Rabu, 16 Maret 2016

NIKMAT DUA YANG AMAT BERHARGA

Semuanya sebenarnya telah “cumepak” demi untuk memuliakan manusia, maka jika kita hendak menghitung nikmat Allah, kita tiada akan bisa menghinggakannya. Namun manusia seperti yang di mengerti, mereka seringkali mengzhalimi diri dan ingkar terhadap nikmat Allah. Seperti yang telah di firmankan oleh Allah ta’ala dalam surat Ibrahim ayat 34 yang artinya:

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah). “ (QS. Ibrahim: 34)

Manusia dalam penciptaannya demikian sempurna dan disempurnakan oleh Allah. Namun tidak semua manusia dikala hendak makan mengucapkan basmalah dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah. Tidak semuanya pula orang yang hendak keluar rumah merapalkan doa, bismillah tawakkaltu alallah. Tidak semuanya yang akan tidur membaca doa sebelum tidur dan selepas tidur mengungkapkannya dengan membaca doa selepas tidur. Tidak semua orang mengawali semua aktivitas dengan basmalah dan mengakhirinya dengan hamdalah. Sehungga dalam ayat diatas manusia disebut sebagai pihak yang seringkali zhalim dan ingkar. Artinya manusia seringkali tidak bisa menjadi sosok yang bersyukur.

Bersyukur paling tidak diungkapkan dengan menjalankan shalat. Sebab jika semua nikmat yang kita rasakan jika saja kita ungkapkan seluruh kesyukuran lewat lisan, kita tiada akan pernah sanggup. Sebab nafas, aliran darah, seluruh organ tubuh yang tiap detik berjalan normal sebenarnya perlu kita syukuri. Seperti ketika seseorang diberi sesuatu oleh orang lain, hendaknya ia berterimakasih dengan orang itu. Tapi Allah mencukupkan ungkapan syukur itu dengan hanya menjalankan sholat fardlu lima kali sehari. Dengan hanya sholat kita sudah cukup disebut sebagai hamba yang pandai bersyukur.

Ada banyak hal yang tiada bisa di nalar memakai akal, seperti istilah nikmat dan rahmat. Nikmat dipahami sebagai kondisi apa saja yang dinilai baik. Sehingga membuat kita mau mengungkapkannya dengan ungkapan Alhamdulillah, Subhanallah, atau Masya Allah. Ini sebuah term nikmat dalam level hal, yakni secara umum yang dimiliki manusia.
Tapi ada juga yang memahami nikmat sebagai sebuah kemanfaatan yang mengalir kepada orang lain dalam sisi memberikan kebaikan. Seseorang sebenarnya jika dilihat secara lahiriah ia sebenarnya merugi tapi ia merasa senang jika mampu memberikan kemanfaatan bagi orang lain. Ia akan merasa tentram dikala ia berhasil memberikan sesuatu kepada orang lain, berhasil menyenangkan orang lain. Justru dikala ia tiada bisa melakukannya, ia merasa demikian merugi, bahkan seolah ia punya beban. Ini yang merupakan pemahaman nikmat dalam level maqam. Dan makna nikmat seperti ini tiada dimiliki semua orang. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki pemahaman nikmat seperti ini. Seperti yang Abuya pernah ungkapkan, “Nafsi wa nafasi wa nafisi fil ilm”, jiwa nafas dan harta bendaku untuk ilmu. Hanya orang tertentu yang mampu melakukannya. Bahkan dalam level yang lebih tinggi, seseorang dengan ujian atau musibahnya, ia bisa menganggapnya bukan sebagai sebuah ujian tapi justru sebagai sebuah nikmat. Seperti yang dirasakan oleh para Nabi.

Ada seorang hamba Allah yang membuka dapur 24 jam untuk tamu. Siapa saja tamu yang datang, bisa dipastikan ia akan makan. Seperti yang dilakukan oleh Kyai Abdul Majid Besuki. Ia selalu membuka dapurnya 24 jam. pekerja dapurnya yang berjumlah 14 orang selalu stand by menyiapkan hidangan untuk para tamu. Ia adalah seorang “kyai sembur” yang ratusan tamu datang pergi tiap hari, yang seluruh santrinya tidak ada yang dipungut biaya. Masyarakat percaya bahwa ia adalah sosok kyai yang doanya manjur. Ratusan tamu yang datang langsung dipersilahkan makan, kemudian kumpul dimasjid. Beliau tidak mendoakan tamu satu-satu. Namun cukup dengan doa antiknya: “ Allah setong, Nabi setong, Ka’bah setong, Kabul hajate, alfatihah.”.

Seseorang yang tidak disibukkan pekerjaan. semestinya ia mengisinya untuk melakukan sebuah aktivitas yang menjadi latar belakang penciptaannya, yakni ibadah dengan sebaik-baiknya. Bagaimana kita mengerti bahwa waktu semestinya dikejar, bagaimana kesempatan semestinya dimanfaatkan. Sehingga ia tak akan merasa merugi setelahnya, tdak akan menyesal selepas waktu lenyap begitu saja.

Al Waqtu kassaif, in lam taqtho’hu qothoaka, waktu ibarat pedang yang sedang kita pakai dikala perang. Jika kita tidak memakai pedang itu untuk menghantam musuh kita, musuh kita yang akan memotong leher kita.

Dua orang yang tiada akan pernah puas, pencari ilmu dan pencari dunia. Maka pantas saja jika ada sebuah ungkapan, “waktu adalah uang”. Atau bagi pencari ilmu, “waktu adalah ilmu”. Dua orang itu tidak akan rela jika waktunya terbuang percuma tanpa menghasilkan apa mereka cari.

Sebagai pencari ilmu, jangan pernah malas-malasan dalam mencari ilmu, mumpung seseorang masih di usia muda. Semestinya kita kejar ilmu itu sampai dimana saja. Jangan hanya punya impian-impian kosong yang tidak didukung dengan aksi dan usaha nyata.
Seorang muslim sebagai pekerja semestinya memiliki etos kerja yang tinggi. Ia tidak boleh menjadi seorang pengangguran. Dengan didukung niat yang benar. Sehingga bisa dianggap seluruh usahanya bernilai ibadah. Berusaha menyenangkan anak istri. Berusaha mengaplikasikan sebentuk ibadah kasih sayang terhadap keluarga. Jangan lupa bahwa kita juga punya bagian dunia yang bisa kita ambil.

Seorang muslim ibarat pedagang. Sementara sehat dan waktu luang adalah modal. Dengan sehat semuanya akan lancar, sementara dengan waktu luang kita bisa mengejar. Sehingga kita bisa memeroleh laba dengan dua modal besar itu. Sementara jika kita malah rela menjalin bisnis dengan setan, kita harus rela untuk mengalami kerugian yang besar.

Seseorang yang berhasil menggunakan dua kenikmatan yang banyak dilalaikan banyak orang ini disebut sebagai ‘rojulun muwaffaq”, lelaki yang mendapatkan taufiq. Ada santri yang berhasil menggunakannya dengan maksimal, sehingga ia sukses dalam pencarian ilmu. Menjadi seorang yang hobi membaca dimanapun ia berada. Namun ada juga santri yang amat enggan memanfaatkan dua nikmat itu, dan ia amat tidak suka membaca. Sehingga bertahun-tahun di pesantren ia tetap dalam kebodohannya.

Orang yang rela membuang waktu percuma, memakainya tanpa menghasilkan faidah, memakainya hanya untuk main-main. Maka amat identik dengan dunia anak-anak. Karena membuang waktu percuma seharusnya hanya dimiliki oleh seseorang pada waktu kanak-kanak. Apalagi jika sampai waktu luang justru dijadikan sebagai sebuah pekerjaan. Akan berdampak demikian besar dalam menghancurkan diri kita. Maka kita harus menggunakan waktu luang dengan semestinya.

Rebutlah lima peluang sebelum datangnya lima hambatan. Hayataka qobla mautika, mumpung masih hidup sebelum mati. Syababaka qobla haramika. Mumpung masih muda , sebelum tua. Shihhataka qobla saqamika. Mumpung masih sehat, sebelum sakit. Ghinaka qobla faqrika. Mumpung masih punya, masih kaya, sebelum miskin. Sa`atika qobla dloiqika. Mumpung masih punya kelapangan , belum terhimpit kesempitan.

Namun, meskipun demikian. Manusia juga tidak boleh sampai terforsir. Ada hak yang dimiliki oleh fisik yang semestinya dipenuhi. Kadang seseorang juga butuh “ngelencer”, sehingga bisa mengembalikan kondisi badan dan pikiran menjadi fit kembali. Sa’atan Nafsak Sa’atan Robbak. Sesaat untuk dirimu sesaat untuk Tuhanmu. Rasulullah sendiri juga kadang melakukan rekreasi dengan para sahabat, bepergian kesebuah tempat dengan membawa seekor kambing. Membagi tugas kepada semua sahabat dan diri beliau untuk mengurus kambing untuk makan bersama.

Akhir catatan, semoga kita bisa menjadi hamba Allah yang pandai memanfaatkan nikmat yang demikian banyak dari Allah. Terlebih nikmat sehat dan waktu luang. Menjadi seorang hamba yang pandai bersyukur. Allahumma aamiin.

Ngaji Pagi, 17 Maret 2016
Jalaul Afkar, bab Maghbun.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar