Rabu, 30 Maret 2016

MENJAGA VALIDITAS HADITS

Menyampaikan materi hadits semestinya jangan di potong atau di ringkas. Sebab hal ini berkaitan dengan amanah ilmu. Dan sebaiknya mengambil hadits langsung dari kitab-kitab hadits atau kitab mu'tabar, bukan dari kitab dongeng.

Dulu para ulama’ demikian hati-hati dalam menjaga validitas hadits, sehingga semestinya kita juga berhati-hati memilih hadits-hadits kala ingin disampaikan dalam majlis ilmu atau khutbah. Sebab tak jarang para muballigh dan khotib menyampaikan sebuah kalam yang disebut sebagai hadits ternyata merupakan kalam ulama, kadang pula yang mereka sampaikan justru berupa hadits maudlu. Bisa-bisa kita masuk dalam ancaman Rasulillah kepada orang-orang yang melancarkan kedustaan kepada Rasulillah.

"Barang siapa berdusta atasku secara sengaja, maka ambillah bagian tempatnya di neraka"

Seorang dai, berkah doa Rasulillah dalam menjaga validitas dalam menyampaikan hadits, ia akan mendapat wajah yang cerah, kegemilangan, serta kehingar bingaran di dunia dan akhirat. Wajahnya akan cerah nan bahagia. Bukankah hal ini merupakan sebuah keberuntungan yang besar?


(( نَضَّرَ الله امرأً سمع منَّا شيئاً فبلَّغَهُ كما سمعه، فَرُبَّ مُبَلَّغ أوْعَى من سامع

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sebuah hal dariku lalu dia menyampaikannya persis seperti yang ia dengar. Sebab betapa banyak orang yang mendapat berita/keterangan (muballagh) lebih memahami dari pada orang yang langsung mendengar (sami/muballigh)”.

Dalam kitab karya Abuya as Sayyid Muhammad yakni al Manhalul Lathif halaman 45, Abuya mengomentari hadits ini, bahwa doa Rasulillah agar mendapatkan kehingar bingaran ini khusus hanya dimiliki oleh umat Muhammad, tidak berlaku bagi ummat lain. Dan jika saja dalam kita menggeluti ilmu hadits, menghafalkan dan menyampaikannya dengan jujur tak memiliki faidah lain kecuali hanya beroleh doa Rasulillah ini, maka hal itu sudah cukup untuk mendapatkan faidah dan keberuntungan yang besar di dunia dan akhirat.

**


Hadits Rasulillah mesti didengarkan dengan baik. Sebab Rasul tak pernah berbicara dari hawa nafsu. Apalagi al-Qur'an juga memiliki hak untuk husnul istima'.

Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba- hamba-Ku (17). (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat (18) (QS Az-Zumar. 17-18)

Bahwa al-Qur’an kalam Allah, merupakan risalah dari Allah untuk seluruh hambanya. Baik yang iman atau yang tak beriman, Allah ingin berbicara dengan mereka dengan firman-Nya. Firman yang terjaga dari perubahan. Dibaca dan dipelajari oleh orang yg beriman atau tak beriman. Meski mereka membaca atau mendengar al-Qur'an tapi mereka hanyalah orang yang tuli dari hidayah.

Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkanmu. Apakah kamu dapat menjadikan orang-orang tuli itu mendengar walaupun mereka tidak mengerti. (QS. Yunus: 42)

Untuk menyampaikan al-Qur’an dan hadits bagaimana mesti berusaha melalui prosedur keilmuan. Jangan seperti orang sekarang yang hanya pintar dalil. Kemarin masih tukang sulap, hari ini mengaku sebagai mufassir. Kemarin pelawak menjelma menjadi muballigh. Padahal yang mesantren puluhan tahun takut keliru dalam menyampaikan.

**


Maka sebagai santri, kita jangan mudah menyampaikan hadits yang tak jelas kedudukannya. Sebab dahulu ada banyak orang Yahudi yang bahkan berhasil memalsukan hadits sampai 14.000 hadits. Kita mesti teliti dan hati-hati.

Karena ternyata banyak pula kitab-kitab yang masyhur dan beredar luas dimasyarakat. Namun setelah dicermati, banyak didalamnya memuat hadits maudlu' (palsu). Diantara kitab-kitab yang dimaksud seperti yang telah dipaparkan dalam kitab tanzihussyari'ah al marfuah anil akhbari syaniah al amudluah adalah:

-Kitab as-Syihab karya al Qudlo'i
-Kitab milik al-Hakim at Tirmidzi
-Kitab-kitabnya al-Waqidy seperti Futuhussyam
-Tafsir Ibnu Abbas
-Nuzhatul majalis wa muntakhobun nafais karya as Shofury
-Tanbihul ghofilin milik Abillays as Samarqandi
-Qurrotul uyun milik Abillays as Samarqandi
-Mufarrihul qolbil mahzun, ketiganya milik Abillays as Samarqandi
-Qoshosul anbiya milik as Tsa'laby
-Durrotun Nashihin karya al Khowbawi
-Badaiuzzuhur fi waqaiqidduhur karya Ibnu iyas
-ar-Raudl al faiq fil mawaidh warraqaiq karya al harifisy
-washoya al imam Ali.

Bahkan suatu saat Abi Ihya, salah seorang santri Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawy al Maliki, dulu dikala menuntut ilmu di Makkah, usai membeli Tafsir Ibn Abbas, kitab itu diperlihatkan kepada Abuya, "Abuya, Kitab baru abuya, tafsirnya Ibnu Abbas" Dijawab Abuya, " Oh iya, kamu bakar saja!".

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " اللَّهُمَّ ارْحَمْ خُلَفَائِي , ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ، قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَنْ خُلَفَاؤُكَ ؟ قَالَ : الَّذِينَ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِي ، وَيَرْوُونَ أَحَادِيثِي , وَسُنَّتِي ، وَيُعَلِّمُونَهَا النَّاسَ "

Rasulillah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah, kasih sayangi kholifah-kholifahku, tiga kali. Dikatakan: “ Ya Rasulallah, Siapa khalifah-khalifahmu?” Rasul menjawab: “ Mereka orang-orang yang ada setelahku, meriwayatkan hadits-haditsku, sunnahku, dan mengajarkannya kepada orang-orang.

Al-Qostholany berkata di muqoddimah kitab Irsyadussari selepas memaparkan hadits ini bahwa: Tidak diragukan lagi bahwa menyampaikan sunnah kepada kaum muslimin, menasehati mereka, merupakan bagian dari wazhifah para Nabi sholawatulloh wa salamuhu alaihim, maka sesiapa yang melakukan hal itu maka ia adalah khalifah bagi orang yang menyampaikan darinya. Dan Rasulallah mendoakan agar ia mendapatkan Rahmat dan menyebutnya sebagai khalifah. (Almanhalul latif 46).

Tashluhu hadzihil ummah bima yashluhu bihi awwaluha (malik), Bahwa Ummat ini ternilai baik dikala mereka membawa apa yang orang terdahulu ternilai baik dengannya. Maka sepantasnya kita mencontoh sahabat dan para pendahulu dalam menggeluti hadits dan berusaha menjaga otentitasnya.

Ciri khas sahabat yang di terangkan oleh Sufyan as-Sauri, ada lima hal:

- Luzumul jamaah, dengan sifat Ruhama’u baynahum terciptalah hal ini
- Ittibaussunnah, sebab mereka bersama Rasulillah secara langsung.
- Tilawatil Qur’an ( Membaca dan mengkaji al-Qur’an)
- al mudawamah ala dakwah
- al-Jihad fi sabilillah, sehingga mereka adalah Anshorullah.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه

”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu”

Semoga kita menjadi orang-orang yang mau menggeluti ilmu hadits, menghafalkan, dan menyampaikannya, sehingga termasuk dari Doa Rasulillah shallallahu alaihi wasallam itu.

wallahu ta'ala a'lam
semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar