memegang sampul yang berikutnya. Dan pertama kali sampul yang akan terlepas adalah hukum Islam ( undang-undang islam), kemudian yang terakhir adalah ibadah sholat”. (Hr: Ahmad, Ibnu Hibban, al Hakim, Thobroni)

Tidak cukup sampai disini. Bahkan seseorang yang masih konsisten memegang hukum justru disebut sebagai orang fanatik dan kolot. Sementara kaum muslimin pada umumnya hanya mengikuti arus, tanpa tahu dan peduli lagi tentang hukumnya. Kenyataan ini begitu ngeri. Padahal semestinya kita menteladani para sahabat yang dalam ketaatannya mereka tiada merespon kecuali dengan pernyataan sami’na wa’atho’na. Sampai para sahabat mempertanyakan bagaimana hukumnya rekreasi, padahal waktu itu musim perang, sehingga di jawab Rasul, Siyahatuka rekreasimu adalah jihadmu dijalan Allah. Menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap hukum syara'.

Amar bin Yasir dikala junub, ia tidak menemukan air. Sementara ia hanya mengerti tata cara tayamum sebagai ganti wudlu, namun tak tahu menahu tentang tata cara tayamum sebagai ganti mandi besar. Pada akhirnya ia sampai tayamum dengan berguling diatas debu. Selepas itu ia laporan terhadap Nabi, Nabi bersabda: "Ya ariidlol qofa!". Ini sebuah bukti saking begitu semangatnya ia dalam menerapkan hukum syara'.

Dalam kitab Bukhori sampai ada Bab, al ilmu qoblal qouli wal amal. Maka semestinya seseorang bagaimana mengupayakan keilmuan. Tidak hanya semangat beramal tanpa didasari keilmuan yang baik. Bagaimana kita belajar ilmu fiqh dengan optimal. Sehingga mengerti betapa kompleksnya permasalahan yang dimuat olehnya.

Seorang yang alim, ada yang memang benar alim, ada yang alim karbitan. Orang-orang dengan hanya mengerti bahasa arab saja sehingga bisa menerjemahkan hadits sudah di anggap alim. Sampai mereka merasa bahwa banyak amal yang di lakukan kebanyakan orang tidak sah, batal sebab hanya ikut-ikutan kyai. Sebab dianggap bahwa orang-orang tidak mengerti dalil. Pada akhirnya mereka demikian enteng mengklaim bid’ah dan zholalah.

Merekalah alim karbitan, yang omongannya begitu menyakitkan hati. Mereka jauh-jauh belajar ke timur tengah hanya untuk menyalahkan orang. Tidak hanya itu, bahkan mereka berani menghapus banyak redaksi kitab-kitab salaf yang mereka anggap keliru dan tidak sesuai dengan pendapat mereka. Padahal ilmuwan dalam sains dan pengetahuan non agama demikian menghargai karya pendahulunya.

Seorang santri meskipun seorang muqollid, paling tidak seharusnya mengerti dalil. Agar menjadi muqollid terpelajar. Sementara orang pada umumnya, memang tak masalah bertaqlid secara penuh dalam masalah furu'.

Bertaqlid dengan ulama salaf tidak bisa dibandingkan dengan taqlid dengan seorang Kang Dul yang katanya pintar berdalil. Tidak sama seorang Imam Syafi’i yang kapasitas keilmuannya telah diakui internasional dengan Kang Dul yang akhir-akhir ini banyak bermunculan. Mereka Kang Dul dengan jumawanya tidak menghargai hasil ijtihad dan istinbath dalil yang di produk oleh Ulama salaf, mereka lebih memilih membikin produk hukum sendiri, “berijtihad” dari bahan-bahannya secara langsung. Padahal tidak akan pernah sama rasa semangkuk rawon yang dibuat oleh koki ternama dengan semangkuk rawon masakan seseorang yang tak mengerti resep lezatnya, awur-awuran dalam menakar bahan. Sehingga yang tersajikan adalah semangkuk rawon rasa semrawut.

Tashluhu hadzihil ummah bima yashluhu bihi awwaluha (malik), Bahwa Ummat ini ternilai baik dikala mereka membawa apa yang orang terdahulu ternilai baik dengannya. Mereka mengaku sebagai generasi salaf pengikut sahabat, sehingga menamakan diri sebagai Salafi. Padahal jika ditelisik, kita akan melihat bahwa mereka amat jauh dengan apa yang dilakukan oleh para sahabat.

Diantara Ciri khas sahabat yang di terangkan oleh Sufyan as-Sauri adalah:

- Luzumul jamaah, dengan sifat Ruhama’u baynahum terciptalah hal ini.
- Ittibaussunnah, sebab mereka bersama Rasulillah secara langsung.
- al-Mudawamah ala tilawatil Qur’an ( Membaca dan mengkaji al-Qur’an).
- al-Jihad fi sabilillah, sehingga mereka adalah Anshorullah.


Semoga kita bisa menjadi sosok muslim yang moderat dalam pemikiran. La syarqiyyah wala ghorbiyyah. Dan selalu semangat dalam mengumpulkan point plus-plus dalam beramal. Dan berusaha mengkaitkan segala permasalahan yang terjadi dengan hukum syara'yang berlaku. amin.

Senin, 28 Maret 2016
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar