Rabu, 23 Maret 2016

WAJAH CERAH DENGAN BERDAKWAH

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(( نَضَّرَ الله امرأً سمع منَّا شيئاً فبلَّغَهُ كما سمعه، فَرُبَّ مُبَلَّغ أوْعَى من سامع

“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sebuah hal dariku lalu dia menyampaikannya persis seperti yang ia dengar. Sebab betapa banyak orang yang mendapat berita/keterangan (muballagh) lebih memahami dari pada orang yang langsung mendengar (sami/muballigh)”.

Ada dua makna yang terkandung dalam redaksi “Nadlorollohu imroan”, bisa jadi itu sebuah ungkapan berita, bisa jadi pula merupakan sebuah doa. Jika dipahami sebagai sebuah ungkapan berita maka memiliki beberapa makna:

1. Allah ta’ala akan mengindahkan wajah seseorang dihadapan orang-orang dengan sebuah kedudukan dan derajat yang tinggi
2. Allah ta’ala akan mengantarkan seseorang menuju kehingar bingaran surga, yakni mendapatkan nikmat dan kegembiraan di surga
3. Allah ta’ala memberinya keistimewaan dengan kegemilangan, ia akan senantiasa merasa gembira, tak pernah merasa sedih. Karena hidup itu untuk mencari apa jika bukan mencari kegembiraan?.

Jika dipahami sebagai sebuah ungkapan doa, maka mengandung makna:
-Seorang dai akan mendapatkan doa dari Rasulullah, sebagai sebuah ungkapan terimakasih dari Rasulullah terhadap jasa yang dilakukan oleh mereka, para penyampai pesan Rasulullah. Seorang dai akan memiliki wajah yang cerah nan bahagia. Berkah dari doa Rasulullah ini. Jika ada seorang dai yang memiliki wajah masam, metutut, maka ada kesalahan dalam dakwah yang ia lakukan. Meski hidup antara susah dan bahagia, namun seorang dai akan menghadapinya dengan tenang dan bahagia. Seorang dai bukan sekedar orang yang baik (sholih), tapi lebih dari itu. Bahwa mereka adalah seorang agen perbaikan (muslih) yang biasanya kerap mendapatkan ancaman dan tantangan dari banyak orang yang belum tersentuh hatinya, belum mengerti akan apa yang didakwahkan.

(33). وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى الَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (QS. Fusshilat :33)

Jangan hanya pintar bicara tanpa amal. Jika sekedar bicara tanpa aksi, amat mudah. Bahkan seorang penjual jamu bisa melakukannya. Namun seorang dai semestinya selalu berusaha mengaplikasikan keilmuan dalam amal nyata.

Menyampaikan seperti apa yang ia dengar. Dalam kaitannya dengan al-Qur’an dan Sunnah bagaimana kita melihat para ulama senantiasa melakukan penjagaan ketat terhadap substansi yang terkandung didalam keduanya sehingga bisa persis seperti apa yang mereka dengar. Jika seseorang menyampaikan namun dengan perubahan, maka ia bukan lagi disebut sebagai muballigh, namun justru mughoyyir.

Menyampaikan sebuah hal yang diklaim sebagai hadits harus benar-benar selektif, kita harus memastikan bahwa jika disebut sebagai hadits, adalah benar benar hadits. Sebab banyak dimasyarakat sebuah kalam yang terkenal sebagai hadits ternyata bukan hadits namun merupakan kalam ulama. Seperti : Man arodaddunya fa’alaihi bil ilmi waman arodal akhirota faalaihi bil ilmi waman aroda huma fa’alaihi bil ilmi. Adalah sebuah kalam dari Imam Syafi’I bukan hadits. Agar senantiasa terjaga kevalidan hadits. Ulama telah berhasil menjaga keotentikan hadits Rasulullah dengan usaha yang demikian besar. Dan mengenai al-Qur’an dari awal penjagaannya memang langsung oleh Allah ta’ala.

Jangan heran kalau ternyata muballagh bisa jadi lebih daripada pendengar langsung (sami’/muballigh). Muballagh bisa jadi lebih alim dari pada yang mendengarnya secara langsung. Bisa jadi seorang anak lebih pintar dari pada ayahnya. Bisa jadi santri lebih alim daripada kyainya. Seperti Abuya as-Sayyid Muhammad dikatakan sebagai “far’un faaqo ashlahu”, cabang yang lebih menjulang ketimbang batangnya. Maka seorang kyai jika memiliki santri lebih cerdas, semestinya bersyukur, bukan malah tidak mengakui kecerdasan santri itu yang lebih darinya. Namun santri juga harus rendah hati, seperti yang tercermin pada Syeikh Abdul Qodir al Jailany, suatu saat ada seorang yang menyebutnya lebih utama ketimbang Sahabat badui pada zaman Rasulullah. Namun justru ia menjawab, “ Justru sandalnya badui lebih baik ketimbang aku, sebab ia hidup langsung bersama Rasulullah”.

Bisa jadi ilmu yang di dengar oleh muballagh lebih menancap dari pada yang mendengarnya langsung. Seperti ketika seorang sami’ mendengar doa supaya mempermudah bayar hutang, ia mencatatnya kemudian ada orang yang bertanya tentang doa tersebut. Oleh karena muballagh yang mendengar dari sami pada saat itu sedang memiliki hutang pada akhirnya doa itu dihafalkan, diingat, dan diamalkan. Sehingga ia tidak pernah melupakan doa itu.

Seorang muballigh semestinya berusaha mengamalkan apa yang dia sampaikan. Jangan sampai antara perbuatan dengan perkataan bertolak belakang. Seperti kaum orientalis yang belajar Islam hanya sebagai bahan menyerang Islam, atau orang-orang yang belajar Islam hanya sebagai maklumat bukan mafahim yang terimplementasikan.

Menyampaikan demikian penting. Rasulullah menginginkan apa yang beliau sampaikan segera diterima oleh semua orang. Maka siapapun tertuntut untuk mengusahakan tabligh. Jika tidak, tidak mungkin Rasulullah bersabda: “Sampaikan dariku meskipun satu ayat”.

Orang-orang pada umumnya sebagai Nasyiruddakwah (penyebar dakwah). Dan orang yang memiliki ilmu dan amanah, yakni para ulama sebagai Hamiluddakwah (pengemban dakwah). Ada pihak sebagai kyai ceret, mentransfer ilmu yang baru ia dapatkan. Ada kyai sumur yang ilmunya terus menyumber. Mereka sebagai penanggung jawab, jika saja mereka menyimpan ilmu yang mereka miliki, mereka akan mendapatkan kendali dari api neraka pada hari kiamat.

Menyampaikan ilmu kepada obyek dakwah tidak ada batas minimal. Meskipun kepada satu orang, hal itu lebih baik dari pada onta kemerah-merahan. Seperti yang disabdakan Rasul,La an yahdiyalloh bika rojulan wahidan khoirun laka min humurin na’am. Sungguh Allah ta’ala memberikan hidayah melalui dirimu kepada seorang saja itu lebih baik bagimu dari pada onta kemerah-merahan.

Dakwah merupakan pekerjaan para Nabi, sementara Nabi merupakan orang-orang pilihan. Maka menggeluti pekerjaan para Nabi merupakan tugas penerus orang-orang pilihan. Nabi adalah manusia termulia maka pekerjaan para Nabi adalah pekerjaan paling mulia. Sebab kenabian lebih dari sekedar harta benda, status sosial, dan bahkan kedudukan raja. Sehingga seorang dai tidak perlu khawatir akan masalah rizqi. Allah ta’ala yang akan menjamin rizqi mereka. Jika ada banyak orang sangsi atas hal ini, bukankah yang Maha membagi rizqi adalah Allah ta’ala, bukan mereka. Meski memang dalam masalah rizqi, setiap orang tiada sama. Ada yang diberi banyak ada yang sedikit. Ada yang hanya memiliki sepeda motor, ada yang memiliki mobil. Akan tetapi dalam sisi kekayaan hati semua dai akan mendapatkannya.

Akhir catatan, Jadilah corong-corong Rasulillah shallallahu alaihi wasallam!!!.

Jalaul Afkar Hadits ke-25
Semoga bermanfaat
Mohon maaf jika ada salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar