Rabu, 23 Maret 2016

SANTRI PAKU, SEBUAH WASIAT MBAH ABDUL KARIM

Oleh: KH. Abdul Aziz Manshur

Assalamualaikum Wr. Wb.

Hadirin yang kami hormati peserta Rakernas Ittihadul Muballighin yang dimuliakan kita telah menenrima arahan penjelasan keadaan situasi sekarang yang harus dihadapapi oleh para santri.

Hadirin yang kami hormati memang begitulah sekarang didalam masyarakt, insya alloh hadirin semua telah merasakan apalgai saya juga disamping didaerah saya sendiri, di desa saya sendiri, dipondok saya sendiri, saya sering mendatangi daerah-daerah para hadirin dimana-mana. Ini sambatan dari pada penduduk setempat itu seperti yang telah dikatakan oleh Bpk. Syaifulloh Yusuf tadi lantas bagaimana?. Setelah kita selidiki, terkadang itu hambatan-hambatan itu timbul dari pada jagan jinagan (mengandalkan orang lain) satu antara yang lain “alah wes enek iko” . Bahkan kadang-kadang iko sing paling membahayakan rebutan antara satu dengan yang lain, ini merupakan suatu penyakit. ini ya itu jangan sampai terjadi jagan jinagan. Walaupun sing sitoke wes tandang sini juga mencari situasi yang lain yang kita bisa membantu dari sisi apa. Kalo sana sudah mengisi itu saya mengisi yang lain, sehingga tidak jadi bentrok tidak jadi ninggalno kabeh.

Maka dari itu hadrotal mukarrom mbah kiyai Abdul Karim. saya sering ketika diundang ngaji dimana-mana hal ini saya ceritakan. Sabda mbah yai abdul karim ketika dipamiti oleh santri. “Yai, kulo bade wangsul”, “yo, mondok neng lirboyo mulih nek umah kudu isi dadi paku”. Hanya satu kalimah “Mondok nek umah kudu iso dadi paku”. Selama beliau dipamiti oleh santri pasti pesannya seperti itu.

Jadi santri mau pulang dari pondok itu ibarat mau membangun yang bisa dipergunakan berteduh siapa saja. Jadi kita mulih seko pondok iku ibarat membuat bangunan sing bangunan yang bisa dibuat berteduh siapa saja. Nah orang membikin bangunan materialnya macam-macam dari satu material yang berupa kayu saja motongnya kayu itu juga tidak boleh sama, beda-beda. Ada yang ukuran reng, ada yang ukuran usuk, ada yang ukuran cagak, ada yang ukuran molu, ada yang ukuran blandar. Kan ukurannya beda-beda panjang dan pendeknya beda-beda.

Setelah dipasang nanti juga tidak boleh diletakan searah. Gawe umah usuke mujur ngalor renge mujur ngalor mulune mujur ngalor blandare mujur ngalor cagake mujur ngalor iku jenenge gak bangun umah jenenge, juragan kayu bakul kayu. Bahkan yang dihadapi santri di rumah nanti akan menghadapi santri seperti itu jadi gak oleh dipodo saiki diujurne ngalor kabeh gak boleh. Pulang dari pondok pasti menghadapi masalah kadang beda-beda setelah ditata. jadi notone gak oleh diujurno podo. Sama dengan santri setelah pulang dari pesantren “wes saiki nang masjid kabeh tani di tinggalkan toko di tinggal yo saiki wiridan kabeh yo ndak boleh”.

Menemukan masyarakat yang macam-macam itu santri yang bisa ngatur bagaimana kayu yang macam-macam arahnya, kayu yang macam-macam potongannya, bisa bersatu mengangkat bangunan supaya bisa menjadi bangunan yang bisa dipergunakan untuk berteduh. Iki pie carane harus dihubungkan tali tIumali antara satu dengan yang lain. Sak badane di toto maka santrilah yang harus mengukuhkan menyatukan santri sebagai PAKU. Ya, santri harus bisa menjadi paku penengah pengikat antara rakyat yang beragam itu. Ini pesen dari mbah Abdul Karim begitu dengan santri itu.

Dan paku itu mempunyai beberapa keistimewaan :

Paku iku harus قم حيث أقامك الله menurut dengan pak tukang diletakan dimana, dia manut dengan pak tukang. Kalau paku dudur ya digunakan untuk memaku dudur, paku reng yo kudu gelem ge maku reng, paku usuk yo kudu gelem ge maku usuk, gak oleh brengkel. “Wes Aku paku reng aku jaluk ge maku dudur aku mokh ge maku reng”. Dudur ge paku reng yo gak teko to kang. Begitu juga paku yang besar paku dudur, “wes aku tawadu aku gak usah ge maku dudur aku tak dek ngisor ge maku reng wae”, pecah semua. Ini kesimpulan sabda mbah Abdul Karim. Setelah kita pulang dirumah kita juga seperti itu قم حيث أقامك الله mengerti kedudukan “saya disini saya disini”. sehingga tidak rebutan satu dengan yang lain. Jadi kita tabligh Ittihadul Muballighin kita harus noto awake dewe disik.

Ketika orang membangun rumah itu sangat membutuhkan paku sehingga kurang paku reng satu saja, apa maneh dek Kediri gak enek nang Suroboyo goro-goro paku rengnya kurang satu. Tapi biasanya ketika rumah sudah jadi tidak ada orang yang bertanya pakunya apa . “umahmu kok apik pakune opo,?” tidak ada yang bertanya pakunya yang ditanyakan kayunya, “kayu opo ?” lajeng terus lantaine mereke opo sak penunggalane. Santri juga seperti itu biasane ketika ada orang butuh ada pilihan bupati umpamanya atau lurah santri dicari diajak jegongan sedino sewengi dijak rokokan sak penunggalan. jak neng warung sak penunggalane. ini di cari santri. tapi ketika sudah jadi, gak enek santri direken, sebab seperti itu merupakan satu akidah santri. Tidak boleh marah-marah pancen paku yo ngono kui. “Masio wes dadi aku gak direken gak popo pancen paku”. “Yang penting umah gak rusak umah gak ambruk aku terimo”. Jadi makane santri iko syarate koyo nek ta’lim mutta’alim iku.

Santri itu harus tahan pukul seperti paku. Paku bisa menghubungkan usuk dengan blandar ketika dipukul, dipalu. Ketika tidak dipalu jangan mengaku menyatukan blandar ambek usuk. Jadi santri berjuang di daerah mesti kenek tutuk, kalo santri tidak mau dipukul dipalu, ditutuk ditutuk sak itik minggat nang Kalimantan, ya, jangan jadi santri. Paku semakin gede gantene semakin gede, nek paku cilik-cilik gantene cukup cilik-cilik. Paku semakin besar palunya semakin besar pakunya, paku yang kecil cukup dengan palu yang kecil. Lah ini ujian.

Nah saya ceritakan satu cerita saja, pesan dari mbah Abdul Karim ketika dipamiti santri. Ya, itu satu saja pesannya. Jadi paku yo ngono iku. Jadi santri kok demonstrasi gak enek, sebab itu tadi. Yang penting rumah iku regeng gak ambrug wes gk po aku gak dadi opo gak direken sing penting umahe tetep kuat gak ambrug gak miring gak opo aku terimo.

Kyai Zainuddin Mojosari Nganjuk beda. Ketika dipamiti santri. Ada santri dipamiti arep dadi manten umpamanya, “santri mulih seko pondok kudu wani melarat”, iku pesene. Dadi pulang dari pondok harus berani miskin. Kalau bukan santri pertanyaannya “wes lulus koe due pekerjaan opo due anu opo” sak penunggalane. Tapi kalau santri pulang dari pondok pertanyaanya Cuma “opo owes wani melarat, koe boyong teko pondok wes wani melarat”. Harus berani miskin. Artinya berani melarat/miskin itu apa ? bahwa santri pulang dari pondok pesantren itu mesti menghadapi banyak hal sembarang kalir dihadapi. Santri harus tahan banting. Santri harus wani melarat harus berani menghadapi apapun.

Hadirin yang kami hormati bisa-bisa membagi قوا أنفسكم و أهلكم نارا jadi harus bisa membagi. Kadang-kadang kebacut, menjaga diri senidiri saja hingga tetangganya kadang-kadang terlewat. kadang-kadang neng gene tanggane tok, diundang ngaji rono rene nganti anaknya dirumah tidak terawatt. itu yo kadang-kadang enek. Makanya kita juga harus tabligh mengembangkan ilmu kemana-mana tapi jangan sampek meninggalkan keluarga kita. Kita ngopeni keluarga kita tapi wa ahlikum juga harus kita jaga.

Biasane tantangane santri disana, itu kadang-kadang sudah ada yang berjuang “beneran aku Tak turu ae” ada kadang-kadang. Kadang-kadang ada yang sudah mulai berjuang “iki ra becus mestine aku” kadang-kadang yo enek. Harus diterapkan kembali yang ada dalam kitab ta’limul muta’alim, apa yang ada dalam kitab bidayatul hidayah kita terapkan lagi. Masalah ngaji tidak membutuhkan kitab yang gede-gede yang penting itu yang sesuai dengan keadaan masyarakat.

Maka dari itu kemaren ada peristiwa waktu isro mi’roj di istana. Pada waktu isro’ mi’roj di istana itukan pembacaan al-Qur’an dengan lagu gendingan. Geger neng masyarakat “pi hukume ?”. ada yang memberi hukuman langsung tidak boleh haram dan sebagainya. Lah sebagian mengatakan seperti ini, pas ketepatan saya pas ngaji ihya pas bab sima’, jadi sima’ lagu-lagu itu, memang ulama kuno itu ada yang kadang disaat tertentu beliau ngundang.

Dulu itu memang ada, saya katakan seperti pendeta dia itu biasa melagukan lagu-lagu syi’ir-si’ir dengan lagu-lagu lah biasanya seorang kiyai itu juga ada. Salah satunya mbah Kiyai Muhajir Bendo nek kapan tanggal 15 sya’ban mesti mengundang tukang jidor neng bale dengan mengundang santri-santri senior yang sudah dirumah kadang-kadang sampai 20 atau 30 santri. Dimulai dengan wiridan kemudian istighosah. akhirnya tukang jidor menyanyi sambil memainkan jidor. Lah mbah kyai itu mendengarkan, masya alloh, sampai kadang-kadang seperti orang jadzab jadi seakan-akan seperti orang yang lali, karena asiknya mendengarkan lagu-lagu itu. Ternyata ini yang diajarkan panjenengan ipun wali Sunan Kali Jogo pada waktu itu sekaten di keraton Solo.

Nah, terus ada yang menjawab bahwasanya lagu Qur’an itu ndak ada ajaran dari Rasululloh lagu itu ndak ada malah dari kanjeng Nabi tidak boleh terlalu ngelik-ngelik dowo itukan tidak boleh. Ada lagu ngelik-ngelik dowo itukan sekarang, menjawabnya seperti itu, lagu yang dituntunkan dari kanjeng nabi itu tidak ada. Jadi ulama-ulama Qira’ah bittaghoni sesuai dengan daerahnya masing-masing. Karena yang banyak kita dengar dari Mesir makanya lagunya itu yang banyak sesuai dengan situasi mesir. Nanti kalo kita ke India ya beda lagune wong India.

Maka, dari itu ada yang menghukumi moco alqur’an dengan gendingan tidak apa asal tidak ditabuhi. Kalo ditabuhi dalam kita sulamuttaufiq dikatakan bahwasanya memabaca al-Qur’an kok ditabuhi itu kufur. Lah pada waktu dulu, kampus tribakti mengadakan acara wisuda mengundang band dari Ponorogo, lah band itu menyanyi robbana dzolamna anfusana mbah kiyai Mahrus bendu. Jadi, robbana dzolamna anfusana dilagukan dengan tabuhan band. Kalau ditabuhi memang tidak boleh seperti dalam kitab sulam.

Jadi kita harus mengikuti irama didaerah masing-masing. Dakwah didaerah lampung berbeda dengan daerah Kalimantan, yang dikalimantan beda dengan yang di jawa timur dan sebaginya. Ballil insanu ‘ala nafsihi basyiroh jadi manusia itu tahu dengan dirinya sendiri keadaan situasi dirinya sendiri.

Jadi, itulah buat bekal kita selain yang telah disampaiakn Bpk. Syaifulloh Yusuf ini tambahan dari saya. Jadi, kita itu bisa menyesuaikan diri dengan keadaan. Daarihim ma dumta fi daarihim wa ardihim ma dumta fi ardihim. Dan masalah pengajian kita tidak perlu pengajian kitab yang gede-gede kitab yang kecil-kecil itu saja. Syukur yang cerita-cerita itu koyo dene kitab ‘ushfuriyah kemudian diselingi hokum yang membahas thoharoh. Dibacakan cerita-cerita tapi jangan lupa diselingi penjelasan kewajiban-kewajiban.

Kita juga harus tanggap kalo ada sesuatu kejadian. Kalo tanggap itu kita juga tidak boleh tergesa-gesa lantas bertindak, jangan. Dilihat situasinya dulu, madzhab itukan semaunya sah, madzahibul arba’ah semuanya sah. Kita jangan terlalu kolot. Kadang masalah yang tidak cocok dengan Syafi’iyah dulu waktu awal-awal masuknya Muhammadiyah ke Indonesia itu orang-orang yang sangat kolot “nek kapan gak ngene gak” sehingga arepe mantu kurang seminggu iku lo bapake kok qunut anake gak kunut gak sido. “Wes gak sido wong gak kunut”. Tidak dilihat situasi dulu mestine delok disit wong dari madzahibil arba’ah juga ada yang tidak melakukan qunut seperti panjenegnan ipun Imam Abu Hanifah. Nah kalau memang meninggalkannya itu masih dilingkungan madzahibul arba’ah itu tidak masalah. Tapi kalo sudah ingkar “wes gak enek kunut gak iso, bid’ah” dengan 100 %, harus kita hindari.

Jadi ketika ada masalah yang tidak cocok dengan kita ojo langsung tancep tolak itu jangan tapi dilihat situasi duluk sehingga kita tetap utuh. Tidak terpecah, terkadang awalnya masjidnya Cuma satu bisa jadi tiga Cuma gara-gara masalah semacam itu saja. Asalkan masih salah satu madzahibul arba’ah ya kita beri penjelasan saja.

Hadirin yang kami hormati selamat bertugas dalam dunia tabligh semoga selalu mendapat pertolongan dari Alloh SWT yang paling penting adalah Ikhlas dan yang paling penting lagi dawuhnya Imam Syafi’i “ma nadzortu ahadanilla ahbabtu an yudzhirollohul haq ‘ala yadaihi”, saya tidak mendebat kepada seseorang kecuali dengan harapan Allah ta’ala menampakan kebenaran, walaupun toh kebenaran itu ada pada dia, saya akan terima. Nah ilmu hati itu lebih penting disini dari pada ilmu dhohir sebab sing angel iku noto atine iki. Inilah saya kira cukup ada kurang lebihnya mohon maaf

Wassalum’alaikum wr wb



Disampaikan dalam RAKERNAS Lembaga Ittihadul Muballighin 2015.

Sumber: LIM Lirboyo

1 komentar: