Selasa, 29 Maret 2016

MENJAGA TINGKAH MENGHINDARI MUHAKAH, JADILAH MUSLIM TERINDAH

Ada banyak ragam ghibah yang merupakan bentuk amal muhlikat yang begitu mudah menghancurkan poin pahala yang mati-matian kita kumpulkan. Salah satunya adalah Muhakah.

Muhakah merupakan sebuah ghibah dalam bentuk laku. Yakni dengan menirukan sebuah ciri atau gaya seseorang. Seperti menirukan gaya berjalan. Ini adalah sebuah hal yang diharamkan oleh Allah. Nabi sendiri tak mau untuk menirukan seseorang meski diberi sekian harta benda.

Pada suatu saat, Sayyidah Aisyah bilang kepada Rasulullah: “Duhai Rasulullah, sungguh Shofiyyah itu seorang wanita begini (seolah ia berkata seraya berisyarat dengan tangannya, bahwa ia ‘pendek’). Nabi bersabda: “Sungguh, Kau benar-benar telah mencampur sebuah kalimat yang jika saja kau campur air laut dengan kalimat itu maka pasti tercampur”.

Ya, muhakah adalah bagian dari ghibah. Namun memang ada ulama yang bahkan lebih masyhur dengan nama julukan yang aslinya terkesan merendahkan. Akan tetapi mereka justru senang. Seperti al A’masy, yang rembes. Al Qoffal, tukang gembok. al Khowwas, tukang sol. Maka hal ini bukan termasuk sebuah ghibah.

Abu Dzar al Ghifari pada suatu saat memanggil Bilal dengan sebutan, “Yabna Sauda’” (wahai anak orang hitam). Selepas ia mengadukan hal itu dengan Rasulullah, Rasulullah amat geram, lalu bersabda: "Wahai Abu Dzar, Engkau telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Didalam dirimu terdapat sifat jahiliyah!". Hingga pada akhirnya, Abu Dzar demikian menyesal, dan pada satu saat ia meletakkan pipinya diatas tanah lalu meminta Bilal untuk menginjakkan kakinya pada pipi itu.

Suatu waktu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Muslim seperti apa yang lebih utama?”. Beliau menjawab: “Sesiapa yang orang lain selamat dari lisan (lisan) dan tangannya (yad)”. Dua hal inilah yang paling banyak menyakitkan orang lain. Lisan dan tangan. Dan diantara keduanya, lisan disebutkan dulu sebab memang menjadi anggota badan yang paling parah.

جراحات السنان لها إلتئام...و لا يلتام ما جرح اللسان

Artinya: Luka sebab gigitan pada saatnya akan sembuh, namun tak begitu dengan luka sebab lisan

Banyak hal yang mesti kita hindari untuk membuat lisan kita selamat: Diantaranya adalah mengumpat (Syatm), melaknat (la’n), Membicarakan aib orang lain (ghibah), dusta (buhtan), Adu domba (namimah), mengadu ke raja (siayah ilassulthon), dll.

Banyak orang alim yang bahkan terjebak dalam melakukan kejahatan ini. Maka betapa man shomata naja. Sesiapa yang diam ia akan selamat. Berbicaralah hanya yang penting-penting saja. Namun memang Allah ta’ala menformat banyak ragam lisan. Ada yang hanya bicara na’am la, namun ada juga yang ‘ngecopros’ tak henti-henti. Maka iyyullisan, yakni sulit bicara insyaAllah akan lebih selamat dari pada yang vokal. Tapi yang repot adalah tipe lisan yang sekali bicara yang keluar adalah hal yang menyakitkan, maka lebih baik diam saja. Ada juga lisan yang tipenya mudah bicara lucu, maka jika kita memiliki lisan tipe ini, semestinya kita niatkan bicara kita untuk menyenangkan orang lain, jangan hanya untuk ‘mbanyol’ saja. Allah ta'ala telah berfirman dalam surat Qof ayat 17-18:

اذ يتلقى المتلقيان عن اليمين وعن الشمال قعيد ( 17) ما يلفظ من قول الا لديه رقيب عتيد (18

Artinya: ‘(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri- Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”(Qs. Qaaf ayat: 17 – 18).

Kita selalu diawasi oleh Raqib Atid. Sampai berupa rintihan seseorang pasti dicatat oleh Malaikat itu. Apakah rintihan itu hanya factor kesakitan, atau merupakan bentuk ‘ngersulo’. Jika sebab saking sakitnya maka tidak berdosa, namun jika sebab mengeluh maka dicatat sebagai dosa oleh Roqib Atid.

Berkaitan dengan tangan. Agar kita bisa menyelamatkannya maka kita mesti menghindarkan diri dari dosa-dosa yang potensial dilakukan oleh tangan. Seperti memukul (Dzorb), membunuh (qotl), menghancurkan / memborbardir (hadm), melawan (daf’u), menulis kebathilan (kitabah bil bathil), menempeleng (Basytu), mengambil yang bukan haknya (akhdzu).

Hanya saja jika semua itu dilakukan untuk tujuan kebaikan (istislah), seperti menjewer untuk mendidik, maka tidak dianggap dosa. Dan mentakzir seorang murid yang melakukan pelanggaran pada prinsipnya tidak masalah. Namun anehnya akhir-akhir ini dikala guru pendidik menerapkan metode seperti ini justru akan dilaporkan atas nama melanggar HAM.

Ada juga yang memaknai “yad’” sebagai anggota badan, seperti yang dinyatakan Allah dalam firman-Nya dalam Surat Ar-Rum ayat 41 :

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya : "Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab perbuatan anggota badan manusia, supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan, mudah-mudahan mereka kembali."

Ada juga yang memaknai “yad” sebagai kekuasaan. Seorang penguasa adalah khodim bagi rakyatnya. Sehingga ia harus berusaha menyenangkan dan menyejahterakan rakyat. Bukan menindas, menyakiti dan menyengsarakan rakyat.

Hadits ini begitu merepresentasikan sebuah jawamiul kalim yang dimiliki oleh Rasulillah. Kenapa tidak memakai redaksi qoul, tapi lisan. Kenapa memakai bahasa yad, tidak yang lain. Sebab pada akhirnya bisa mencakup keseluruhan makna yang mendalam dan luas.

Pada akhirnya, bagaimana kita selalu mengusahakan takholuq, berakhlaq dengan akhlaqnya Allah. Berusaha menyenangkan orang lain, tidak menyakitinya. Sebagai sebuah ibadah horizontal kepada Allah. Sebagai sebuah hubungan keterkaitan manusia dengan manusia. Karena jika kita telisik, ayat-ayat al-Qur’an menyiratkan adanya ibadah vertikal dan horizontal. Ayat-ayat yang mewajibkan sholat beriringan pula dengan mewajibkan zakat.

Wallahu ta’ala a’lam.
Rabu, 30 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar